Jakarta, Lontar.id – Hari-hari ini, Indonesia sedang dirundung ketakutan. Tidak memilih seseorang dalam kontestasi pemilu dianggap sebagai kriminal. Pengacau. Pantas keluar dari negara Indonesia. Dicabut kewarganegaraannya. Bisa masuk penjara.
Aku takut. Takut sekali. Aku diajari bagaimana cara membuat antitesa dari gagasan yang gagal dipahami masyarakat dari negara oleh Budiman Sudjamitko. Heroik sekali dia, saat menentang rezim tiran Soeharto dan kroni-kroninya pada tahun-tahun menegangkan 1998.
Aku suka mendengar ceritanya. Budiman adalah simbol bagaimana kecerdasan seharusnya dipakai pada tempatnya. Aku suka ia saat mengikat bendera merah di kepalanya. Seperti pejuang yang menentang kesewenang-wenangan.
Ada momen-momen saat ia mengepalkan tangannya dan berteriak kalau Soeharto pasti merasakan akibatnya. Sebab ia sudah menjadi diktator dan membungkam kebebasan berpendapat dan berkumpul. Budiman jadi koboi kampus pada masanya.
Teman-temannya hilang. Ia belum pulang. Ada juga yang tewas kena peluru, ada yang dipopor senjata, dan masih banyak celaka lagi. Budiman pasti mengingat mereka semua. Apalagi jika menyangkut kawan karibnya yang masih dicari-cari keluarganya.
Kata Budiman, orangtuanya adalah penyokong utamanya untuk melawan rezim tiran. Orangtuanya baru menentang kalau Budiman itu korupsi. Sungguh pesan yang luhur. Setiap orangtua memang sebaiknya begitu. Mengharuskan anaknya untuk menegur kezaliman dan mengubahnya kalau bisa.
Dalam agama juga begitu. Ubah pakai lisan, gerakan, atau dalam hati adalah perjuangan yang paling kecil. Selemah-lemahnya iman. Aku percaya, itu adalah jalan jihad bagi orang-orang Muslim sendiri, atau agama apa saja.
Sekarang Budiman berubah. Tidak garang lagi. Mungkin ia pikir dirinya sudah tua. Ia berjabat tangan dengan maut yang makin dekat. Tetapi aku enggan suuzan, mana tahu Budiman, bapak aktivis kita itu, sedang memikirkan arah bangsa ke depan.
Sebagai jurnalis, dadaku nyeri tatkala sebuah perusahaan media dikepung oleh orang-orang partai cuman karena masalah pemberitaan. Budiman lagi-lagi diam. Pemimpin yang ia sokong itu tidak bersuara.
Bung, itu kekerasan. Kenapa Bung biarkan orang-orang dari partai Anda menyerbu perusahaan tempat informasi disebarkan? Bung harus ingat, kalau ada komunikasi. Apa Bung pikir, kalau Soeharto sudah jatuh, nilai-nilai yang Anda perjuangkan tidak lagi berlaku?
Bung pikirlah itu, kalau sebaiknya mereka bisa duduk sambil ngeteh, sambil bertanya mengapa penggunaan bahasa di media cetak itu terbaca dan terasa jahat pada pimpinan partai Anda. Bahkan pada akhirnya dewan pers memutuskan, kalau sebuah harian di Bogor itu bikin kesalahan.
Pada kasus kedua, Bung harus tahu, kalau mantan tentara yang pernah Bung lawan, sedang mempermainkan hukum. Mengapa golput harus dipenjara dan dipukuli dengan narasi bahwa mereka mengganggu stabilitas keamanan?
Bung sudah dengar? Kalau tidak, aku tuliskan, ya. Menkopolhukam Indoesia, Wiranto, menyatakan orang yang golput merupakan pengacau. Bung, kami atau mereka bayar pajak. Kami tidak melakukan penyerangan seperti kader partai Bung yang berkerumun di salah satu media di Bogor itu.
Wiranto bilang, golput harus dipidana dengan UU Terorisme atau aturan lain. “Kalau UU Terorisme tidak bisa UU lain masih bisa, ada UU ITE, UU KUHP bisa,” ujar Wiranto di Hotel Grand Paragon, Jakarta, Rabu (27/3), dilansir dari CNN.
Mengapa Wiranto begitu memaksakan kehendaknya begitu untuk melawan masyarakat yang seharusnya ia ayomi? Ayolah Bung, jelaskan padanya. Partai Anda sebagai pemenang bukan? Saya tahu Anda kuat dan bisa berteriak lagi seperti dulu.
Aku kutipkan lagi satu ide yang kontra pada statemen Wiranto. Direktur Eksekutif Insitute for Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara menilai itu justru menimbulkan ketakutan di benak rakyat Indonesia.
Anggara mengatakan, kebijakan pemerintah untuk merespons kampanye golput dengan pidana, jelas menunjukkan semakin berkembangnya Penal Populism atau fenomena ketika kebijakan penghukuman yang keras diambil dengan mengikuti tren populer dari sikap masyarakat dengan memanfaatkan rasa gundah mereka karena maraknya kejahatan untuk kepentingan politis.
Pengambilan kebijakan pemidanaan yang bersifat populis, dianggapnya bukan bertujuan untuk memperbaiki sistem yang ada, karena tidak disertai pertimbangan-pertimbangan rasional, pelibatan ahli, atau hasil penelitian yang valid, namun semata-mata dilakukan hanya untuk memperoleh simpati dari masyarakat.
