Jakarta, Lontar.id – Gubernur Jawa Timur (Jatim), Khofifah Indar Parawansa sangat erat kaitannya dengan Sulawesi Selatan (Sulsel). Bukan dari keturunan, tetapi dari nama Parawansa dan Mannagali yang melekat di belakang nama 4 anak Khofifah.
Hal inilah yang dikisahkan oleh Edy Kosasih Parawansa. Edy Parawansa merupakan sepupu dari almarhum suami Khofifah, Indar Parawansa. Edy mengatakan, nama Parawansa merupakan nama keluarga besar mereka di Sulsel.
Baca Juga: Gubernur Baru Jatim dengan Nama Sulsel yang Melekat
Mendiang suami Khofifah, Indar Parawansa memang memiliki garis keturunan langsung dengan ulama besar penyebar Islam, Syekh Yusuf. Syekh Yusuf lahir di Kabupaten Gowa, Sulsel. Silsilah keturunan Syekh Yusuf itu diwariskan langsung dari ayah Indar Parawansa, Djalaluddin Parawansa.
“Itu (silsilah) ada dari orang tuanya dari keturunan yang ke-9. Bapaknya (Indar Parawansa dari keturunan) yang ke-8. Bapak itu tiga bersaudara, yang paling tua Dr. Mappatunru Parawansa, yang kedua bapaknya Indar H. Djalaluddin Parawansa, dan yang paling bungsu bapak Prof H. Patunru Parawansa,” kata Eddy Parawansa kepada reporter Lontar.id saat dihubungi, Jumat (15/2/2019).
Edy melanjutkan, keluarga Parawansa sempat diundang untuk berangkat ke Afrika Selatan (Afsel), guna menghadiri peringatan “Haul” meninggalnya Syekh Yusuf.
Di sana sedianya ia hanya datang cuma seminggu dan bertemu dengan keluarga Syekh Yusuf yang menetap di Afrika Selatan.
Baca Juga: Soal Kampung Mualaf di Pinrang
Namun kata dia, karena banyak keluarga di Afrika Selatan yang meminta agar para keturunan Syekh Yusuf bertahan lebih lama, akhirnya mereka memutuskan bertahan hingga dua pekan lamanya.
“Dua tahun yang lalu, (Keluarga) sempat ke Afrika Selatan. Diundang dalam rangka Haul Syekh Yusuf. Jadi Bapak Haidar dengan om HM Parawansa, H Mapatunru Parawansa. Mereka berdua yang hadir,” ujar Edy.
Sementara, nama Parawansa lanjut Edy Parawansa, diambil dari nama Paman dari ayah Indar, Djalaluddin, yakni, Parawansa Karaeng Runrung. Parawansa inilah yang berperan membesarkan Djalaluddin dan saudaranya, sehingga nama Parawansa menempel di nama belakang mereka.
Baca Juga: Jalan Sunyi dan Mutasi Umar Septono
Semasa kecil lanjut Edy, ayah Indar, Djalaluddin telah yatim. Djalaluddin ditinggal sang ayah bernama, I Mannagali Daeng Nyonri Karaeng (Raja) Botonompo. Karena yatim, Djalaluddin lalu dibesarkan oleh Parawansa Karaeng Runrung dan memasukkan nama Parawansa di belakang nama Djalaluddin. Parawansa lalu berlanjut ke keturunan mereka selanjutnya.
Sementara, nama keturunan Indar Parawansa “Mannagali” justru dimasukan di belakang nama-nama anaknya setelah menikah dengan Khofifah Indar Parawansa–yang kini menjabat Gubernur Jatim. Keempat anak Indar Parawansa seperti Fatimahsang Mannagali Parawansa, Jalaluddin Mannagali Parawansa, Yusuf Mannagali Parawansa dan Ali Mannagali Parawansa.
“Itu nama nenek, bapaknya–bapak. Namanya I Mannagali Daeng Nyonri Karaeng Botonompo. Jadi Parawansa itu, saudaranya I Mannagali Daeng Nyonri, bapaknya bapak langsung (dari) Indar. Tapi waktu meninggal
(ayah dari Djalaluddin), dia masih kecil, semuanya ini dipelihara oleh om (Parawansa Karaeng Runrung), makanya semuanya dikasi nama Parawansa,” ujarnya.
