Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa Ilaaha Ilallah Wallahu Akbar, Allahu Akbar Walillahil Hamdu
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa Ilaaha Ilallah Wallahu Akbar, Allahu Akbar Walillahil Hamdu
Pagi ini kita berkumpul di rumah masing-masing, merapatkan jiwa dan raga, menadahkan hati untuk cucuran rahmat Ilahi. Pagi ini kita bertakbir, membesarkan nama Allah, agar terpatri sampai ke relung hati bahwa hanya Allah Yang Maha Besar, selain-Nya adalah kecil di hadapan-Nya.
Permasalahan sebesar apapun, menjadi kecil di hadapan keagungan kekuasaanNya. Musuh yang kuat, menjadi lemah di hadapan kekuatanNya yang tiada berbatas. Mari bertakbir dengan jiwa, lisan dan raga kita.
Kita bertakbir, bertahmid dan bertahlil terus menerus hingga memenuhi angkasa jiwa dan raga, setelah kita dengan izin Allah dapat menundukkan hawa nafsu di bulan Ramadan, untuk senantiasa berproses menjadi hamba Allah yang selalu patuh dan ta’at kepada perintah dan larangan dari Allah ta’ala.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah..
Tahun 1441 H ini kita ditakdirkan Allah menjalani ibadah Ramadan dan Idul Fitri di tengah wabah yang belum ditemukan vaksin penangkalnya. Dalam situasi kritis yang tak menentu kapan bermula dan berakhirnya pandemi global Covid-19 yang melanda negeri kita dan juga seluruh dunia, banyak orang galau dan gelisah memikirkan nasib dirinya dan keluarganya.
Dengan digalakkan social distancing, terlebih jika diambil keputusan lockdown, tentu saja berdampak kepada lesunya perekonomian nasional dan global. Banyak pekerja, karyawan dan pelajar mahasiswa dirumahkan. Konsekuensinya tempat usaha, kuliner, liburan dan hiburan pun sepi baik domestik maupun internasional.
Belum lagi jika ada di antara keluarganya yang menjadi korban Covid-19, bisa jadi suami, isteri, ayah, ibu, atau paramedis dokter yang terpapar virus corona dan harus berjuang bertahan hidup di rumah sakit di seluruh dunia. Banyak yang kalut, galau dan histeris tidak menerima takdir yang datang tiba-tiba cepat merambat ke seluruh dunia.
Tak sedikit pula, ada yang memanfaatkan situasi darurat corona untuk menimbun barang, menjual APD, hand sanitizer, masker dengan harga tinggi, atau menentang fatwa ulama, langkah pemerintah dan himbauan dokter dengan nekat mengadakan perkumpulan massa seolah tak peduli dengan keselamatan jiwa masyarakat yg merupakan tujuan syariat Islam dan kewajiban etis pemerintah.
Mereka semua itu berfikir dan bertindak egois, tidak memperdulikan kemaslahatan kolektif bangsa dan negara.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah…
Bagaimana pandangan agama dalam menghadapi situasi sulit seperti ini? Apa langkah tepat yang harus kita ambil untuk menghadapi tantangan ini?
Beruntunglah kita orang beriman diberikan wahyu Allah melalui Sang Rasul, Muhammad saw, yaitu Qur’an yang memuat pedoman hidup dalam menyikapi semua problematika yang dihadapi umat manusia.
Qur’an berisi petunjuk bukan hanya persoalan teknis akidah, ibadah, atau muamalah, tetapi juga memuat Sunnatullah yang berlaku di alam raya dan di lingkup sosial manusia. Termasuk pedoman memahami takdir yang Allah tentukan dan hikmah di balik setiap peristiwa di alam semesta, baik yang makrokosmik atau mikrokosmik.
