Apa mungkin makhluk halus yang berada dalam tubuh Sinta tahu nomor handphone, dan siapa yang akan berkomunikasi jika nomor telepon yang dia sebutkan dihubungi?. Belum usai rasa penasaran saya, Sinta sudah menyebutkan beberapa angka untuk segera dihubungi.
Lontar.id – Cerita ini berdasarkan kisah nyata yang saya saksikan langsung sekitar Tahun 2003 lalu. Lokasinya berada di Kota Makassar, namun alamat dan nama di dalam cerita ini sengaja saya samarkan untuk menjaga privasi.
Cerita ini bermula saat saya tengah asyik nongkrong di teras rumah seorang kawan. Kawan saya ini mempunyai seorang saudari perempuan yang bernama Sinta (bukan nama sebenarnya). Saat itu, sekitar pukul 20.00 malam.
Sinta yang masih berseragam SMA baru saja pulang. Saya bersama sekitar 5 orang teman lalu bertanya ke Sinta. Ada apa gerangan ia pulang selarut ini. Ternyata Sinta mengaku tengah berkabung usai menghadiri pemakaman adik kelasnya.
Baca Juga:Istri Saya Seorang Parakang I
Adik kelasnya meninggal karena kecelakaan. Sinta sudah kelas 3 (XII), sementara remaja pria yang merupakan adik kelasnya itu masih duduk di kelas 1 (X).
“Almarhum adik kelas saya ini pernah menyatakan cinta ke saya, tapi saya bilang umur kita beda dan kamu masih terlalu muda,” kata Sinta kepada kami.
Kami pun penasaran dengan lanjutan cerita Sinta. Namun, ia buru-buru pamit ke dalam rumah untuk mengganti pakaian khas putih abu-abu yang telah seharian ia kenakan. Seolah merespons rasa penasaran kami, beberapa menit kemudian Sinta kembali menceritakan kronologis meninggalnya sang adik kelas.
Katanya, adik kelasnya itu meninggal digilas sebuah truk besar saat perjalanan pagi hari menuju sekolah. Kondisi sang adik kelas disebutnya sangat parah, karena ban truk besar itu menggilasnya pada bagian leher.
“Saat kejadian juga kondisinya hujan,” kata Sinta yang mengaku menerima kabar tersebut dari sesama temannya di sekolah.
Setelah berkisah, pamitlah Sinta ke dalam rumah untuk menonton bersama sang ibu. Kawan saya Ramli (bukan nama sebenarnya) yang merupakan kakak Sinta, juga menyampaikan ke kami akan membuat kopi. Ia kemudian masuk ke dapur rumahnya. Tinggallah kami berempat di luar rumah. Sesaat kemudian Ramli mendadak keluar dengan eskpresi panik. Kami bertanya, “ada apa?”. Sebelum Ramli menjawab, suara teriakan Sinta dari dalam rumah sudah terdengar keras.
“Saya kedinginan, leherku sakit. Dingin, dingin, leherku sakit.”
“Sinta kesurupan,” jawab Ramli. Kami lalu bersama-sama masuk ke dalam rumah. Di sana Sinta sudah terlihat ditutupi selimut hingga bagian leher. Sang ibu lalu meminta beberapa orang kawan kami untuk memanggil orang pintar. Dua orang kawan saya lalu merespons mencari ustaz dan orang pintar. Suara Sinta kembali meninggi, ia berteriak keras.
“Dingin sekali, leherku sakit. Tolong saya, tolong. Saya suka sama Sinta. Panggil bapak saya sama Ibu saya. Saya mau minta maaf.”
Teriakan Sinta di tengah malam membuat saya merinding. Kami hanya terlihat bengong di hadapan Sinta yang tangan dan kakinya telah dipegang erat oleh ibu dan ayahnya.
Baca Juga: Ada Hantu Perempuan di Rujab DPR Kalibata
Satu per satu warga yang mendengar teriakan itu lalu mulai berdatangan. Kakak kawan saya yang seorang ustaz lalu mencoba berkomunikasi.