Kala Indar Melamar Khofifah
Semasa kecil, Indar Parawansa dan sepupunya Edy Parawansa banyak menghabiskan waktu bersama-sama. Edy mengingat sejak duduk di bangku sekolah dasar, SMA, hingga kuliah di Unhas, mereka selalu bersama. Meskipun di masa kuliah lanjut Edy, pertemuannya dengan Indar tak selalu intens karena kesibukan Indar mengawal organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dan Edy bergabung di organisasi senat mahasiswa di kampus.
“Waktu kuliah di Unhas, dia di jurusan pertanian, saya Fisipol. Saya jarang ketemu Indar waktu kuliah, karena dia aktivis HMI, dia dedengkot HMI waktu itu, dia sering pimpin mahasiswa,” katanya.
Pertemuannya dengan Khofifah lanjut Edy, waktu kegiatan organisasi di Jogjakarta. Dia mengaku lupa-lupa ingat nama organisasi yang mempertemukan Indar dengan Khofifah. Pertemuan pertama itu sangat membekas di kehidupan Indar, mereka menjalani masa pacaran, namun tak lama kemudian, Khofifah dilamar.
Baca Juga: Membaca Assikalaibineng, Kitab Persetubuhan Bugis
Setelah menikah, mereka tinggal di Jakarta dan Khofifah berhasil duduk sebagai anggota DPR RI dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Di PPP karier Khofifah semakin moncer sebagai politisi perempuan. Tak lama kemudian Khofifah dipanggil bergabung oleh Abdurrahaman Wahid (Gusdur).
Gusdur mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Khofifah ikut bergabung usai meninggalkan kursi DPR RI dari Fraksi PPP. Setelah Gusdur menjadi presiden, Khofifah dijadikan sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan.
“Indar ketemu Khofifah waktu di Jogjakarta, pertemuan Pelajar Islam Indonesia (PII) kalau ndak salah. Khofifah dulu sebagai pengurus PII. Akhirnya bapak pergi melamar di Surabaya dan menikah. Pas married dia tinggal di Jakarta dan Khofifah terpilih sebagai Anggota DPR RI, tapi sempat dia tinggal di Surabaya,” ujarnya.
Meski Indar Parawansa meninggal pada 2014 lalu, tapi hubungan Khofifah dengan keluarga besar Parawansa di Makassar masih terus terjalin. Bahkan Khofifah diketahui beberapa kali sempat mengunjungi keluarga besarnya di sana.
Baca Juga: Kitab Centhini dalam Falsafah Persetubuhan
Kedekatan keluarga Parawansa dan Khofifah juga ditunjukkannya saat acara pelantikan Jabatan Gubernur di Istana Presiden. Mantan Menteri Sosial (Mensos) itu meminta secara khusus keluarga Parawansa hadir dengan mengenakan pakaian adat Bugis-Makassar.
Khofifah menurut dia, tidak bisa melupakan jasa suaminya. Dulu waktu mengikuti Pilkada, Indar Parawansa yang akrab disapa Daeng Beta–pernah mengatakan agar menjahit baju pelantikan untuk Khofifah. Meski kalah pada saat itu, namun setelah berjuang di Pilgub berikutnya, akhirnya Kofifah resmi dilantik sebagai Gubernur Jawa Timur bersama wakilnya Emil Dardak oleh Jokowi.
“Malahan disuruh pakaian adat, tapi yang hadir di pelantikan omnya, HM. Parawansa, dan saya (Eddy Parawansa) yang dampingi. Dia masih terkesan dengan wasiat suaminya, karena 10 tahun berjuang untuk Jawa Timur baru kali ini lolos,” kata Edy.
Pemersatu Kerajaan Gowa dan Banten
Syekh Yusuf bukanlah nama asing di Sulsel hingga mancanegara. Syekh Yusuf menyebarkan Islam pada abad ke-17 tak hanya di wilayah Timur Indonesia, tetapi juga di Jawa hingga ke Mancanegara.
Dalam resensi buku ‘Profil sejarah, budaya dan pariwisata Gowa’ yang ditulis oleh Akademisi Unhas Adi Suryadi Culla, Zainuddin Tika, dan mantan Gubernur Sulsel, Syahrul Yasin Limpo (SYL), Syekh Yusuf disebutkan pernah menetap di Banten.
Ia menerima ajakan Sultan Ageng yang tertarik pada ilmu tasawuf. Syekh Yusuf lalu memilih menetap di Banten dan mengajarkan paham agama islam di tempat itu. Di Banten, dia diangkat menjadi penasihat kerajaan oleh Abdul Fattah Sultan Ageng Tirtayasa (1651 – 1692 ) dan kemudian dikawinkan dengan puteri Sultan Banten bernama Sitti Syarifah dan Siti Hadijah (adik Sitti Syarifah setelah meniggal).