Lagipula, golput itu adalah suatu bentuk protes agar alat negara memperbaiki diri dengan kebijakan yang ia keluarkan. Apa sih manfaat golput itu? Meski pahit, golput itu seperti obat batuk, obat demam, atau obat sakit kepala.
Golput itu langkah awal mendelegitimasi sistem. Kalo semua nyoblos, semua akan berasumsi sistem baik-baik saja tanpa pernah dievaluasi. Kedua pilihan yang disodorkan untuk masyarakat, tidak memuaskan hati banyak orang.
Keduanya punya catatan buruk soal hak asasi manusia dan banyak macam lagi. Bung paham kan kalau sistem tidak baik-baik saja? Sebagai anak revolusi, seharusnya Anda paham. Kecuali kalau jiwa Anda sudah dirasa tak bisa lagi melawan, ya aku maklum.
Tenang, Bung tidak saya kritik sendirian. Semua aktivis-aktivis kita juga kena kok. Yang mengolok-olok golput, dan ingin mengkriminalisasi mereka. Aku ceritakan satu kisah fiksi yang mudah Anda serap ya.
Di sebuah desa, seorang ibu menangis tersedu-sedu. Anaknya ikut kampanye dan beberapa kali terlibat rapat-rapat gelap untuk menentang pemerintah yang zalim. Ibunya kerap kali menyoal kalau anaknya itu sebaiknya tidak usah terlalu keras mengkritik. Nyawa taruhannya.
Anaknya itu punya perpustakaan. Di rumahnya, tersimpan ribuan judul buku. Ibunya paham, kalau buku itulah yang membuat anaknya kerap kali melontarkan kritik pedas pada penguasa. “Sudahlah, Nak. Kamu cari kerja saja, dan berhenti membuat masalah sama negara.”
Anaknya bandel. Dari kecil, anaknya itu sudah sangat senang bersepada sampai larut malam dan keluyuran di rumah tetangga setiap hari. Ibunya benar-benar dibuat was-was.
Setelah dewasa, ibunya bertambah was-was. Sepeninggal bapaknya, ibunya memang jadi orang tua tunggal yang kerap memberi wejangan pada anaknya itu. Anaknya manut-manut, setelah ibunya mengomel sepanjang hari akibat anaknya sudah tidak bisa diatur lagi.
Di televisi, seorang menteri bicara dengan tegas kalau pihaknya akan menangkapi dan menjerat siapa saja bagi yang ingin menentang gagasannya. Ia mau, gagasannya harus dipatuhi meski buram juga mengapa harus ia melulu yahng diikuti.
Si ibu makin was-was. Dadanya ia pegang, sambil pikirannya mengawang, kalau anaknya akan pulang jadi apa, jika ia masuk dalam daftar orang yang dicari-cari sama menteri yang ia lihat barusan di televisi.
Sampai pada satu ketika, si anak ditangkap. Ibunya tahu. Ibunya bersujud-sujud dan menangis seharian di rumah. Ia tak habis pikir, mengapa anaknya bisa sampai ditangkap. Kabar ini akan jadi santapan lagi buat tetangganya untuk menggunjing dirinya. Aduh, ibu anak itu malu benar.
Tak lama, aparat datang ke rumah si ibu. Ia membisiki kalau anaknya sudah bikin dan itu, makanya anaknya ditahan. “Salah sendiri, anak ibu itu tidak mau dengar nasihat ibu. Kita juga mau bikin apa, kalau kita juga diperintah dari atas untuk menangkap anak ibu. Kami turut sedih.”
Waktu lewat sudah lama. Tak ada lagi kesedihan. Ibu itu iukhlas dan tegar. Tetapi tetangga, tetaplah tetangga, selalu mau tahu atau sekadar peduli dengan apa yang dirasakan ibu yang baru saja ditinggal oleh anaknya itu karena dituduh subversif.
“Mengapa anak Ibu dipenjara? eh, iya. Aku turut prihatin, ya, Bu.”
“Karena mengajak golput.”
“Apa?”
“Karena mengajak golput.”
Tetangga si ibu merah padam mukanya. Ia ingin tertawa, tapi takut membuat ibu itu tersinggung. Terdengar lucu menurutnya, akibat ada orang ditangkap disebabkan karena mengajak untuk tidak memilih presiden. Siapa pun calonnya.
Begitulah kisahnya. Tentu saja cerita ini aku buat setelah membaca Kisah Para Ratib dari Arswendo Atmowiloto. Ia penulis yang karenanya, aku jadi tahu bagaimana kehidupan dalam penjara. Ada dunia dalam dunia. Arswendo menuliskan kisahnya selama di penjara dengan asyik.
Misalnya, hukuman apa yang didapatkan para perampok dan penipu dalam penjara dan bagaimana para pelaku tersebut bersosialisasi dengan para residivis. Nyaris tak ada ketakutan, jika ingin memaknainya lebih dalam lagi. Sayangnya, Arswendo tidak menulis, hukuman senioritas macam apa yang pantas bagi orang-orang yang golput di penjara.
Omong-omong hari ini bulan April, anak-anak muda sedang bermain April Mop. mari kita doakan kalau UU Antiterorisme hanyalah sebuah lelucon dari Wiranto, dan diamnya para aktivis kenamaan pada tahun-tahun mencekam itu, adalah satu skenario komedi yang mereka buat secara diam-diam.