“Siapa kamu? kau mau apa di tubuh Sinta?,” ujarnya bertanya.
“Saya adik kelasnya Sinta. Tadi pagi saya kecelakaan. Dingin, dingin, leher saya sakit,” kembali suara Sinta yang mulai terdengar serak itu merintih.
Muncullah beberapa orang lagi yang ikut bergabung. Hingga tanpa saya sadari, sudah hampir puluhan orang dalam ruang tamu Sinta.
Seorang perempuan lalu memegang ibu jari kaki Sinta. Sinta merintih, dan kembali berteriak. Beberapa orang juga mencoba membacakan ayat Al-quran.
“Jangan ganggu saya, saya tidak akan ganggu Sinta. Saya cuma suka sama Sinta. Dingin, leher saya sakit. Panggil bapak sama ibu saya,” kembali suara Sinta meninggi.
Ia mencoba mengamuk dengan menggerakkan tangan dan kakinya. Tapi, sudah ada empat orang yang memegang tubuhnya. Saya mengecek jam, sudah hampir pukul 23.00. Belum ada tanda-tanda jin dalam tubuh Sinta ini akan keluar.
Saya bersama beberapa kawan lalu ke teras rumah dan kembali membahas apa yang Sinta ceritakan sebelum kesurupan tadi. Kakak teman saya yang seorang ustaz lalu muncul di tengah pembicaraan. Dia mengatakan, jangan percaya apa yang diucapkan oleh jin. Kadang apa yang keluar dari mulutnya adalah kebohongan dan bisa menimbulkan fitnah.
“Saya tidak mau keluar, kecuali kalian panggil bapak dan ibu saya. Saya suka sama Sinta, saya tidak tenang kalau orang tua saya belum datang. Dingin, leher saya sakit,” kembali teriakan Sinta terdengar. Kali ini lebih keras.
Kembali kami ke dalam ruang tamu rumah. Salah seorang yang sejak tadi mencoba berkomunikasi dengan makhluk dalam tubuh Sinta lalu bertanya.
“Bagaimana cara kita pertemukan kamu dengan orang tuamu?.”
“Telepon orang tua saya. Saya akan sebutkan nomornya,” ujar Sinta.
Muncul rasa penasaran dan rasa tidak percaya dari orang-orang di sekitar saya. Apa mungkin makhluk halus yang berada dalam tubuh Sinta tahu nomor handphone, dan siapa yang akan berkomunikasi jika nomor telepon yang dia sebutkan dihubungi.
Baca Juga: Disembunyi Kolong Wewe (I)
Belum usai rasa penasaran saya, Sinta sudah menyebutkan beberapa angka untuk segera dihubungi. Ibu Sinta lalu merespons, dia memencet handphonenya, lalu menghubungi nomor yang disebutkan.
Speaker telepon diperbesar. Benar saja, nomor yang dituju berdering. Terdengar suara lelaki dari ujung telepon.
“Assalamualaikum, halo. Dengan siapa ini?”.
“Kasih bicara saya,” teriak Sinta. Sang ibu lalu mendekatkan handpone miliknya di telinga Sinta.
“Pak, datang sekarang ke sini. Saya anakmu, meninggal kecelakaan tadi pagi, leher saya sakit pak. Saya kedinginan di sini. Tolong pak, panggil ibu, datang ke sini,” ujar Sinta dengan nada tinggi.
Beberapa detik dari dalam ruangan tampak hening. Tiba-tiba ibu Sinta mengambil alih telepon dan berkomunikasi kembali.
“Benar ini bapak teman Sinta yah?”.
“Iya bu sudah benar, anak saya meninggal kecelakaan tadi pagi. Sebutkan alamatnya, saya akan ke sana sekarang,” ujar laki-laki di ujung telepon.
Bersambung
Penulis: Arman