Syekh Yusuf lalu memfasilitasi jalinan hubungan antara kerajaan Gowa dan Banten. Ia menyambut kedatangan armada Gowa ke Banten yang dipimpin Karaeng Galesong bersama Karaeng Bontomarannu.
Dua raja wilayah tersebut meninggalkan Gowa karena tidak bersedia menerima Perjanjian Bungaya pada 1677.
Baca Juga: Mengapa Mitos Soal Syekh Yusuf Terus Mengalun di Makassar?
Di Banten, kedua pembesar Gowa itu bahu-membahu bekerjasama dengan Syekh Yusuf membantu perjuangan Sultan Ageng melawan Kompeni Belanda.
Kemudian atas anjuran Syekh Yusuf, Karaeng Galesong dengan Karaeng Bontomarannu juga berangkat ke Jawa Timur membantu perjuangan rakyat Madura yang dipimpin Trunojoyo.
Di Banten, Syekh Yusuf tampil sebagai patriotik mendampingi mertuanya Sultan Ageng. Begitu besarnya pengaruh yang ia miliki di kalangan rakyat Banten sehingga dia dianggap sebagai sumber kekuatan dalam perang melawan Belanda. Sementara itu, ia juga melawan Sultan Haji, putra Sultan Ageng sendiri, yang berada di pihak Belanda.
Diasingkan Belanda
Syekh Yusuf pernah tertangkap oleh Belanda di Priangan Timur. Melalui Cirebon, ia dibawa ke Batavia. Dan sejak itu, perjuangannya secara bergerilya memimpin pasukan membela kemerdekaan berakhir. Dan juga protes keras dari Raja Gowa XIX Sultan Abdul Jalil (Putra Sultan Hasanuddin) yang mengirim utusan ke Batavia minta supaya Syekh Yusuf dikembalikan ke Makassar.
Dalam penahanannya, Pemerintah Kompeni di Batavia menjatuhkan hukuman mati terhadap Syekh Yusuf. Tetapi Belanda kemudian membatalkan karena protes yang timbul di mana-mana. Penawanan terhadap Syekh Yusuf telah memunculkan reaksi huru-hara dan keributan sehingga Belanda terpaksa banyak melakukan penangkapan.
“Akhirnya hukuman mati yang diputuskan Kompeni itu batal dan diganti dengan pembuangan seumur hidup walaupun dalam pembuangan, Syekh Yusuf tidak patah hati dalam menyiarkan dan mengembangkan agama islam. Ia bahkan dianggap sebagai guru dan pemimpin umat islam di tempat itu,” seperti yang dituliskan dalam buku ‘Profil sejarah, budaya dan pariwisata Gowa’.
Protes dan reaksi keras pun sempat datang dari Sultan India Aureng Zeb Alqamir melalui kantor cabang Belanda di Massulipatan (India).
Baca Juga: Mengapa Islamisasi di Toraja Gagal?
Pada tanggal 12 September 1684, Syekh Yusuf dengan anggota keluarga dan pengikutnya dibuang ke Ceylon (Sri Lanka) oleh Belanda. Di Ceylon, Syekh Yusuf tetap giat mengembangkan paham-paham Agama Islam, maka dengan cepat pengaruhnya meluas. Di Ceylon, ia berkenalan dengan Syekh Ibrahim bin Michan seorang ahli tasauf Hindustan.
Saat diasingkan di Sri Lanka, Syekh Yusuf menikahi seorang puteri Ceylon bernama Sitti Hapipah. Karen kekhawatiran ajaran Syekh Yusuf mengancam kembali Belanda, apalagi karena hubungannya tetap berlanjut dengan perjuangan rakyat di tanah air melalui kontak komunikasinya dengan para pedagang melayu yang singgah di Ceylon.
Termasuk munculnya desakan berulang dari Raja Gowa yang menuntut pengembalian Syekh Yusuf ke Makassar. Maka, Belanda kemudian memindahkannya lagi dari Sri Lanka ke Tanjung Harapan (Afrika Selatan).
Di akhir perjuangannya, Syekh Yusuf Al-Makassari meninggal dan dimakamkan di Cape Town, Afrika Selatan. Namun, makam Syekh Yusuf juga berada di Kabupaten Gowa. Beberapa referensi sejarah bahkan menyebutkan, makam almarhum Syekh Yusuf juga terbagi di beberapa tempat. Oleh Presiden Soeharto, Syekh Yusuf diberi gelar Pahlawan Nasional pada tahun 1995.
Penulis: Ruslan