Yang kaucintai boleh kautinggalkan, namun yang mencintaimu akan tetap bersamamu.
Jakarta, Lontar.id – Barangkali kutipan di atas sebagai gambaran bahwa orang-orang yang mencintai kita dan yang kita cintai, akan menerima kabar yang tak enak.
Kisah-kisah masa lalu tercipta untuk membaca masa depan. Misal, kaumenaruh dompetmu di sembarang tempat, kemudian itu hilang. Besok kautakkan melakukannya lagi, sebab hal itu keliru. Kecuali memang kaupikun untuk hari kemarin.
Aku menceritakan kisahku sendiri. Jika di hadapan orang, aku akan selalu malu untuk mengungkapnya. Patah hati itu tidak benar-benar baik untuk dirasakan, kecuali diceritakan untuk dijadikan pelajaran.
Dulu sekali, seorang perempuan hadir dalam hidupku yang rela membuat satu makanan pengganjal perut, ketika kita berdua akan bepergian jauh. Ia membuat makanan, padahal kita ingin makan bersama saat jalan berdua.
Omelet. Seingatku ia memberi sejumput keju yang sudah diparut di atas makanan itu, dengan nasi yang sekiranya dua sendok penanak. Lalu ia tersenyum manis sekali di atas kendaranya.
“Aku menyiapkan ini untukmu,” ia merogoh tasnya yang cukup besar. Tas kepit kulit.
Wajahnya yang oriental selalu membuatku jatuh cinta berkali-kali. Aku bukan orang yang mencintai fotonya. Kauperlu tahu itu, biar nanti, setelah tulisan ini selesai, kita bisa berbicara banyak.
Lalu ia memberiku sebuah tempat makan anak kecil yang tertangkup. “Masih hangat.” Ia menyuruhku membuka makanan yang ia buat di rumahnya, sebelum kami pergi berdua.
Aku menghirup makanan itu. Omelet. Bau msg, telur yang digoreng dengan mentega, serta keju, benar-benar membuatku kelaparan lebih cepat.
Aku mencintainya karena ia membuatku menjadi seperti anak kecil. Kami berdua makan di atas mobilnya dengan cepat, sebab kami bukan tipikal orang yang suka makan dengan lambat.
Kami akhirnya menghabiskan makanan itu bersama-sama. Ia mengambil satu tumbler yang disiapi dalam tasnya, kami saling bagi air minum saat itu juga.
Lalu ia menyibak poninya. Rambutnya cukup menganggu saya kira. Sebab, selama bertemu, ia selalu menyibak dan menyibak lagi poninya. “Kenapa tidak diikat saja?”
Ia tersenyum. Kemudian ia menyibak lagi poninya. Ada banyak jerawat kecil, atau mungkin saja biji keringat di dahinya yang putih kemerahan. Lalu sebagai seorang kekasih, jawaban-jawaban dari pertanyaanku tadi, akhirnya tak butuh kudengar.
Aku menghargainya sebagai seorang perempuan yang membuatku seperti seorang yang butuh diurus setiap hari. Seperti bayi. Namun, kisah tidak pernah ada yang abadi. Ia akan selesai.
Aku kurang hormat dengan orang yang angkuh. Mendengarkan kesombongan bukanlah hobiku, apalagi memuji setinggi langit untuk mendapatkan apa yang kumau. Aku bukan tukang kecap.
Berkali-kali, kekasihku selalu sinis dengan orang-orang yang berada di bawahnya. Baik kecantikan, segi materi, dan macam-macam hal. Ia begitu gampang merendahkan orang lain.
Aku sudah memberitahu kalau sikapnya kurang baik. Kawan-kawanku jadi malu jika harus bergabung dengan kami dalam satu acara. Kawan-kawanku lebih banyak tahu diri jika kekasihku itu siapa.
Menyedihkan sekali. Akhirnya aku berpikir untuk meninggalkannya, meskipun sudah banyak kebaikan yang ia buat. Aku harus beranjak dari posisiku untuk memberinya satu pelajaran, atau mengajari diriku sendiri.
Hubungan kami renggang. Aku jadi malas-malasan lagi menghubunginya. Ia bahkan bertanya-tanya, “kenapa kamu tak menghubungiku? Apakah aku punya salah?”
Aku menjawab itu dengan santai. Aku katakan, aku sibuk dan banyak pekerjaan rumah yang harus kuselesaikan. Lagipula, membalas pesan setiap harinya membuat jemari dan leherku capek menunduk.
“Ingin kutelepon?”
Untung saja, sebagai lelaki, aku tak ingin. Lagipula, aku tak begitu suka ditelepon berlama-lama. Agak aneh dan bikin mual. Aku pernah mencobanya dan selalu gagal. Pada siapapun. Siapapun.
Ia paham. Ia mencoba mengerti posisiku. Pada temannya, ia menangis. Katanya, aku tak peduli. Kabar itu disampaikan kawannya padaku. Aku realistis dan bilang aku capek. “Tidak selamanya aku harus menghubunginya.”
