Lontar.id – Jalanan di Medan Merdeka Barat cukup ramai dengan lalu lalang kendaraan. Ojek online pun tak mau ketinggalan mengantar jemput penumpang.
Mungkin mereka lagi kejar setoran, agar asap dapur terus mengebul, juga poin yang harus terpenuhi. Kabar baiknya, para driver ojek online ini disenangkan oleh kenaikan tarif baru. Paling tidak menambah pundi-pundi pendapatan dan bisa membantu mengurangi bayar kreditan tiap bulan semakin numpuk.
Di Halte Monas seberang jalan, calon penumpang Transjakarta duduk berderetan, ada yang serius melototi ponsel, juga terlihat serius mendengarkan temannya bercerita sambil menunggu Busway tiba.
Saya bersama teman memacu sepeda motor dari arah Jalan Kuningan, Gedung KPK menuju Kantor Kemeninfo dan tiba sekira pukul 19:30 WIB.
Sambil menunggu konferensi pers yang akan membahas ‘Perkembangan Arus Informasi Papua’ dari Menteri Kominfo, Menko Polhukam, Kepala Staf Kepresidenan, Menteri Luar Negeri dan Kepala Badan Siber dan Sandi Negara.
Pembahasannya tidak jauh dari perkembangan terkini situasi kerusuhan di Papua dan soal pembatasan akses internet yang sempat dikeluhkan warga Papua dan LSM.
Karena acaranya belum dimulai dan biasanya kerap tidak tepat waktu, kami bertiga mencari tempat pedagang kaki lima yang menjajakan jualannya di sekitar situ. Ketemulah salah satu penjual yang sering mangkal, saya memesan kopi hitam sasetan.
Biasanya pedagang kaki lima sangat mudah diajak ngobrol, mereka sangat ramah dan mau menceritakan pengalaman hidupnya, baik itu saat dia sedang senang maupun dalam keadaan terpuruk karena musibah.
Saya memancingnya mengobrol terlebih dahulu, agar ia merasa nyaman. Dengan begitu, ia tak akan segan membagi kisah hidupnya. Sebut saja namanya Abdur, lelaki asal Madura dengan tinggi sekisar 160 meter, kira-kira10 sentimeter lebih tinggi dari saya.
Dari raut wajahnya ia masih terlihat muda sekitar kelahiran tahun 90-an. Barang dagangannya tak terlalu banyak, hanya beberapa rencengan minuman segar yang digantungkan di pagar.
Seperti beberapa merek kopi saset, susu, minuman perisa dan sekotak rokok yang dimasukkan dalam kardus. Tak ada kios maupun gerobak yang digunaka. Pagar Gedung Kementrian Perhubungan dekat pos jaga satpam yang dijadikan tempat menaruh dagangannya.
Sambil mengaduk kopi saset dalam gelas bekas air mineral, Abdur memulai kisahnya selama merantau di Jakarta. Pada medio 2008 lalu, Abdur baru pertama kali menginjakkan kaki di ibu kota.
Seperti para perantau lainnya, kedatangannya di Jakarta penuh harap akan sukses dan mengubah nasib. Hidup serba tercukupi dari perusahaan yang akan ia masuki nanti dan bisa menyimpan uang untuk masa depan.
Jalan hidup seseorang itu tak selalu selaras dengan keinginan, meski keinginan kita akan menjadi orang sukses di ibu kota. Namun, tak ada yang tahu nasib kita ke depan seperti apa, apakah sesuai dengan ekspektasi awal atau berkebalikan.
Abdur datang dari Madura ke Jakarta, menggantikan saudaranya yang sudah lama bekerja sebagai penjual eceran di depan Kantor Kementrian Perhubungan. Saudaranya sudah lama kembali ke kampung halaman.
Abdur melanjutkan usaha kecil itu untuk menopang kehidupan sehari-hari, dari usahanya ia bisa menyewa kos-kosan di sekitar pasar Tanah Abang bersama dengan perantau dari Madura lainnya.
Ia masih beruntung bisa mendapatkan kosan bersama dengan orang sekampungnya. Demikian juga dengan pemilik kos juga berasal dari Madura.
Jadi, urusan biaya kos dan kehidupan sehari-hari tidaklah terlalu memberatkan, meski pendapatannya sehari-hari tak menentu dan masih jauh dari kata layak.
Berapa pun hasil penjualannya setiap hari, ia tetap saja bersyukur, karena masih bisa memenuhi kebutuhannya. 10 tahun jadi penjual eceran, banyak sekali pengalaman yang ia alami.
Jika hujan mulai turun, ia terpaksa berteduh ke dalam kantor pos jaga satpam. Demikian juga dengan saat adanya operasi penertiban dari dinas setempat. Kantor satpam sudah jadi rumah pelindung bagi Abdur agar terhindar dari razia.
“Saya menjual di sini sejak tahun 2008 lalu, menggantikan saudara saya yang pulang kampung. Selama itu saya hanya berjualan di sini enggak pindah-pindah,”
Bila dulunya pekerjaan ini ia lakoni sendiri, kini setelah menikah sebulan yang lalu dengan sesama orang Madura, terkadang istrinya yang menjual di siang hari. Malamnya, Abdur menggantikan istrinya.
Biasanya, ia selesai menjual sekitar pukul 23:30, namun bila masih banyak orang, ia bisa pulang ke rumah lebih lama lagi. Tergantung ramai atau tidak orang yang datang membeli.
Cuma beberapa hari ini, sang istri belum bisa aktif menjual kembali seperti biasa, karena kecapaian dan sakit. Siang hari, Abdur memanfaatkan waktu kosong sebagai driver ojek, hitung-hitung menambah pendapatan.
“Kalau siang hari saya ngojek, malamnya gantikan istri. Cuma sekarang lagi sakit, jadi saya gantikan,”
Abdur termasuk orang yang cukup cekatan menyisihkan uang. Sebagian ia siapkan untuk keperluan mendesak, seperti biaya pengobatan rumah sakit.
Apalagi sekarang sudah berumahtangga, maka bertambah pula beban biaya hidup. Maka ia harus lebih pandai-pandai lagi menyimpan uan. Berjaga-jaga bila sang istri masuk ke rumah sakit.
Jika bicara menyangkut jualan, ada banyak sekali kesulitannya. Orang-orang yang suka ngutang, namun tidak pernah bayar.
“Ada juga Mas, dia ngutang tapi pura-pura lupa, padahal pendapatan saya dari jualan kecil ini. Tapi ya sudahlah, mau diapa kalau dia nggak ingat lagi”
Di akhir diskusi saya dengan Abdur, ia mengaku berangkat ke Jakarta karena tak ingin jadi petani di kampungnya. Menggarap sawah dan ladang bukan kemauan Abdur, ia lebih pilih merantau ke Jakarta mencari peruntungan lain.
Seberapa pun pendapatan di sana, tetap saja habis, bahkan ia tak punya pikiran untuk menyimpan buat masa depan. Berbeda halnya ketika di Jakarta, ia lebih rajin menabung untuk keperluan masa akan datang.
Editor: Almaliki