Patah hati itu bukan soal gender. Setop bilang kalau perempuan selalu terlihat menye-menye jika mengalami problema asmara.
Jakarta, Lontar.id – Sebenarnya tak baik terlalu mendramatisir suasana kesedihan seseorang. Ia berhak menikmati kesedihannya, berusaha untuk senang, berjalan sendiri, dan bikin apa saja.
Tentu tak baik jika kita terlalu cepat mengambil kesimpulan kalau ia sedang galau, bukan? Lalu apa yang harus dilakukan saat banyak media mainstream dan sejenisnya mengulas momen perpisahanmu?
Aku melihat sorot mata Luna Maya yang agak lain dalam sebuah video. Tampaknya ia baru saja menangis. Ia baru saja kehilangan sesuatu hal yang penting, atau mari berkata kebahagiannya tidak hilang, tapi pergi sebentar.
Aku selalu merasa kebahagian tidak pernah hilang. Ia cuma pergi sebentar, karena barangkali ia bosan dan capek berada di sekitarmu. Makanya aku ingin memberi gambaran personifikasi secuplik saja dalam kisah ini.
Kau menjadi seseorang yang sudah cukup lama bergelimang bahagia. Kau tertawa terbahak-bahak, kau berjalan dengan tegak di mana-mana. Kau berkata, “hei, kali ini aku sedang bahagia.”
Bahagia itu seperti tentengan yang kita bawa. Ia bisa ditinggal sebentar, kelupaan, atau bahkan pergi izin pipis ke toilet untuk beberapa jenak, sambil kita minum kopi.
Kau bangga memamerkan kebahagiaanmu di depan orang banyak. Kau bangga untuk tertawa di depan khalayak seperti tak ada beban. Hingga pada ketika kau tak tahu, ada yang pamit sebentar untuk pergi dari hidupmu.
Lalu kebahagiaan yang kaubanggakan itu bervakansi. Aku menyebutnya pelancong. Barangkali ia butuh menyegarkan dirinya sendiri. Ia barangkali butuh liburan yang panjang. Mungkin saja pundaknya pegal-pegal dipaksa untuk aktif melulu.
Suatu waktu dalam tidurmu yang dalam dan nyenyak, ia membalik badanmu dalam posisi telentang, kemudian mengecup keningmu dan berbisik lirih di telingamu, “aku akan pergi sebentar.”
Kau terbangun dengan muka yang masam pada pagi hari. Kau bahkan lupa untuk minum air putih setiap pagi, untuk sekadar melepas pahit di lidahmu. Kau selonjoran di kasur yang empuk dan tampak menyedihkan.
Sebuah ponsel berbaring di samping bantalmu. Kau sudah mengeceknya. Lalu air matamu merayap pelan-pelan di susut pipi, kemudian ke dagumu yang lonjong. Ada kalimat, “kita putus, aku tak direstui orangtuaku berkasih denganmu. Maaf.”
Pesan itu membawa mendung dalam perasaanmu. Kau tertawa kecil sejenak. Lalu menangis kembali. Kau sadar, kau sedang tidak baik-baik saja, bahkan untuk menatap mata temanmu kau tak bisa.
Kau bangkit dari aktivitas pagimu. Mencoba untuk mengeluarkan beberapa lembaran uang untuk hal yang kaukira penting dibeli, tapi sama sekali tak bisa memerbaiki perasaanmu yang menjadi cuaca buruk.
Kaubingung, karena kaukira kebahagiaan itu pergi selamanya. Bagi orang yang paham arti pergi, ia selalu punya antonim dalam sugesti pikirannya.
Dalam satu kesempatan, di biara, masjid, gereja, atau di tempat-tempat ibadah, kau bisa berdoa untuk meminta kembali kebahagiaanmu. Kau tidak meminta kekasihmu untuk kembali. Sama sekali tidak.
Di warung-warung mi instan yang tersebar, atau di depan kafe atau kelab yang dihibur musisi yang sedang melantunkan musik bossanova, kau mencatat satu lagu untuk dimainkan oleh mereka.