Jahatnya sosial media, aku berkenalan dengan seorang perempuan. Ia adik kelas pacarku. Kami sering berbelas pesan, baik lewat ponsel dan kolom chat di media sosial. Kami berdua menikmatinya. Belakangan aku tahu, aku yang jahat, bukan media sosialnya.
Adik kelas pacarku itu keturunan Arab. Aku suka alisnya yang tebal, dan tatapan matanya yang tajam. Senyumnya juga menarik, dan selalu membuka percakapan yang memungkinkanku untuk masuk, sekadar memperpanjang obrolan.
Lalu pelan-pelan, hubunganku dengan pacarku membaik kembali. Perasaanku terbagi: dengannya, juga dengan adik kelasnya. Hal itu membuatku hati-hati.
Pada satu kesempatan, aku tahu adik kelas pacarku itu juga tidak sebaik yang kuduga. Ia juga punya banyak teman lelaki, dan membuka dirinya bergaul dengan siapa saja. Ia beda dengan pacarku.
Aku tahu diriku benar-benar egois. Adik kelas pacarku tak punya status denganku, juga dengan yang lain. Ia berhak untuk ramah pada siapa saja.
Tanpa ingin menceritakan panjang lebar lagi, akhirnya hubunganku ketahuan. Pacarku marah, dan melabrak adik kelasnya. Aku benar-benar merasa malu. Padahal kami berdua tidaklah sedang berkasih.
Akhirnya, aku disuruh memilih sebab kemarahan pacarku sudah naik ke ubun-ubunnya. Pilihan yang berat. Jika mengingat ini, selalu saja aku ingin tertawa dan meludahi masa laluku.
Pertama, aku orang yang kere melilit. Tidak ada satu hal yang bisa kubanggakan dari diriku. Kedua, aku tidak pintar. Ketiga, wajahku pas-pasan, dan apalagi yang bisa kaubilang?
Namun, anehnya aku punya pacar. Lantas apa yang disukai perempuan padaku waktu itu? Aku sadar diri, dan tidak memilih keduanya. Keduanya punya potensi bikin pusing dan bikin sakit hati.
Kami berpisah…
Seketika, suara dari masa lalu itu melambai, usai mengingat-ingat apa yang bisa kutuliskan soal pemilihan presiden kita. Kenyataan ini saling berhadapan dengan kondisi pemilihan lima tahunan yang kalau dipikir bisa bikin puyeng.
Ada yang jadi budak cinta, meski tahu Jokowi sudah menyusun daftar kebohongan yang baru, entah itu soal kemanusian, ekonomi, dan masih banyak lagi. Emang gue pikirin, yang penting Jokowi.
Tipikal ini sama sepertiku dulu. Sudah tahu kalau pacarku sering merendahkan orang, namun masih kupertahakan. Alasannya, karena takut tidak punya pacar, atau sudah nyaman. Zaman itu waktu aku masih anak layangan.
Ada juga yang menjadi budak dari Prabowo. Banyak. Ia belum tahu, bagaimana menjadi rakyat yang dipimpin oleh mantan Tentara Nasional Indonesia itu. Yang penting Prabowo, selain Prabowo, no way!
Tipikal ini, sama seperti aku yang sudah lelah dengan kelakuan pacarku dan ingin segera menggantinya atau berselingkuh. Pokoknya jalanin aja dulu, nanti kalau mengecewakan, menyesal belakangan.
Lalu hadirlah golongan putih. Yang tak ingin memilih keduanya, karena mereka tahu, keduanya punya kekurangan. Jokowi tak lebih baik dari Prabowo, begitupun sebaliknya. Keduanya punya kebaikan, intinya. Dan salah satunya bukan untuk dipilih.
Tipikal ini, sama seperti aku yang memutuskan untuk tak memilih keduanya. Sebab, memilih salah satu akan mengecewakan yang satunya. Biarlah aku yang disalahkan, karena awal dari kerumitan ini adalah aku.
Namun belum berhenti sampai di situ, orang-orang di luar dari golongan putih, ramai-ramai menyalahkan orang tak ingin menjatuhkan pilihan kepada orang yang salah dan orang yang belum diyakininya.
Tipikal macam ini, adalah orang yang kurang kerjaan sebab terlalu jauh mau mengurusi perasaan-perasaan–sudut sensitif dan privasi dari kita. Pakai marah-marah dan tuduh sembarangan kalau kita enggan memilih.
Sampai sekarang, aku yang menanggung risikonya sendiri, setelah tak memilih siapa-siapa, baik pacarku dan adik kelas pacarku. Pacarku sudah memarahi adik kelasnya, dan tak mungkin ada ruang lagi saya mencintai adik kelas pacarku.
Sampai sekarang, aku juga masih mencari, siapa orang yang paling baik menurutku, yang bisa aku jadikan tempat belajar, dan tempat mencurahkan hal-hal yang baik selama hidup.
Terpenting, aku masih mencintai mantan pacarku dan adik kelasnya, meski keduanya tidak bisa lagi kumiliki. Maka dari itu, mari teriak: Hidup golongan putih, hidup orang yang memilih untuk jomlo!