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda–tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al–Qur’an itu adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (Q.S Fusshilat 41:53)
Salah satunya Allah berikan pedoman itu berupa kisah-kisah Qur’an yang mengandung banyak pelajaran buat kaum yang berakal (ulil albab). Agaknya kisah dialog antara Nabi Musa dan Khidir (hamba Allah yang saleh) relevan dengan situasi saat ini dalam memahami takdir Allah dengan benar.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah… Allahu Akbar 3X
Qur’an menguraikan kisah tersebut dalam satu pengantar dan tiga kasus yang dialami Musa, dan penutup singkat yang semuanya itu sebagai pedoman bagi kita untuk memahami takdir Allah.
Pangantar : Sabar Kunci Memahami Takdir
1. Dia (Khidhir) menjawab, “Sungguh, kamu tidak akan sanggup sabar bersamaku.” (Q.s. Al-Kahfi [18]: 67)
Pada ayat di ataslah kita temukan kata kuncinya. Jika kita artikan Khidhir itu sebagai takdir, maka takdir itu mengatakan bahwa “kamu tidak akan bisa bersamaku kalau kamu tidak bersabar”.
2. “Dan bagaimana kamu dapat bersabar atas sesuatu, sedang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?” (Q.s. Al-Kahfi [18]: 68)
Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa sesorang tidak akan sanggup bersabar atas sesuatu yang manusia sendiri tidak memiliki ilmunya, yaitu ilmu tentang takdir, ilmu tentang kekuasaan Allah Swt.
3. Dia (Musa) berkata, “Insya Allah, kamu akan mendapatiku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun.” (Q.s. Al-Kahfi [18]: 69)
Namun, sosok ilmu yang diwakili oleh Musa mengatakan, “Insya Allah, kamu akan mendapatiku sebagai oarang yang sabar.” Di sinilah pentingnya sabar dalam memahami takdir.
Takdir ke-1: Melubangi Kapal
Maka berjalanlah keduanya, hingga ketika keduanya menaiki perahu lalu dia melubanginya. Dia (Musa) berkata, “Mengapa engkau melubangi perahu itu, apakah untuk menenggelamkan penumpangnya?” Sungguh, engkau telah berbuat suatu kesalahan yang besar. (QS. Al–Kahfi: 71)
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah… Allahu Akbar 3X
Takdir pertama, Ketika Musa dan Khidir menaiki perahu, takdir itu seolah-olah mengatakan bagaimana nanti kalau dalam perjalanan hidup Allah berkuasa untuk melubangi atau mencederai perahu kehidupanmu?
Artinya, tidak mesti perahu kehidupan kita ini selalu berjalan mulus. Pasti ada cacat. Ada gangguan-gangguan. Bisa jadi juga karena adanya pihak yang zalim.
Dalam konteks saat ini, Kita pun tak tahu, penyebaran wabah Covid-19 ini begitu cepat. Semua rencana manusia berubah total seketika. Bursa saham rontok. Ekonomi global kolaps. UKM terimbas perlambatan ekonomi, industri pariwisata dan kuliner tertekan. Ketahanan nasional hancur dibuatnya.
“Adapun perahu itu adalah milik orang miskin yang bekerja di laut, aku bermaksud merusaknya karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas setiap perahu.” .” (Q.s. Al–Kahfi [18]: 79)
Hikmah dari pelubangan kapal tersebut adalah, kita harus siap-siap menghadapi kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Di sini ilmu tidak bisa menangkap hal itu. Ilmu tidak bisa berhadapan dengan fakta dan realitas; bahwa menurut logika, jika kapal itu dilubangi, maka akan bocor dan tenggelam.
Itu jika menurut ilmu kita. Namun, menurut takdir yang nanti akan dihadapi itu, pelubangan kapal tersebut harus dilakukan. Jadi, kita tidak harus memandang sesuatu dalam ukuran jangka pendek.
Maka, perilaku dan kebijakan itu harus ada langkah preventifnya. Kita harus sadar—berdasarkan takdir yang disimbolkan oleh Khidhir—bahwa bisa jadi Allah akan “melubangi” kehidupan kita. Itu ada hikmahnya untuk kebaikan kita ke depan.
Kita mendapatkan cobaan, tantangan yang besar, kadang membuat kita tersungkur, tetapi hal ini justru membuat kita mau bangkit. Dan ternyata, melubangi perahu itu supaya kita selamat, yaitu selamat dari penjarahan oleh seorang raja yang zalim.
