Lontar.id – Setelah tahun 2018 yang muram ini, ada banyak pelajaran yang bisa didapat. Setidaknya, menyokong kawan bangkit dari keterpurukan pascabencana.
Ada banyak kawan yang berasal dari Palu. Sebagian menetap di Makassar, sebagian di Palu. Mereka tak masuk dalam daftar 2.113 korban yang meninggal akibat gempa dan tsunami Palu, Sulawesi Tengah, dan sekitarnya, sesuai rilis Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Bersama kawan yang selamat, kami sempat mengaso di sebuah kedai kopi di Makassar. Kami saling bertukar sapa. Asap rokok membubung di ruangan. Lima gelas kopi susu terhidang. Ada sejumput biskuit untuk dikunyah.
Banyak hal dibicarakan. Ada yang serius, juga bercanda. Mulai dari kabar, penghargaan jurnalis yang didapatnya yang mengharuskannya ke Makassar, menginap di mana, dan apa makanan enak yang ada di Kota Anging Mammiri.
Mereka semuanya jurnalis yang tak kurang suatu apa di tubuhnya setelah diuji lewat gempa dan likuifaksi. Mereka utuh, cuma beberapa dari mereka harus mengikhlaskan tempat tinggalnya.
“Rumah saya porak poranda. Alhamdulillah orangtua selamat,” kata Qadri, seorang jurnalis tv di Palu.
Diceritakan, saat itu air mineral dan bersih menjadi barang langka. Orang-orang menjadi individualistik. Mereka harus pandai jaga ransum. Patut dimaklumi. Saya memilih itu, di samping cemooh soal pelit dan kikir masyarakat saat petaka itu membawa berliter air mata.
Bayangkan saja, katanya, air minum harus direbut, bahan bakar, juga makanan, dan lainnya. Kriminil dari daerah di luar Palu, juga memanfaatkan situasi. Begitu yang didata oleh kepolisian, dan diiyakan jurnalis selain Qadri.
Saya bilang padanya, kenapa orang-orang begitu jahat pada saat musibah merundung Palu. Tidakkah mereka beri empati, dan menjaga hasratnya, sedikit saja. Tidak ada jawaban.
Rokoknya diisap lebih dalam. Kopinya disesap sedikit-sedikit. Saya mendesaknya lagi, kalau saat itu, pemerintah kita bikin blunder soal penjarahan. Informasi yang beredar terpotong dan tak utuh. Semacam tersumbat dan tanya pembawa kabar sebagian tersendat.
Hasilnya bisa dilihat di media daring dan koran-koran. Penjarahan itu memalukan, bisa juga bikin mengelus dada setelah secara tidak langsung diizinkan karena disinformasi.
“Keadaan lagi susah. Masing-masing orang bertahan hidup dan terdesak,” begitu penjelasannya. Saya mafhum, karena ia informan yang di hidup di lapangan. Saya bukan sesiapa, dan tidak bisa seenaknya mengambil kesimpulan. Beda kondisi.
Kami berganti topik, soal irasionalitas yang terjadi saat gempa. Hanya diiyakan saja. Tanpa mau dijelasi lebih jauh. Irasionalitas memang berat. Lebih berat dari merasionalkan gempa lewat paparan geolog. Setidaknya, kami menyisakan sedikit ruang untuk percaya pada hal di luar nalar.
“Kamu tahu? Hanya sebuah korek gas, yang akhirnya menyelamatkan hidup saya usai tsunami, saat di sekeliling saya bergelimang mayat.”
Kawan lain menyambung pembicaraan kami. Saya bertanya, apa hubungan korek gas dengan keselamatan? Pelan-pelan ia membabari kisahnya.
“Saat lampu sudah padam, dan gulita menyelimuti, saya sudah bingung. Sebuah korek api tersisa di kantong celana. Saya cari dua batang kayu kemudian membakar ujungnya. Seperti obor.”
Saat kobaran api berkibar, saat itulah ia kaget. Dilihatnya mobil berhenti dengan mesin yang masih menyala dan orangnya entah ke mana. Mayat bergelimpang di sekelilingnya. Bau amis darah bercampur lumpur. Miris.
“Banyak mayat sudah tidak utuh. Kalau saya ingat kembali, itu ngeri. Saya bersyukur karena ada korek. Sebab itu juga yang membuat saya bisa mengecek orang yang masih hidup dan tidak.”
“Kayu yang terbakar saya jadikan penerang. Itu menuntun saya mencari jalan. Coba pikir, saat malam hari, listrik padam semua, kota sudah mati dalam keadaan gulita, bagaimana caranya saya mau mengecek kantor dan kawan-kawan yang lain, kalau kayu dan korek tidak ada?”
Tak hanya itu, ia juga sempat berbicara dengan tentara dalam momen singkat usai keadaan yang menggemparkan itu. “Ia meminta tolong untuk bersama-sama melihat korban yang masih hidup dan menolongnya. ‘Tolong cari manusia yang masih bernapas. Dengar suaranya. Jika ada dan ia tertimbun apa saja usai gempa, sebaiknya dipinggirkan. Biar besok tim bantuan datang menyelamatkan’ begitu katanya.”
Hal yang patut, saya kira. Ia juga menjelasi lebih jauh, kalau Palu sudah tidak berdaya saat itu. Rumah sakit pun hancur. “Mau dibawa ke mana orang-orang yang celaka, selain dibiarkan dulu di jalanan? Rumah sakit saja hancur. Kita cuma bisa menunggu pagi saat itu,” tandasnya.
Saya memikirkan kalimatnya agak lama. Sembari terus mengucap syukur dan mendoakan kondisi mereka setelah petaka menimpa tanah tempat kelahirannya. Dari penjarahan dan korek api, Palu mengajarkan saya untuk banyak berdoa, dan percaya kebetulan-kebetulan.