Jakarta, Lontar.id – Mari berbicara soal Marc Klok, tetapi awalilah dengan berpikir kalau baru kali ini, Bhayangkara berhasil membawa pulang tiga poin melawan PSM Makassar di Stadion PTIK.
Selebihnya, mereka hanya mampu bermain imbang atau kalah. Hasil itu tak lepas dari kerja sama tim. Sebab sepak bola bukanlah sebuah tontonan untuk menonjolkan satu orang saja. Jika seorang, itu namanya tinju atau angkat besi.
Seluruh kesatuan tim pantas untuk sadar diri bahwa mereka salah karena kekalahan. Penyerang tidak mampu mencetak banyak gol dari Bhayangkara FC. Gelandang juga sering kehilangan bola dan gampang diserang balik. Pertahanan juga keropos.
Nyaris seluruh stadion bergemuruh sewaktu Zulham Zamrun menyamakan kedudukan. Semuanya berpikir kalau hari itu PSM bisa menyamakan kedudukan atau paling tidak menang. Untungnya, Juku Eja mengemas gol tandang.
Langkah itu mempermudahnya memenangkan pertandingan di Stadion Mattoanging. Cukup 2-0, maka ia berhasil melaju ke fase berikutnya. Namun hal itu cukup berat, sebab pertahanan PSM, masih belum padu.
Belum ada jaminan PSM akan lolos. Secara optimistik, mudah terdengar, sebab Darije diyakini akan mengubah strategi dari pertandingan sebelumnya.
Nyatanya, bek-bek PSM begitu mudah untuk diajak duel dalam berlari, dan hasilnya: mereka gampang ditinggal. Sisi kiri dan kanan pertahanan PSM juga, mudah dieksploitasi. Ini jadi PR berat untuk Darije Kalezic.
Munhar dan Aaron Evans belum menunjukkan secara penuh bagaimana seharusnya stopper bekerja. Ia keteteran mengawal para striker Bhayangkara kemarin. Tak ada yang benar-benar bisa diharap. Skema serangan balik, menghasil lebih dari sebiji gol.
Jauh dari itu, permainan PSM semakin mendekati waktu bubaran, pertahanannya memang makin melempem. Serangan-serangan yang mereka buat juga tak menghasilkan apa-apa, selain membuhkan kekecewaan pada beberapa pendukung di PTIK.
Bayu Gatra tak mengubah banyak wajah pertandingan. Apalagi Eero Markkanen. Ia seperti kekurangan semangat. Tak seperti sewaktu di AFC. Atau memang klub AFC berada di bawah Bhayangkara?
Jika ingin berpikir realistis, memang ada yang menyulitkan mereka. Pertandingan esok melawan Home United, mau tidak mau, menjadi beban buat pemain inti yang lain. Istirahat selama dua hari diselingi latihan, tidak masuk akal bagi klub profesional. Aturan ini mengerikan.
Mau bagaimana lagi, hal itu yang harus dihadapi dengan senyuman. Jika toh kalah dan pemain menyimpan tenaga, tidaklah masalah. Lapangan sepak bola bukan ladang pembantaian. Simpan ego pendukung, sebab jika dirasa, kurang adil meminta mereka total jika melihat kenyataan aturan yang kurang manusiawi.
Lagipula sore itu hujan. Cuaca Jakarta juga begitu dingin. Seorang olahragawan kerap menjadikan cuaca kendala utama. Apalagi pemain PSM yang diimpit pertandingan. Salah sedikit, mereka bisa sakit jika tenaganya diforsir.
Tetapi…
Sore itu, Klok bermain tidak seperti kawan-kawannya yang lain. Ia berlari terus-menerus. Ia menunjukkan semangat juang di hadapan para pendukung yang datang membeli tiket; yang jauh-jauh dari Makassar.
Klok membuat seluruh pendukung di PTIK berdecak kagum. Setelah ia beberapa kali mematahkan serangan dan sampai terjungkir saat berjibaku dengan pemain Bhayangkara FC. Klok makin menyala, di saat kawannya meredup.
Dalam satu perbincangan dengan suporter di tribun sebelah kanan PTIK, di tempat teratas, ia mengakui kalau PSM sekarang butuh seorang gelandang pendobrak yang mampu duel dengan pemain lawan. Istilahnya, baku tabrak.
“Kita sudah jarang melihat pemain dengan kekuatan seperti itu,” ujar Indra Igo, salah satu dedengkot Gue PSM, yang membawa nama suporter PSM ke Jakarta, beberapa tahun yang lalu.
Nyatanya memang begitu. Setelah Syamsul tak ada, belum ada gelandang yang diakuinya ingin baku hantam dengan pemain. Sentuhan gaya anak Makassar, belum ditemukan Indra.
Syamsul, selama di PSM, mempertontonkan bagaimana anak Makassar seharusnya tidak jadi penakut di lapangan hijau. Julukan Syamsul sebagai Si Tenaga Kuda memang pantas disematkan. Itulah ciri sepak bola Makassar: keras.
Pernyataan Indra patut dipertimbangkan, sebab satu nama yang mencolok yakni Asnawi Mangkualam Bahar, menunjukkan bagaimana Syamsul pernah bermain. Bayang-bayang legenda PSM itu belum hilang.
Asnawi juga menjadi langganan timnas. Ia dianggap menjadi pembeda, saat dimasukkan dari bangku cadangan. Kerap kali ia membawa bola melewati beberapa pemain, baik saat jadi bek atau gelandang bertahan.
Kedua posisi itu menempatkan Asnawi wajib keras dan tak neko-neko berhadapan dengan lawannya. Melempem sedikit, posisinya bisa tergusur. Ia bawa nama Timnas, bawa nama PSM.
Menyoal soal bayang-bayang Syamsul, Klok sepertinya akan menjadi The New Syamsul. Ia versi modern, soal bagaimana operan yang lebih baik lagi, kematangan serta ketenangan dalam mengatur ritme pertandingan.
Kekuatannya juga persis Syamsul. Ia siap menghajar pemain yang membahayakan pertahanan timnya. Di bawah guyuran hujan beberapa waktu yang lalu, ia telah melawan sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.
Tiga sampai empat pemain harus menjaganya, saking berbahayanya pemain asal Belanda, yang sebentar lagi akan menjadi warga negara Indonesia itu. Bukan membesar-besarkan, seluruh klub di Indonesia kini harus takut kepada PSM, kepada Klok.
Garis bawahilah, kalau kata takut diharuskan, jika seluruh pemain semangatnya seperti Klok. Sebaliknya, remehkan PSM, jika seorang saja yang menonjol. Sebab PSM bukan milik seorang, tetapi Pasukan Ramang adalah tim. Ia lebih besar dari satu atau dua orang.