Jika Madrid kalah, tak apa. Sesungguhnya ia sedang melangkah lebih jauh dan belajar untuk tidak terbiasa tanpa Cristiano Ronaldo.
Jakarta, Lontar.id – Sudah empat kali, Los Blancos tidak pernah memenangkan pertandingan melawan Barcelona, seteru abadinya itu. Tiga kali kalah, dan sekali imbang. Semuanya agak janggal, jika melihat torehan pada musim lalu saat Madrid sangat perkasa di mana saja.
Mayoritas publik yang gemar menonton El Clasico bisa digaransi kalau Real Madrid selama dilatih Zidane punya skuat yang oke. Setiap lini bisa bekerja dengan sangat serius.
Secara spesifik, Real Madrid pada era Zidane, jika dilihat dari lini per lini, begitu baik. Contoh, pada lini belakang, kedisiplinan bek yang dipimpin Ramos bisa bikin klub seperti Barcelona frustrasi.
Penyerang yang dimiliki Barcelona, sulit untuk menembus rapatnya pertahanan Madrid saat itu. Begitupun dengan gelandang Madrid. Lini tengahnya mempertontonkan bagaimana cara mengendalikan permainan dengan baik.
Di tangan Modric, alur bola ke depan dan peralihan dari bertahan ke menyerang, sangat tepat waktu. Saking tepat waktunya, banyak gol tercipta dan penguasaan bola Madrid lebih banyak dari sebelumnya. Melawan Barcelona juga, mereka menggunakan taktik serang balik.
Sulit untuk tidak mengatakan permainan mereka miskin penguasaan bola, kalau ia berturut-turut menjuarai Liga Champions. Skuat asuhan Zidane saat itu memang benar-benar dahsyat.
Soal lini depan, jangan ditanya. Mereka punya Ronaldo, Karim Benzema, dan Gareth Bale. Tiga pemain ini luar biasa kerja samanya. Bisa jadi, trio lini depan ini paling ditakuti sedaratan Eropa bahkan dunia.
Titik serang bertumpu pada Ronaldo saat itu. Ia seperti diserahkan keberkahan dalam skuat dan jadi sosok pelecut semangat bagi kawan-kawannya yang kendor jika Madrid tertinggal gol.
Ketika Madrid dilatih Santiago Solari, Ronaldo hilang. Ruh permainan dan semangat pantang menyerahnya seakan-akan pergi juga, menjauh, dan ikut bersama Ronaldo. Kawan-kawannya jadi gampang frustrasi.
Ronaldo itu sosok, sistem, sekaligus gaya permainan. Ketiganya, Madrid tidak punya. Makanya, melawan Barcelona kemarin, Madrid seakan lupa cara mencetak gol dan bersemangat seperti sedia kala, sewaktu dilatih Zidane dan pelatih-pelatih sebelumnya.
Benzema ngos-ngosan dan beberapa kali gemas saat sepakan dan headingnya tidak berbuah gol. Juga Vinicius, ia tampak kebingungan saat ruang gerak dan tembaknya ditutup sangat rapat oleh pemain belakang Barcelona.
Kelebihan Madrid sekarang hanyalah, ia tidak punya Ronaldo. Mengapa begitu? Mereka memproyeksikan, beberapa tahun ke depan, barangkali ia sudah bisa bersaing dengan klub papan atas bersama wajah-wajah muda yang dimilikinya.
Florentino Perez barangkali berpikir seperti itu. Dalam pembeliannya di dua pintu transfer 2018-2019, ia condong menggelontorkan duit demi darah muda. Darah yang berapi-api.
Selain harganya yang murah, Perez juga ingin kalau Madrid jadi tempat mengorbit yang baik alias mengubah paradigma orang-orang kalau sudah tak ada lagi Los Galacticos.
Benarkah demikian? Paling tidak, itu yang terasa dalam empat pertandingan Clasico, baik di La Liga dan Copa del Rey. Reguilon dan Vinicius jadi sorotan. Ia kerap menyulitkan pertahanan Barcelona.
Reguilon sendiri hadir beberapa bulan yang lalu, dan sudah bisa menggeser Marcelo di posisi starter Real Madrid. Sebuah kemewahan yang disuguhi pemain muda. Lelaki asal Spanyol itu diorbitkan Solari, setelah melewati masa kepemimpinan Julen Lopetegui dan Zinedine Zidane.
Solari percaya kalau Reguilon bisa bikin banyak perubahan dan pelan-pelan melepas ketergantungannya pada Marcelo. Ia memberikan kesempatan kepada bek sayap muda itu sekarang. Hasilnya cukup memuaskan.
Sementara Vinicius Junior, mungkin merupakan perjudian terbesar Florentino Perez di bursa transfer musim panas lalu. Ia terlalu cepat mengisi daftar pemain starter secara reguler. Sekarang ia bisa membayarnya pelan-pelan, meski masih jauh dari pendahulunya, Ronaldo.
Di bawah Solari yang menggantikan Lopetegui. Pemain muda Brazil itu secara bertahap menjadi pemain penting sebab bisa menggeser Gareth Bale dari posisi starter. Vinicius secara rutin mengisi starting XI Madrid dalam 10 pertandingan terakhirnya dengan mencetak dua gol.
Proyeksi masa depan Madrid sekarang, mungkin saja mengorbitkan lebih banyak lagi pemain muda. Paling tidak, Vinicius, Reguilon, dan kader-kader Ramos lainnya, bisa masuk daftar pasar dengan harga yang tinggi. Selain itu, mengubah gaya main Madrid dari era Ronaldo ke Vinicius.
Belajar memang akan makan waktu. Membayangkan saja dulu, kalau Vinicius bisa jadi sosok baru Madrid yang mencerahkan. Berhentilah menyalahkan siapapun, sebab Madrid sekarang sedang belajar dan membiaskaan diri untuk kalah di bawah pemain-pemain mudanya.
Intinya, Madrid sekarang sedang belajar percaya dan mengubah wajah bisnisnya.