Misalkan saat ini pemerintah dihadapkan pada dilema pilihan yang sulit secara ekonomi menangani pandemi Covid-19:
- Social Distancing, murah di depan, tetapi belakangannya bagaimana? Bisa jadi akan jauh lebih mahal. Keselamatan nyawa rakyat jadi korban.
- Lockdown, mahal di depan (menutup seluruh sentra kehidupan) tetapi murah di belakang. Nyawa rakyat bisa diselamatkan. Dan lebih memberikan kepastian. Keselamatan manusia harus lebih diutamakan, karena jika manusia binasa tak adaperekonomian yang bisa diselamatkan.
Dengan pandemi global Covid-19 manusia disadarkan bahwa kekuatan manusia tak ada apa-apanya di hadapan makhluk Allah yang super kecil. Ia mampu menggoncang tatanan kapitalisme global.
Virus ini sanggup menghentikan roda kehidupan dunia yg telah rapuh, dan menyingkap kepalsuan para pemimpin dunia dengan vulgar. Ia berhasil mengembalikan manusia kepada fitrahnya, yang menghamba dan berharap kepada Allah ta’ala sebagai tempat bersandar.
Itulah gambaran bahwa sebenarnya ada hikmah di balik takdir Allah. Di awal mungkin kita dibuat susah, membahayakan, begitu keras angin menerpa kita, cobaan—baik dalam rumah tangga maupun kehidupan bermasyarakat—tetapi kita harus mengambil langkah-langkah yang tepat meski dirasakan ekstrim. Ini perlu dilakukan agar ke depan justru kita akan lebih kuat.
Maha benar firman Allah,
”….Tetapi boleh jadi kamu tidak
menyenangi sesuatu, padahal
itu baik bagimu,
dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu,
padahal itu tidak baik bagimu.
Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
Takdir ke-2: Kematian
Maka berjalanlah keduanya, hingga ketika keduanya berjumpa dengan seorang anak muda, maka dia membunuhnya. Dia (Musa) berkata, “Mengapa kamu bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sungguh, kamu telah melakukan sesuatu yang sangat mungkar.” (Q.s. Al–Kahfi [18]: 74)
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah… Allhu Akbar 3X
Takdir Kedua, tentang
Khidhir yang mebunuh
anak kecil tak
berdosa. Ini berbicara tentang kematian. Mengapa setiap yang bernyawa selalu takut dengan
kematian? Mengapa yang hidup—kadang—tidak terima
dengan yang namanya
kematian? Saat keluarga
kita ada yang meninggal, anak kita dicabut
nyawanya, tetangga
kita terbunuh, terkadang muncul sikap tidak terima dengan kenyataan yang ada sehingga
terus meratapi dan menyesali.
Makanya, ada satu tindakan yang dikecam oleh Rasulullah Saw, yaitu tindakan Jahiliyah: meratapi mayat yang sudah meninggal dunia, merobek-robek baju, menyayat-nyayat tubuh, menampar-nampar pipi, dan sebagainya. Meratapi orang yang mati tidak diperbolehkan karena merupakan simbol menolak takdir yang telah ditetapkan Allah Swt.
Saat pandemi Covid-19 menyerang dunia dan juga Indonesia, tidak sedikit korban nyawa berjatuhan baik itu masyarakat, pejabat pemerintah, ataupun paramedis. Banyak anak yang kehilangan ayah/ibunya, suami kehilangan isterinya, isteri kehilangan suaminya, dsb.
Kematian yang tak terduga, merenggut semua bentuk kelezatan dan kenikmatan. Banyak yang tertegun sedih, bahkan untuk menyalatkan jenazah kawan atau keluarga sendiri harus dengan shalat ghaib. Ya Rabb! Tak ada manusia yang menginginkan kematian: Anak, ayah, bunda, kawan yang direnggut nyawanya.
