Jakarta, Lontar.id – Timnas Indonesia U-23 milik bangsa kita itu, kalah. Mereka ditekuk Thailand dengan skor 4-0, kemudian dihajar Vietnam dengan skor 1-0. Praktis dua kekalahan itu membuat skuat Garuda Muda tersingkir.
Kita bisa menepuk pundak anak-anak muda itu, dan berkata, “tidak ada negara dan klub di dunia ini, yang pernah kalah, anak muda. Tegakkan kepalamu. Tersenyumlah. Kita bangkit lagi. Kita semua bisa.”
Aku juga bisa memeluknya dengan erat, atau merangkulnya, atau bagaimana caranya biar mereka tidak lagi tertunduk menyedihkan seperti pecundang yang mundur sebelum pertandingan. Mereka tidak gentar. Catat itu.
Itu kalimat yang aku pikirkan saat mereka sedih lagi, kalah lagi, gagal lagi dalam helatan sebesar itu. Masyarakat Indonesia pasti banyak yang lesu. Mereka juga pasti setuju, jika menyemangati pemuda militan itu adalah sebuah kewajiban.
Dalam sebuah kesempatan, aku pernah berpikir jika yang merusak timnas kita, kalau bukan PSSI sendiri, paling banter adalah infotainment yang ngaco. Ngaco karena, kenapa sih kalian ini pengen ngerusak konsentrasi anak-anak timnas, heh?
Tetapi keinginan macam begitulah, yang menimbulkan tanya setiap saat. Ada lagi, ada lagi, dan ada lagi. Dalam gagasan, selalu ada tanya, hingga akhirnya kauberhenti di dalam satu tanya, yang bahkan semesta pun tak bisa menjawabnya.
Aku melihat diriku sangat menyedihkan, bahkan dalam tahap sampai berpikir, mengapa sih aku terus mempertanyakan kekalahan timnas dan mencari kambing hitam melulu atas kekalahannya, tanpa ada analisis yang tepat dan terukur.
Dalam sebuah acara televisi kebangaan anak muda zaman dahulu, acara musik yang banyak penonton bayaran seperti kampanye akbar, hadirlah sekumpulan pemuda tangguh yang dinamai Garuda Muda. Mereka itu timnas Indonesia U-23.
Mereka dihadirkan sebab sudah menjuarai piala AFF 2019. Mereka mempertontonkan pertandingan yang menarik dan membenamkan Thailand, musuh bebuyutan kita semua dalam sepak bola, dengan skor 2-1.
Permainan tanpa kenal lelah setiap lini timnas kita kemarin, benar-benar patut diacungi jempol. Seusai mengalahkan Thailand waktu itu, mereka berjoget ria bersama pelatih masa depan timnas Indonesia senior, Indra Sjafri.
Piala AFF saat itu mereka ciumi seperti hewan peliharaan yang lucu dan menggemaskan. Mereka angkat dan para pemain dan ofisial timnas saat itu bersorak kegirangan. Kita juara, kawan-kawan.
Euforia mereka, euforia kita juga. Televisi itu berpikir bahwa kemenangan timnas adalah momentum yang tepat untuk memanfaatkan emosi penonton sepak bola di Indonesia. Makanya, kedatangan mereka disetujui.
Barangkali, kedua pihak antara timnas dan pihak televisi itu sudah bersepakat akan bekerja sama. Kedua pihak juga mungkin saja sama-sama diuntungkan. Kita tidak pernah tahu bagaimana dapur timnas sekarang soalnya. Apalagi PSSI yang sedang diobok-obok.
Lalu pertanyaan-pertanyaan sudah selesai. Mereka bubar dalam acara itu. Mereka fokus lagi untuk bersiap menyambut kualifikasi AFC menghadapi lawan-lawan berat. Sembari berlatih, mereka digunjungi oleh pecintanya bahwa mengapa sih timnas kita hadir ke acara yang tidak jelas juntrungannya?
Isu itu kemudian merebak dan menciptakan pertanyaan dan prasangka lain, bahwa akan ada yang dibantai di ladang hijau tempat nergara yang kualifikasi AFC saling mengalahkan. Mereka sudah kepalang pesimis.
Dalam alasan-alasan mereka yang buat itulah, sama sepertiku, aku kira mereka akan bilang jika timnas tidak fokus lagi berlatih dan para pemainnya berpikir untuk panjat sosial dan memperbesar ketenarannya di dunia maya.
Selanjutnya, para pemuda kebanggaan rakyat Indonesia itu, bersemuka dengan kualifikasi AFC yang masyhur. Pada pertandingan pertama, apa yang ditakutkan mereka benar adanya. Indonesia ditumpas oleh Negeri Gajah Putih.
“Indonesia pemainnya tolol!”
“Goblok!”
“Ini semua karena efek hadir dalam acara televisi, makanya begini. Dasar!”
“Saya bilang juga apa. Kalian masih mau arak-arak piala? Heh? Rasain tuh. Itu efeknya!”
