Suara tangisan tiap malam, biasanya datang. Kadang, ayunan di sebelah rumah bergoyang sendiri. Mungkin ia belum pergi.
Seseorang pernah menggemparkan satu daerah yang saya rahasiakan namanya. Ia tewas, atau meninggal, atau mati. Saya bingung menjelaskannya.
Ia bunuh diri setelah patah hati. Ceritanya saya dapatkan dari ibu kawan saya. Ia yang membersihkan mayatnya. Kawan saya memang bertetangga dengan almarhumah.
Cerita itu datang setelah disuguhi kue bersama teh hangat di ruang tamunya yang kecil. Kawan dan kakaknya berkumpul di meja yang sama.
Saat itu malam hari. Saya enggan mengajak kawan saya keluar untuk nongkrong karena sudah pw (posisi wenak), padahal sebelumnya ingin jalan.
“Kamu tahu tidak, kalau di sini, biasanya ada orang yang nyanyi-nyanyi kalau rumah lagi sepi, loh. Menangis juga iya.”
Kawan kakak saya menambahkan, nama penyanyi tengah malam itu dipanggilnya Kunti. Rambutnya berombak, dan panjang kalau menampakkan diri. Wajahnya tertutup rambut.
Kawan saya sekeluarga sudah terbiasa dengan kelakuan kunti itu. Mereka sudah merasa dekat. Awalnya dirasa mengerikan.
Lolongan Kunti yang notabene tetangganya itu, sangat pilu. Seperti menangis kesakitan. Tidak sembuh-sembuh. “Gimana coba kalau orang berdarah, dan darahnya ngucur terus? Perih.”
Kawan saya menyodorkan rokok sembari bercanda. “Isap gih. Aku kan tahu, kamu gak ada duit kan?” Ia tertawa seperti orang habis menang judi. Saya cuman bisa berucap, “sialan…”
*
Darah itu mengucur. Bajunya melengket seperti habis terbakar. Ya, terbakar. Seorang perempuan belia begitu nekat meneguk soda api. Ususnya hancur.
Isi perutnya memburai. Pelukan erat ibunya belum dilepas pada perempuan itu. Ia belum ikhlas, anaknya mati dengan cara bunuh diri.
Tangisan demi tangisan terdengar. Hanya itu. Di luar rumahnya, sudah berdiri begitu banyak orang. Bendera putih sudah berkibar. Benar-benar tragedi.
Ibu kawan saya bertandang ke rumah duka. Ia melihat sesuatu yang janggal. Ia diam dan langsung menelusuri kamar sang perempuan yang belum lama tewas.
Bajunya yang koyak, membuat ibu kawan saya beberapa kali mengucap astaghfirullah.
“Ambilkan saya gunting!” ujar ibu kawan saya. Keluarga almarhumah, dengan terburu-buru, mengambil pesanan ibu kawan saya lalu memberinya dengan cepat.
Baju yang melengket dengan kulit yang meleleh, akhirnya digunting perlahan-perlahan. Begitu celana jin yang dipakai almarhumah.
Tercium bau cairan soda api begitu menyengat. Ia bercampur darah, dan bau gosong plastik yang meleleh. “Astaghfirullah.”
Ambulans sudah meraung di luar rumah. Setelah pakaian yang ikut meleleh dengan kulit badannya terlepas. Perempuan malang itu langsung dimandikan.
Kain kafan sudah dibentangkan. Orang-orang yang tadinya berbisik-bisik di luar rumah, memilih masuk untuk melihat jenazah terakhir kalinya.
Bau soda api sudah hilang, kini berganti kapur untuk mayat. Hidung almarhumah sudah ditutup kapas kecil. Setelah didoakan ia diangkat ke ambulans.
Pengangkatnya berkali-kali berzikir agar jiwa almarhumah tenang di alam barunya. Sembari digotong, derap langkah dan zikir beriringan membawa jenazah ke ambulans.
*
Ia minum racun setelah mendapati dirinya hamil. Pacarnya meninggalkannya. Ia sempat galau karena rindu dengan mantan pacarnya itu.
Tak mau dinikahi, ia akhirnya pusing tujuh keliling. Padahal, ia hamil. Pacarnya tak ingin bertanggung jawab atas kehamilan yang dialaminya.
Lalu seorang lelaki lain datang. Ia ikhlas menikahinya, meski tahu kondisi perempuan yang akan jadi istrinya bunting duluan. Ia sayang pada perempuan itu.
Perempuan itu enggan. Ia mau, mantan pacarnya yang menikahinya. Ia melontarkan alasan klasik: ia sayang pada mantan pacarnya, dan tidak menyayangi lelaki yang mau menerimanya dalam keadaan bunting.
“Jadi, gitulah ceritanya. Asumsinya begitu. Ya, ngapain bunuh diri coba, kalau gak sakit hati?” kata kakak kawan saya.
Sampai saat ini, Kunti kadang masih sering menangis perih, juga menyenandung. Ayunan pun kerap kali jadi tempatnya duduk dan menunduk. Rambutnya menutupi wajahnya.
“Ia sudah tidak bisa dibantu lagi. Sudah didoakan. Namun, yang mendoakannya, mengaku takkan bisa membantu banyak, karena ia melanggar aturan Tuhan soal hidup dan mati.”
Untuk itulah mengapa Kunti kerap menangis dan minta didoakan agar arwahnya tenang. Ia meminta pada kakak kawan saya, yang juga orang “pintar”. “Itu alasannya, mengapa orang dilarang untuk bunuh diri,” tandasnya.