“Dan adapun anak muda (kafir) itu, kedua orangtuanya mukmin, dan kami khawatir kalau dia akan memaksa kedua orangtuanya kepada kesesatan dan kekafiran.” (Q.s. Al–Kahfi [18]: 80)
Pada ayat di atas dikatakan hikmah membunuh anak kecil yang dianggap tidak berdosa. Kalau kita artikan dalam perspektif personifikasi takdir, sebenarnya bukan Khidhir yang membunuh, melainkan kehendak Allah untuk mencabut nyawa anak itu. Khidhir hanya sebagai wasilah, yaitu melalui tangannya.
Allah berkehendak untuk mencabut nyawa anak tersebut karena Allah mempertimbangkan kedua orangtuanya adalah orang yang beriman. Khawatir jika anak tersebut tadi tumbuh menjadi dewasa, justru dia akan menyengsarakan dan menyulitkan orangtuanya; akan menyusahkan orangtuanya di dunia dan akhirat. Karena itulah Allah menggantinya dengan anak yang lebih baik dan lebih shalih.
Demikian pula Covid-19 dia hanyalah alat. Allah lah yang berkehendak mencabut nyawa orang yang kita cintai. Kita tidak tahu kapan, dimana dan bagaimana rencana Allah itu diwujudkan. Kepada anak yang kehilangan ayahnya, atau orang tua yang kehilangan anaknya, yakinlah Nak, Ibu, Bapak dengan sabda Nabi Muhammad saw:
Wabah tha’un adalah mati syahid bagi setiap muslim. (HR. Bukhari-Muslim) Ya Rabb suatu tingkatan kematian yang dijamin husnul khatimah, dambaan setiap muslim. Mati syahid adalah kemuliaan yang tak bisa diraih setiap muslim. Subhanallah.
Saudaraku, kematian itu kepastian yang pasti kita alami (QS. Al-Jumu’ah: 8, An-Nisa: 78, Alu Imran: 185, Al-Anbiya: 35, Al-‘Ankabut: 57).
Kematian adalah gerbang pertama menuju alam akhirat. Kematian adalah haq seperti halnya akhirat, syurga dan neraka itu haq. Ajal kematian tak menunggu harus sakit lebih dulu atau usia lanjut. Sebagaimana ia tak membedakan kelas sosial. Orang kaya pasti mati, orang miskin juga. Penguasa pasti mati, rakyat jelata juga.
Jangan risaukan kematian yang sudah pasti, namun risaukan diri kita dengan cara seperti apa kita akan mati kelak? Membawa bekal apa untuk menghadap Allah nanti? Akankah kita husnul khatimah atau malah su’ul khatimah? Mati dalam keadaan taat atau sedang maksiat? Itu semua tergantung tekad dan ikhtiar kita untuk memperbaiki hati dan amal.
”(Allah) Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Maha Pengampun.” (QS. Al–Mulk: 2)
Saudaraku, Jangan pernah meratapi kematian karena pasti ada rahasia yang tidak kita ketahui di sebaliknya. Kita harus kuat menghadapi takdir karena kita percaya bahwa apa yang Allah gariskan terhadap hamba-Nya pastilah yang terbaik.
Sungguh, dalam Al-Qur`an disebutkan bahwa Allah tidak akan pernah menzalimi hamba-Nya sedikit pun. Manusialah yang zalim karena tidak kuasa menyikapi takdir secara bijak.
Takdir ke-3: Membangun Tembok Runtuh
Maka keduanya berjalan, hingga ketika keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka berdua meminta dijamu oleh penduduknya, tetapi mereka (penduduk negeri itu) tidak mau menjamu mereka. Kemudian mereka mendapatkan dinding rumah yang hampir roboh (di negeri itu), lalu dia menegakkannya. Dia (Musa) berkata, “Jika engkau mau, niscaya engkau dapat meminta imbalan untuk itu.” (Q.s. Al–Kahfi [18]: 77)
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah… Allahu Akbar 3X
Takdir Ketiga, peristiwa yang dihadapi Musa adalah ketika Khidhir menegakkan tembok yang sudah hampir roboh karena ternyata di bawah tembok itu tersimpan harta warisan orangtua yang ditinggalkan untuk masa depan anak-anaknya. Ini juga ada hikmah yang luar biasa.
