Jakarta, Lontar.id – Peneliti Komunikasi Politik Universitas Telkom Dr Dedi Kurnia Syah mengatakan, Pemerintah telah bertindak berlebihan dengan membatasi akses media sosial dan percakapan beberapa platform. Hal itu dilakukan pasca penetapan hasil rekapitulasi suara Pemilu 2019.
Menurut Dedi, dalih pembatasan akses media sosial untuk meredam hoaks dan provokasi massa adalah cara keliru. Dedi malah menganggap langkah tersebut otoriter dan melanggar hak konstitusi publik.
“Keputusan membatasi akses informasi tidak sesuai dengan amanat pasal 28F UUD 1945, di mana setiap warga negara miliki hak untuk menyampaikan dan memperoleh informasi. Lalu pasal 19 Deklarasi Umum HAM yang memberikan kebebasan warga negara untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi” kata Dedi melalui keterangan tertulisnya kepada Wartawan di Jakarta, Jumat (24/5/2019).
Sebelumnya, Menkominfo Rudiantara menyebut pembatasan media sosial bersifat sementara dalam rangka menghindari penyebaran informaai provokatif dan hoaks. Alasannya, persebaran kabar bohong itu terjadi pada akses medsos dan aplikasi perpesanan.
“Itulah gunanya pemerintahan, menghadirkan keteraturan tanpa harus menghilangkan hak dasar publik, membaca kondisi hari ini bisa ditafsirkan pemerintah tidak siap dengan demokrasi yang terbuka, ada kesetaraan antara warga dan negara” lanjut Dedi.
Disinggung soal alasan Rudiantara mengambil kebijakan ini mengacu UU 19/2016 pasal 40 tentang Informasi Transaksi dan Elektronik (ITE) perubahan atas UU 11/2008. Di mana tugas pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan informasi elektronik dan transaksi elektronik.
“Pemerintah tidak sepenuhnya jujur dalam penggunaan pasal tersebut sebagai dalih, UU ITE adalah delik aduan, tidak dapat diserempakkan ke semua orang, pemerintah harus sudahi ketakutan berlebih ini, karena lebih banyak dampak buruk yang ditimbulkan dari pembatasan akses informasi publik,” ujar Dedi.