Lontar.id – Pesan orang tua terdahulu pada anak-anaknya apabila ingin keluar dari prahara kemiskinan, maka sekolahlah setinggi-tingginya, agar kelak meraih kesuksesan dan tidak mengalami nasib yang sama seperti dirinya.
“Biarlah orang tua menanggung hidup susah, asalkan anaknya sukses”
Seorang ibu akan membayangkan anak-anaknya akan meraih kesuksesan, karier yang melejit di perusahaan, aset dan properti di mana mana dan bisa menaikhajikan orang tua.
Harapan orang tua memang tidak salah, karena anaknya merupakan garis keturunan yang akan melanjutkan hidupnya. Orang tua punya kewajiban memastikan anaknya hidup lebih baik, mereka rela menjual harta warisannya demi melihat anaknya bahagia.
Intinya, anak diimbau untuk mencari tempat kuliah sejauh-jauh mungkin di kampus ternama, agar mendapatkan hasil yang memuaskan.
Tak penting berapa besar biaya kuliah yang harus dibayar setiap semester, beban hidup setiap hari, asalkan kuliah tinggi di kampus favorit.
Ekspektasi yang besar ini saya rasa cukup wajar, karena mengenyam pendidikan tinggi, maka seseorang akan mendapatkan hasil yang memuaskan. Tentu tujuannya setelah selesai kuliah, mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang besar.
Saya kasih contoh, di tanah kelahiran saya, ada banyak sekali orang tua menyekolahkan anaknya di kampus-kampus besar di luar daerah, utamanya di kampus ternama di Jakarta.
Orang tua mereka rata-rata berprofesi sebagai petani, buruh kasar dan sebagian kecil lainnya berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Penghasilannya setiap kali panen, tidaklah menentu. Tergantung seberapa banyak petak sawah yang mereka miliki.
Di sisi lain, mereka harus mengirim uang bulanan pada anak-anaknya di luar daerah, agar tetap bisa hidup dan melanjutkan kuliah.
Saya perhatikan beberapa teman saya, hanya sebagian kecil yang mencari pekerjaan paruh waktu, menambah biaya hidup dan sebagian besarnya hanya mengandalkan kiriman dari orang tua.
Kembali ke topik awal, apakah dengan kuliah setinggi-tingginya seseorang akan langsung sukses? Tulisan ini akan kelihatan lebih subjektif, karena berdasarkan pada pengalaman sehari-hari tanpa menyinggung siapapun.
Meski demikian, menurut saya, bukankah kumpulan subjektifitas itu akan melahirkan obyektifitas? Dari pertanyaan di atas, orang akan menjawabnya berbeda-beda, tergantung sudut pandang yang digunakan.
Namun pada umumnya kita akan menjawab iya, bahwa pendidikan tinggi akan memberikan jaminan kesuksesan. Maka orang berlomba-lomba menempuh pendidikan di kampus ternama, dengan harapan bahwa pendidikan tinggi akan linier dengan masa depan.
Semakin tinggi Anda sekolah, maka semakin besar pula peluang untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dengan gaji besar dan kehidupan lebih baik. Lalu perusahaan besar memanggil Anda karena predikat nilai yang bagus atau lulusan terbaik (cum laude).
Dengan nilai dan ijazah dari kampus ternama, mungkin Anda akan merasa bangga, sedikit meremehkan lulusan dari kampus swasta di pelosok daerah sana. Apalagi dengan sarana dan prasarana kampus super canggih, teknologi terkini, memudahkan Anda mengakses segala macam informasi terbaru.
Memang itu tidak salah karena Anda masuk di kampus ternama juga biayanya melangit. Tren sekarang juga ikut mendukung, misalnya seorang masuk di kampus Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM) di kota-kota besar, akan merasa superior ketimbang yang masuk di kampus swasta yang tidak banyak orang tahu.
Tetapi perlu Anda ketahui, bahwa kuliah di kampus mana pun, baik kampus terkenal atau berada di ujung timur Indonesia sekalipun. Anda tidak akan langsung mendapatkan pekerjaan seperti yang Anda bayangkan. Kampus ternama tidak memberikan jaminan Anda akan sukses pada masa mendatang.
Apalagi pada saat kuliah Anda tidak benar-benar belajar dan memperoleh pengalaman (jaringan) yang cukup, sehingga selesai kuliah Anda merasa kebingungan mau bekerja apa.
Kejadian ini sudah banyak terjadi, mungkin mereka ada di sekitar kita, juga ada di tempat lain. Yang perlu diingat, kesuksesan itu bukan didasari dari seberapa tinggi Anda sekolah, tetapi seberapa banyak Anda belajar dari pengalaman seperti mempelajari orang yang sudah sukses, mengamatinya, menyusun rencana dengan baik hingga ke tahap eksekusi.
Teman saya punya pengalaman yang hampir mirip dengan cerita di atas sewaktu kuliah. Saat kuliah ia sangat rajin pergi ke kampus, mengerjakan tugas makalah, mendapatkan nilai tinggi, selesai kurang dari 4 tahun hingga lulus dengan predikat cumlaude.
Lalu apa yang terjadi? Ia tidak menjadi apa-apa. Pekerjaan yang ia bayangkan sejak dulu tidak menerimanya. Berkali-kali ia ajukan lamaran, namun terus ditolak.
Apa yang salah? Ia kuliah karena mengejar pekerjaan, mengikuti tren tetapi tidak sungguh-sungguh memanfaatkan masa kuliah sebagai arena untuk mendapatkan banyak pengalaman dan membangun jaringan di luar sana.
Ia berpikir praktis, nilai tinggi, lulusan terbaik dengan waktu sesingkat mungkin akan otomatis dipanggil bekerja. Namun kenyataanya tidak seperti itu.
Apa poin yang bisa ditarik dari tulisan ini? Saya hanya ingin menyampaikan, kesuksesan itu tidak bergantung pada seberapa tinggi Anda kuliah, tetapi seberapa banyak pelajaran yang Anda ambil dari pengalaman orang lain.
Orang yang tidak pernah kuliah sekalipun bisa menjadi sukses, asalkan ia mau belajar dan mau berbenah diri, mendengarkan masukan dari orang lain.
Jangan malu dan minder hanya karena kita tidak pernah menyadang status sarjana, sebab sarjana tidak menjamin seseorang punya kapasitas dan kualitas saat hidup di tengah-tengah masyarakat.
Sukses itu tidak sekadar dilihat dari seberapa banyak harta yang Anda miliki, tetapi seberapa bermanfaat Anda untuk orang lain.
Ditulis oleh Ruslan.