Kala itu, Musa dan Khidhir masuk ke satu perkampungan untuk meminta makanan dan bermalam. Namun, karena tidak diberi oleh penduduk setempat, mereka akhirnya keluar. Sesaat kemudian, Khidhir melihat ada tembok yang akan roboh, dia pun membangunnya kembali.
Musa bertanya, “Kenapa kamu bangun itu? Kita sudah diusir, tetapi mengapa kita harus berbuat baik?” Ya, seperti itulah logika ilmu. Membalas kejahatan dengan kejahatan; membalas kebaikan dengan kebaikan.
Maka di situ ada peran Allah Swt, bahwa ada hikmahnya kita tidak boleh memakai logika untung rugi. Harus ada logika kebaikan yang menang di situ. Jadi, membangun tembok yang hampir runtuh ini dalam rangka menjaga keutuhan apa yang ada di bawah tembok itu demi masa depan dua anak yatim yang ditinggalkan orangtuanya.
“Dan adapun dinding rumah itu adalah milik dua anak yatim di kota itu, yang di bawahnya tersimpan harta bagi mereka berdua, dan ayahnya seorang yang shalih. Maka Tuhanmu menghendaki agar keduanya sampai dewasa dan keduanya mengeluarkan simpanannya itu sebagai rahmat dari Tuhanmu…” (Q.s. Al–Kahfi [18]: 82)
Pada ayat di atas telah disebutkan hikmahnya. Tembok itu di bawahnya ada ‘perbendaharaan, harta kekayaan untuk anak yatim tadi’. Allah menjaga itu dengan wasilah Khidhir supaya bisa dimanfaatkan untuk kedua anak yatim tersebut.
Hal itu sebagai bentuk apresiasi Allah kepada orangtua yang shalih. Karena bapak ibunya shalih, maka Allah ingin menjaga kedua anak yatim itu sebagai bentuk memuliakan orangtua yang shalih.
Demikian pula saat ini kita menghadapi pandemi global Covid-19, banyak yang harus dikorbankan oleh negara, masyarakat dan keluarga. Tidak ada yang ingin mengundang musibah datang. Tapi jika musibah sudah tiba dan memakan jatuhnya korban, maka tugas kita semua bahu membahu, bersatu untuk menangani dan mencegah penyebaran virus pandemi global Covid-19.
Saling membantu dalam kebaikan dan taqwa adalah perintah Allah. Mari kita berfikir positif, bekerja cepat dan tepat, hindari perselisihan dan keributan yang tidak perlu.
Jangan sebarkan hoax, berita yang jauh dari kebenaran, sebelum diverifikasi oleh yang berkompeten (baca QS. An-Nisa: 83). Dalam hal ini Ulil Amri yaitu para ulama rasikhin fil ilmi dalam fatwanya, pemerintah yang amanah dalam kebijakannya, dan ahli kedokteran yang jadi rujukan valid dalam soal kesehatan masyarakat.
Jangan berfikir untung rugi. Menangkan logika kebaikan, bukan logika pedagang. Jangan pula memanfatkan situasi sulit ini dengan menimbun barang pokok, masker dan keperluan medis lainnya. Buang jauh-jauh egoisme beragama.
Patuhi fatwa ulama, taati aturan pemerintah dan ikuti nasehat ahli medis untuk memutus mata rantai sebaran pandemi Covid-19. Jangan nekat mengadakan perkumpulan massa seolah tak peduli dengan keselamatan jiwa masyarakat yang merupakan tujuan syariat Islam dan kewajiban etis pemerintah.
Mereka semua itu berfikir dan bertindak egois, tidak memperdulikan kemaslahatan kolektif bangsa dan negara. Mari kita semua berbuat yang terbaik dan berikan yang terbaik agar negara kita keluar dari bencana dengan selamat dan menjadi kuat.