Kau meminta satu lagu dari Dewa 19, judulnya Kangen. Kau menikmati lirik demi lirik yang dinyanyikan oleh vokalis band bossanova itu. Kau bertepuk tangan usai lagunya habis.
Kaupulang ke rumahmu dalam keadaan yang sangat hampa dan badan yang sudah payah. Kau mendapati kamarmu menjadi sebuah rumah yang tua dan jarang ditinggali lagi. Sudah tengah malam, dan kau masih terjaga sebab takut.
Lalu kau melawan semuanya, karena sejatinya kau seorang pemberani. Kau memilih tidur dan bersiap menyambut hari yang setiap hari akan kembali ke masa lalu yang bebas kau utak-atik.
Seperti berbusana, hari-hari esok akan kauganti dengan pakaian yang kian hari kian cocok untuk kaupakai di tubuhmu. Baju yang lusuh kaubuang, atau kaupermak sedemikian rupa. Tak ada yang benar-benar kautinggalkan kecuali kauubah.
Tetapi sisi humanis yang kaumiliki lebih kuat daripada sebuah teori usang atau sepenggal lirik-lirik Rumi, Kahlil Gibran, atau pernyair-penyait tua yang lain. Kau bersedih kembali, dan merasa belum siap benar ditinggal pergi kebahagiaan yang pamit sebentar itu.
Dan kau…
Aku tidak bisa melanjutkan lagi sebuah kisah melankolik, bagaimana bahagia itu berwujud dan beraktivitas lazimnya seorang pekerja kantoran. Tak baik menggalau dan memanggil kesedihan datang di pelupuk mata, bukan?
Melihat kondisi Luna, ingin sekali aku sampaikan kalau perempuan bukanlah makhluk yang rentan galau, yang lebih mengedepankan perasaanya.
Kesedihan itu bukanlah sosok feminin. Ia menjadi struktur utuh yang tak bisa ditebak jenis kelaminnya. Aku bersaksi jika kesedihan, ya itu tadi, pergi sebentar dulu.
Aku selalu menolak anggapan, kalau seseorang berkata lancut seperti, “Kau seperti perempuan yang sedang galau. Kau lelaki, pakai nalarmu. Logika.” Aku selalu menolak anggapan itu.
Atau jika seseorang lelaki tak setuju dengan pernyataanku ini, ia bisa menekur kalau personifikasi perasaan yang kubuat sudah didasari logis yang tegak-setegak-tegaknya dan berusaha dibuat menyenangkan.
Mbuhlah, aku macam filsuf aja, Kak. Hehe.
Sebab kita tak perlu bertengkar untuk membaca perasaan orang lain, kan? Kita cuma butuh untuk peka bersama-sama. Untuk beretiket menghargai seseorang yang ditinggal kebahagiaan yang bervakansi.
Aku berharap, kelak, seorang lelaki, atau mungkin saja Reino Barack membaca ini, ia tidak lagi malu untuk menampakkan apa yang hatinya rasakan.
Jangan sampai karena persepsi yang disampaikan orang, membuat diri mereka selangkah lebih maju dan menerima begitu saja kalau galau itu identik dengan perempuan.
Reino dalam beberapa kesempatan terlihat baik-baik saja di depan kamera yang disorot ke wajahnya. Namun, kawan-kawan media mesti tahu, hubungan itu dijalani sepasang manusia alias dua orang.
Lantas mengapa hanya Luna yang dianggap sebagai seseorang yang benar-benar kesakitan ketika ditinggal nikah? Kenapa kita tak pernah mengecek perasaan mantan kekasihnya itu? Apa memang sudah tidak bisa?
Mari sama-sama menganggap kalau kebahagian itu cuma pergi sebentar. Ia bukan sesuatu yang hilang selamanya, kok. Ia cuma izin, namun kau tak pernah sadar, ia bersurat atau langsung nyelonong saja. Kayaknya, kau harus peka mulai sekarang, atau sebentar lagi.