Sayangnya kalimat macam begitu lebih besar gaungnya, daripada kritikan pada permainannnya. Kitalah semua penonton itu, yang menghajar dengan prasangka. Barangkali saja, pemain timnas kita, jatuh mental dihajar masyarakat Indonesia sendiri.
Pada kekalahan kedua, warga maya semakin menjadi-jadi. “Timnas kita ini tidak layak benar untuk ditonton. Tidak menghibur.” Jujur saja aku tidak menontonnya, sebab, aku kepalang jatuh cinta pada timnas senior.
Itu benar-benar menyakitkan jika dibaca oleh para pemain timnas. Mereka sudah berjuang mati-matian, dan ada kalimat yang melarang kita untuk menonton mereka. Indonesia seperti kalah dua tiga kali, melawan Thailand, Vietnam, dan warga maya di negaranya sendiri.
Makanya Greg angkat bicara soal itu di instagram pribadinya. Greg berbicara soal kita-kita ini, yang sering kali menghancurkan semangat pemain Indonesia. Tumpah darah yang mereka bela di luar negeri, di lapangan sepak bola.
“Ketika kamu [Timnas Indonesia U-23] menang, mereka memujimu. Sedangkan ketika kamu kalah seakan memberikan kekuatan pada pembenci untuk berbicara dan menjatuhkan mentalmu. Perbedaan antara suporter Indonesia dan Thailand adalah, Thailand selalu berdiri di belakang tim dan seluruh pemain mereka baik atau buruk. Sementara kita [suporter] Indonesia hanya mendukung ketika kita menang, itu sebabnya pemain Thailand tidak pernah takut untuk mencoba sesuatu di lapangan.”
“Selama dua tahun aku bermain di Thailand tidak pernah sama sekali aku lihat di media atau suporter menjelekkan pemainnya sendiri. Mereka selalu kasih energi yang positif kalau kalah dan puji kalau menang. Saya bangga dengan kalian [skuat Timnas Indonesia U-23], kalian telah memberikan segalanya. Tetap angkat kepala kalian dan terus bergerak maju. Langit adalah batasmu.”
Saya paham. Greg mengerti. Ia adalah pesepak bola. Ia tahu betul bagaimana kondisi pemain jika dihujat saat kalah, dan dielukan saat menang. Sebaiknya hilangkan keraguan darinya, sebab ia adalah pelaku di lapangan. Kita semua cuma penonton.
Kita boleh saja mengerti jalannya pertandingan dan mengkritik bagaimana lini per lini. Posisi per posisi. Itu bisa jadi bahan masukan buat pelatih, jika pelatih sadar akan hal itu. Itu kritik yang benar-benar konstruktif.
Nah, jika makian yang menyakitkan terlontar, tidak konstruktif pula, apa yang akan dibangun dari jiwa mereka dan apa yang hendak kita ingin bangun dalam persepakbolaan saat ini? Tidak ada sama sekali kecuali hinaan.
Aku beri contoh sederhana saja, jika ada pemain yang bagus dan konsisten permainannya. Di anatara latihan yang padat, mereka juga mengasah laku dirinya di media sosial untuk mendapatkan rezeki di luar dari klub mereka. Pertama ada Hamka Hamzah, kedua ada Marc Klok.
Sulit untuk menafikkan Hamka Hamzah dalam hitung-hitungan sepak bola Indonesia. Kapten itu, selalu punya magis dalam tim. Ia jadi penyemangat sata tim terpuruk. Ia benar-benar sosok yang tidak bisa dipandang remeh, meski ia sering bermain media sosial. Apakah fokusnya terganggu sejauh ini?
Lalu Marc Klok. Gelandang milik PSM Makassar ini, cukup baik dalam mengolah akun instagram dan youtubenya. Citranya diangkat tinggi-tinggi, demi meraup rupiah. Ia bukan keran rezekinya dan menerima endorsment dan segala macam orang. Apakah Klok sejauh ini tampil mengecewakan karena media dan ketenarannya? Tidak.
Semuanya tergantung persona masing-masing. Jika mudah terlena, maka ia akan hancur. Jika ia serius tapi santai, maka yakin dan percaya, permainannya akan tetap konsisten sepanjang laga. Tentu saja, tidak salah pula, jika pelatih melarang pemainnya bermain media sosial, sebab ia punya langkah taktis buat anak asuhnya dan aturan yang harus diikuti. Lah, kita?
Seperti juga PSM yang kemarin baru saja menggelar tur bermotor bersama sponsor mereka. Masa iya, hal begitu ingin juga dibilang bisa merusak tim dan bikin kisruh skuat? Ya, itu lumbung dana buat klub. Pendukung PSM pasti bangga, jika klubnya dapat suntikan dana dari sponsor karena kerja sama.
Tampaknya sekarang kita perlu pikir, alasan apalagi yang akan kita buat, misal timnas Indonesia menang dan membantai seterunya, siapapun mereka, dan di anatara itu, mereka juga rajin datang ke acara televisi yang kurang bermutu di mata kita. Apa dan siapa yang akan kita banggakan, kemudian?