Lontar.id – Gerakan people power dan penangkapan pelaku makar jadi wacana utama pekan terakhir ini, sayangnya pelaku yang dituduh makar itu dari kubu oposisi pendukung capres cawapres Prabowo-Sandi. Dua isu utama ini seakan mendominasi kasus meninggalnya 469 KPPS yang menyelenggarakan pemilu 2019.
Alih-alih mendapatkan perhatian serius atau meninjau kembali peraturan pemilu serentak yang menelan korban ratusan jiwa, elit politik justru disibukkan dengan hal-hal receh tentang kecurangan dan isu yang mengkerangkeng warga negara sendiri dengan pasal makar.
Tindakan makar merupakan ancaman terhadap pemerintahan atau negara, karena akan berusaha menggulingkan kekuasaan yang sah lewat tindakan kekerasan atau menyerang presiden dan wakil presiden. Kategori serangan terhadap kepala negara bermacam-macam, bisa dilakukan menggunakan bom, menembak dengan senjata atau usaha lainnya yang mengancam nyawa kepala negara.
Tidak tanggung-tanggung, pelaku makar akan dikenakan hukuman mati atau seberat-beratnya penjara selama 20 tahun.
Dalam kamus daring Bahasa Indonesia makar di artikan sebagai 1. n akal busuk; tipu muslihat. 2. n perbuatan (usaha) dengan maksud hendak menyerang atau membunuh orang dan sebagainya 2. n perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah yang sah.
Sangat jelas sekali dalam pengertian tentang makar adalah usaha seseorang menyerang, membunuh dan atau menjatuhkan pemerintahan yang sah lewat jalur inkonstitusional. Sebab satu-satunya jalur konstitusional kita adalah melalui proses pemilu yang adil, jujur dan transparan sesuai dengan prinsip demokrasi.
Polisi menetapkan Eggi Sudjana sebagai tersangka makar dan pembuat onar, sebabnya karena ia menyerukan people power di depan massa pendukung Prabowo-Sandi di Rumah Kertanegara. Eggi Sudjana dianggap telah melanggar dan berniat menggulingkan kekuasaan, lalu di kenakan pasal makar.
Pasal yang disangkakan pada Penasehat dari Persaudaraan Alumni 212 Eggi Sudjana yaitu Pasal 107 KUHP dan atau Pasal 110 KUHP jo Pasal 87 KUHP dan/atau Pasal 14 ayat 1 dan ayat 2 dan atau Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946.
Eggi Sudjana merupakan salah satu pentolan pendukung kubu Prabowo-Sandi yang gencar menyerukan kecurangan pemilu 2019. Kecurangan pemilu dilakukan kubu petahana Jokowi-Ma’ruf diklaim terstruktur, sistematis dan masif (TSM).
Kemudian polisi menangkap seorang pemuda berinial HS asal Bogor, Jawa Barat, karena mengancam akan memotong leher presiden Jokowi. Ancaman tersebut terekam melalui sebuah cuplikan video pendek pada saat aksi unjuk rasa di depan Gedung Bawaslu RI. Massa aksi dari Prabowo-Sandi yang protes karena pemilu dianggapnya curang.
Lalu polisi menangkap HS tersebut dan dikenakan pasal tentang makar dan UU ITE. HS juga merupakan relawan pendukung Prabowo-Sandi yang mengikuti aksi unjuk rasa kecurangan pemilu 2019.
Tidak saja Eggi dan HS yang dikenakan pasal makar, mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) Mayjen TNI (Purn) kivlan Zein dituduh melakukan tindakan makar, meski ia beberapa kali membantahnya tidak pernah melakukan tindakan makar.
Saya termasuk kita semua pasti akan bertanya-tanya, mengapa kritik terhadap pemeritnahan Jokowi divonis sebagai sebuah tindakan makar. Padahal sangat jelas sekali dalam pengertian makar ada sebuah tindakan atau melakukan upaya pembunuhan kepala negara.
Namun warga tidak isa berbuat apa-apa, kecuali hanya mengelus dada, menyayangkan sikap semena-mena atas tuduhan tindakan makar. Dan sangat disayangkan sekali, orang yang dituduh berbuat makar adalah dari kubu Prabowo-Sandi, tidak ada satupun dari kubu Jokowi-Ma’ruf yang dikenakan pasal ini.
Mungkin kita akan bertanya-tanya lagi, ada apa? Apakah ini sebuah usaha untuk membungkam kelompok pendukung Prabowo-Sandi agar tidak macam-macam dengan rezim Jokowi.
Masih ingat dengan kejadian seorang pemuda keturunan Thionghoa, pengancam Jokowi. Ia mengancam akan membunuh Jokowi lewat video singkat, tidak tanggung-tanggung pemuda itu juga menenteng foto kpala negara. Namun sangat disayangkan sekali, pemuda tersebut tidak dikenakan pasal makar dan akhirnya dilepaskan.
Ada perbedaan yang sangat mencolok dari tidnakan ini, seolah orang yang dianggap makar adalah mereka yang berada dibarisan pendukung Prabowo-Sandi, di luar itu meski jelas mengancam kepala negara tapi tidak dikenakan pasal makar.
Sejumlah pihak mengkritik penggunaan pasal tentang makar oleh kepolisian untuk menjerat HS dan Eggi Sudjana termasuk ke Kiflan Zein yang dianggap terlalu gegabah. Seperti Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan, perbuatan makar tersebut harus didasari oleh tindakan atau adanya serangan ‘Aaanslag’.
Namun pelaku yang dituduh perbuat makar hanya mengancam lewat video pada saat aksi unjuk rasa dan pidato di depan Rumah Prabowo. Pemerintahan Jokowi seolah menegaskan dirinya sebagai pemimpin yang otoriter, yang mungkin dapat disandingkan dengan rezim orde baru.