Air mata, tangis, penderitaan, bahkan sadisme terbingkai dalam memori kelam di zaman perang. Nusantara yang terjajah pernah mengalaminya. Jepang di tanah air pernah menindas bangsa ini dengan tidak manusiawi. Bahkan keji sekaligus kejam.
Lontar.id – Mengenang kembali kekejamanan tentara Jepang, ibarat membuka kembali lembaran sejarah kelam masa lalu. Perbudakan yang masif hingga mengambil paksa para perempuan untuk dipekerjakan sebagai ‘budak seks’ atau yang biasa disebuat sebagai Jugun Ianfu. Mereka dipaksa melayani nafsu bejat para tentara Jepang.
Kekejaman militer Jepang tak hanya di situ. Bagi Jepang, sekali menjajah maka istilah belas kasih harus dibuang jauh-jauh. Maka wajar jika rakyat diperlakukan semena-mena. Kaum lelaki diperlakukan tak manusiawi. Di bawah tekanan para militer mereka dipaksa menambang hasil alam, untuk menyokong kekuatan militer Jepang. Penyiksaan, pembunuhan, kerja paksa dan pelecehan seksualitas kerap dialami warga setiap hari.
Jepang memang hanya 3,5 tahun di Indonesia. Namun rentan waktu itu, banyak kisah pilu dan kekejaman yang kisahnya membuat siapa pun mendengarnya emosi. Selain di Indonesia, ekspansi Jepang menduduki daerah jajahan lainnya juga menceritakan kisah serupa.
Kebengisan Jepang juga sulit dilupakan rakyat Korea. 35 tahun penderitaan itu dilalui (1910-1945). Sekelumit kisah kekejaman tentara Jepang terhadap warga Korea Selatan, terekam jelas dalam sebuah film The Battleship Island (produksi tahun 2017) yang diangkat dari kisah nyata, pada tahun 1940-an, sewaktu perang dunia ke-II.
Film ini mengisahkan tentang sejumlah warga Korea Selatan yang dijadikan sebagai pekerja paksa menambang batu bara disebuah terowongan besar di sebuah pulau dekat Kota Nagasaki yaitu Hashima Island di Jepang. Para pekerja didatangkan dari berbagai kota di Korea Selatan, mulai dari pria dewasa, perempuan hingga anak-anak kecil.
Mereka diangkut menggunakan kapal besar, menuju sebuah pulau yang tak pernah mereka pikirkan sebelumnya. Dalam film tersebut mengisahkan, sebanyak 400 orang warga Korea yang didatangkan dan harus bekerja untuk menggali lapisan batu bara di sebuah terowongan besar. Kondisi kehidupan para pekerja paksa sangat mengenaskan, mereka harus rela hidup di bawah tekanan, jika menolak bekerja keras maka nyawa jadi taruhannya.
Juga tak sedikit di antara mereka yang berada dalam terowongan batu bara, meregang nyawa karena kecelakaan hingga terowongan sengaja dihancurkan menggunakan bom. Perilaku yang tidak manusiawi sangat terlihat jelas dalam film tersebut, menujukkan kekejaman Jepang terhadap warga Korea. Hingga pada akhirnya para pekerja paksa merencanakan untuk kabur dari pulau Hashima.
Sebelumnya, Park Moo Young (So Joong Ki) seorang tentara kemerdekaan Korea Selatan, yang dilatih oleh militer Amerika Serikat dan dikirim ke Pulau Hashima, menyamar sebagai pekerja untuk menyelamatkan tokoh pejuang kemerdekaan. Namun diakhir cerita ia harus menyelamatkan semua pekerja untuk naik di atas kapal menuju negaranya. Namun aksi pelarian itu ketahuan dan terjadi peperangan yang sangat menegangkan.
Kisah yang terangkum di film itu memperlihatkan potret tentang perjuangan para pekerja paksa, di masa akhir perang kemerdekaan Korea Selatan dan kekejian tentara Jepang memperlakukan para wanita yang dijadikan sebagai budak pelacuran (Jugun Ianfu). Kekejaman perang sangat kontras terlihat saat korban berjatuhan, mayat-mayat berserakan, hasil alam dikeruk habis hingga kesengsaraan dan kengerian yang tidak bisa dibayangkan.
Penjajahan Jepang di Indonesia
Kekejaman tentara Jepang juga dirasakan oleh warga Indonesia. Masyarakat dijadikan sebagai pekerja paksa (Romusha), untuk menyokong kekuatan militer Jepang, warga Indonesia bekerja siang dan malam untuk memenuhi kebutuhan perang Jepang. Para pekerja paksa ini dipaksa bekerja membangun jembatan, jalan raya, terowongan dan rel kereta api.
Romusha juga dipekerjakan untuk mengeruk potensi alam nusantara seperti di pertambangan, menggali hasil bumi seperti batu bara, emas, minyak dan bahan mentah lainnya. Kemudian diangkut ke kaisaran Jepang. Sumber daya alam nusantara sebenarnya untuk mendukung industri-industri di tanah air mereka, sebab pada saat itu, Jepang sedang di embargo oleh Amerika Serikat, pasca serangan mendadak angkatan laut Jepang terhadap Armada Pasifik di Pearl Harbor, Hawaii Amerika Serikat pada 1941.
Kedatangan Jepang ke nusantara, awalnya diterima secara suka cita oleh warga dan tokoh pergerakan Indonesia seperti Soekarno dan Muhammad Hatta yang kelak menjadi presiden dan wakil presiden pertama Indonesia. Karena pada saat itu, Indonesia sedang menghadapi penjajahan dari Belanda yang berlangsung sejak lama.
Kedatangan Jepang yang mendarat pertama kali di Tarakan, Provinsi Kalimantan pada awal Januari 1942, ibarat angin segar karena Jepang menjanjikan akan menyerahkan kemerdekaan ke Indonesia dan terbebas dari penjajahan Belanda. Dengan kekuatan militer, Jepang berhasil mengusir Belanda dari tanah jajahannya tanpa mendapatkan perlawanan sengit dan setelah itu, Jepang mengirim ribuan pasukan tentara lalu menjajah Indonesia.
Jepang datang dengan mengusung tiga semboyan yang dikenal dengan Tiga A; Nippon pelindung asia, Nippon cahaya asia dan Nippon pemimpin asia atau disebut sebagai Tiga A. Istilah yang dikemas indah itu nyatanya seperti jebakan yang membawa rakyat ke lembah penderitaan.