Mari kita amalkan
firman Allah,
Dan tolong–menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong–menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan–Nya. (QS. Al–Maidah: 2)
Kebaikan cakupannya luas, mulai dari hubungan manusia dengan Rabb nya, hingga hubungan antar sesama manusia, kepada sesama makhluk hidup (hewan, tumbuhan, dll) juga kepada lingkungan hidup baik di lingkup terkecil maupun terbesar. Kebaikan untuk Tidak menyakiti hubungan-hubungan kita itu. Karena manusia adalah makhluk sosial. بطبعه مدني اإلنسان
Taqwa pun cakupannya luas, seluas makna generiknya yaitu menghindarkan diri dari sesuatu yang berbahaya (ittiqo, wiqoyah). Bahaya murka Allah di dunia dan akhirat, bahaya siksa api neraka di akhirat kelak, bahaya azab kubur, bahaya su’ul khatimah, bahaya kezaliman kepada dirinya dan kepada sesama yang akan berbalik kepada dirinya sendiri, bahaya penyakit menular, dan sebagainya.
Orang baik dan bertaqwa bukan hanya
pandai beribadah kepada Allah ta’ala semata atau berkumpul berjamaah
di masjid untuk
shalat, zikir, taklim dan tabligh, tetapi juga yang pandai menjaga
dirinya dari segala
sesuatu yang dapat
membahayakan dirinya dan masyarakat di sekitarnya. Semua
dengan niat beribadah dan taqarrub kepada
Allah ta’ala.
Jangan lupa, perbanyaklah amal kebaikan, terutama
berbagi kepada sesama
di saat sulit, agar dosa-dosa kita diampuni oleh Allah ta’ala, serta bersabar di tengah masa sulit
agar Allah sempurnakan pahala orang
yang berbuat ihsan:
Dan laksanakanlah salat pada kedua ujung siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan malam. Perbuatan–perbuatan baik itu menghapus kesalahan–kesalahan. Itulah peringatan bagi orang–orang yang selalu mengingat (Allah). Dan bersabarlah, karena sesungguhnya Allah tidak menyia–nyiakan pahala orang yang berbuat kebaikan. (QS. Hud: 114–115)
Penutup : Keterangan Pers
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah… Allahu Akbar 3X
Inilah dialog antara ilmu & takdir. Dialog antara Musa dengan Khidhir membawa hikmah yang sangat besar bagi kita untuk menyikapi takdir. Bencana tak terduga, kematian dan logika kebaikan di tengah situasi krisis, niscaya berbuah kebaikan dan menjadi nutrisi yang menyehatkan kehidupan.
Dengannya, jika kita memahami takdir dengan benar, kita tidak akan galau, tidak akan gelisah, dan tidak akan lemah. Justru kita akan bangkit, memperbaiki kehidupan kita yang akan datang.
Kisah dialog antara Takdir dan Ilmu ini ditutup dengan ’Keterangan Pers’ singkat. Maha benar firman Allah, melalui lisan Khidir: ”Apa yang aku perbuat bukan menurut kemampuanku sendiri. Itulah keterangan perbuatan–perbuatan yang engkau tidak sabar terhadapnya” (QS. Al–Kahfi: 82)
Subhanallah, sebagaimana Khidir, seolah Covid-19 ini ingin mengumumkan kepada seluruh manusia bahwa semua yang terjadi di dunia ini akibat penyebaran virus corona, tak lain adalah kuasa Allah ta’ala. Corona tidak punya kekuatan apapun selain melaksanakan titah-Nya, Kun Fayakun!!
Pesan CORONA singkat dan jelas: kalian harus SABAR, ketika menjalani Sunnatullah dan Sunnaturrasul saat ditimpa ujian. Itulah “keterangan pers” CORONA. Singkat padat berenergi. Jika manusia tidak BERSABAR atas ujian Allah ini, maka manusia telah gagal memahami Takdir dan Sunnatullah di alam semesta. Jadi, jangan main-main, apalagi keliru memahami Sunnatullah.
Barakallahu lii wa lakum. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawwal 1441 H. Taqabbalallah minna wa minkum. Kullu ‘am wa antum bi-khayr.
Wassalamu’alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.
Sumber : Muhammadiyah