Jakarta, Lontar.id – Barcelona memang sudah merancang kekalahannya dari tahun lalu. Di bawah Valverde, entah bagaimana ia selalu menunjukkan sinyal kalau Barcelona tidak menginginkan final Champions. Boro-boro juara.
Lelaki asal Viandar de la Vera itu patut merasakan akibatnya sekarang. Ia didesak untuk mundur. Media sosial menggema dengan tagar #ValverdeOut, setelah kekalahan 4-0 di Anfield dalam laga leg kedua di semifinal Liga Champions.
Pada leg pertama, Barcelona bermain sangat buruk kecuali pemain bertahannya yang penuh kekuatan menahan gempuran nyaris seluruh pemain Liverpool.
Di Camp Nou kok bertahan? Peradaban apa yang akan diubah? Selama Barcelona garang di stadion mana pun, belum pernah ia bertahan total sebegitunya. Lini tengah yang diandalkan juga cuma tinggal cerita.
Asal tahu saja, Barcelona bukan sekali ini saja gagal. Ia pernah pulang dengan kepala tertunduk. Sewaktu melawan Chelsea. Ia terus menerus menyerang, meski hasil akhirnya mereka tersingkir dan Chelsea berhasil melangkah ke final Champions pada 2012 lalu.
Barcelona seakan menunjukkan kepada dunia, kalau mereka akan menyerang sampai mati. Semenjak dilatih Pep dan punya La Masia, pantang untuk bermain bertahan. Itu bukan gaya mereka.
Mereka bukanlah Chelsea atau klub dari Italia sana. Chelsea boleh menang 1-0 di Stamford Bridge dan bertahan total di Camp Nou yang kemudian strategi Chelsea dijuluki parkir bus. Mereka tidak mungkin ikut gayanya. Kecuali Subuh tadi. Main bertahan, tapi pola serangan ngehek.
Sungguh memalukan. Jika boleh berbicara kasar, Barcelona seperti tidak berniat untuk main bola. Hanya buang keringat saja. Coutinho seakan tidak bisa membesarkan dirinya di hadapan penonton yang dominan berbaju merah.
Tak ada plessing yang sebagaimana ditunjukkannya. Coutinho tampil menyedihkan setelah sebelumnya meninggalkan Liverpool karena ingin mengangkat trofi. Suarez agak di depan, sebab ia pernah juara Champions bersama Barcelona.
Sebelumnya, dua gol Messi dan satu gol Suarez memang masih akan membuat was-was pada leg pertama. Cara membangun golnya itu, nyaris bukan dari skema serangan Barcelona seperti biasanya. Filosofi tiki-taka? Jenis makanan apa itu?
Banyak pihak yang berpikir begitu. Valverde seperti dikutuk untuk mengulang sejarah suramnya. Ketiga gol itu adalah keberuntungan. Jadi sudah pantaslah kalau Los Azulgrana dibalas di Anfield. Sebab, untuk mencetak satu gol saja, mereka kepayahan bukan main.
Lagipula di bawah Valverde juga, mereka pernah menunjukkan kalau Barcelona bisa menjadi klub medioker di Champions. Ingat saat momen di Olimpico, stadion Roma?
Awalnya Barcelona menang 4-1 di kandangnya itu, yang dikenal angker dan sulit untuk membuat lawan pulang dengan tiga poin. Lalu keajaiban terjadi, Roma menang 3-0 di Olimpico.
Otomatis Barcelona tersingkir. Roma menang agregat gol. Sampai di sana, apa yang mau dibanggakan Barcelona? Masa lalu? Kejayaan mereka saat dilatih Pep Guardiola dan Luis Enrique? Begitu saja terus!
Tetapi Valverde punya kebanggaan tersendiri. Ia sudah membawa Messi dkk untuk menjadi jawara La Liga. Pada akhir Mei nanti, ia juga kemungkinan besar akan memberi trofi Copa del Rey. Hanya itu. Treble winners harus dikubur.
Sebab Valverde tetap kukuh main bertahan, mereka secara tidak langsung mempersiapkan kekalahan. Beda saat melawan PSG. Mereka bermain sangat baik meski awalnya mereka kalah di Parc de Princes dengan skor 4-0.
Saat itu, banyak yang mengira kalau Barcelona akan tersingkir lebih awal. Sepertinya sulit untuk membalikkan keadaan. Pada leg kedua, Barcelona tampil perkasa di kandangnya. Ia membungkam mulut fans PSG dengan mencetak enam gol. Sayangnya, PSG cuma bisa mencetak satu gol saat itu.
Di bawah asuhan Enrique, mereka meyakinkan dirinya kalau ia bisa La Remontada. Di bawah Valverde, para pemain meyakinkan dirinya kalau Barcelona bukan klub superior lagi yang bisa keluar dari tekanan. Mereka rentan kalah. Ada sejarahnya.