Jakarta, Lontar.id – “Tidak ada daya muslihat pada alam. Alam adalah angan-angan terhadap yang nirmala, segala yang murni dan baik. Alam tidak saja bumi yang dipijak, tempat bernaung, tetapi juga ruang menyejarah bagi manusia. Alam menuangkan saripatinya menyangga kehidupan, tidak terkecuali, manusia juga tergantung terhadapnya. Filsafat Timur sarat akan ajaran-ajaran yang meletakan alam sebagai sumber pengetahuan. Sumber dalam pengertian ini, tidak melingkupi sebatas dimensi empiris dari alam, melampaui itu, alam dianggap sebagai tumpuan acuan moral.”
Kata-kata di atas menjadi pembuka pidato kebudayaan Saras Dewi, Dosen Filsafat Universitas Indonesia dan aktivis ekologi, sekaligus salah seorang yang memperjuangkan dibatalkannya reklamasi Teluk Benoa, Bali. Pidato yang bertajuk SembahYang Bhuvana ini mengingatkan saya kembali betapa agungnya alam. Kita bisa melihat betapa manusia bergantung dengan alam.
Sejak revolusi industri yang meliputi kegiatan pertanian, kesehatan, pertambangan, dan pangan. Alam telah memunculkan tanda-tanda bahwa ia sedang sakit. Namun, pengetahuan manusia rupanya tidak sampai disitu. Eksplorasi yang akhirnya berujung eksploitasi mengakibatkan alam murka. Sepanjang tahun 2018, hajat alam berupa gempa, longsor, tsunami, dan banjir menjadi peringatan kembali jika pengetahuan manusia terhadap alam tidak bergerak. Tapi, hasrat manusia untuk mendapatkan kapitalah yang semakin bertansformasi.
Baca Juga: 2018, Tahun Bencana dengan Korban Terbesar Dalam 1 Dekade
Modernitas mengarahkan manusia pada perkembangan tekhnologi. Kita sampai pada pemahaman, segala kebutuhan manusia harus dipenuhi apapun caranya. Manusia cenderung abai pada akal budi dan melihat alam sebagai objek. Objektifikasi alam yang demikian jika dalam kebudayaan timur, khususnya Hindu telah melanggar tata-nilai kehidupan. Ketidakseimbangan (disequilibrium) harmonisasi tubuh dan alam merupakan dampak dari kebudayaan modern yang cenderung antroposentrik.
Manusia Sebagai Pelaku Bencana Alam
Saya lahir di sebuah desa cukup terpencil di salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan, tepatnya di Kabupaten Pangkep, Desa Tabo-Tabo. Di desa itu, Ibu dan Nenek saya dilahirkan. Meskipun tidak tumbuh sebagai masyarakat desa yang dekat dengan alam, tapi pengalaman empiris saya terhadap alam cukup kuat. Saat tumbuh dewasa, saya baru merefleksikan, jika saya telah kehilangan alam yang membentuk masa kecil saya dulu di desa kelahiran saya.
Jejak ekologis berupa sungai yang selalu saya jadikan tempat bermain dan berenang saat kecil telah mengering. Iklim yang sejuk yang masih bisa saya nikmati dulu, kini berubah 360 derajat menjadi sangat panas. Tidak mengherankan, jika gunung yang dulu menjadi tempat yang sakral dan tempat tumbuh nenek moyang kita digerus oleh pabrik semen ternama di Sulawesi Selatan.
Pabrik yang menghasilkan semen sekaligus mengirimkan debu dan panas di desa saya mengharuskan masyarakat bersikap negosiatif sekaligus kapitalistik. Akhirnya masyarakat harus membeli kipas angin dan alat pembersih yang keuntungannya pasti akan kembali kepada industri. Masyarakat desa yang memiliki lahan yang luas berbondong-bondong dibeli oleh investor dengan harga yang sangat mahal untuk dijadikan tempat pembangunan Marmer. Desa Tabo-Tabo barangkali menjadi desa yang memiliki pabrik marmer terbanyak di Indonesia. Sepanjang jalan, kita bisa menemukan lebih dari tiga pabrik marmer yang saling berdampingan dengan karst dan batu-batu besar yang semakin memutih dan berkurang.
Lahan yang telah habis tersebut berdampak pada hilangnya pekerjaan masyarakat sebagai petani. Generasi muda atau generasi milenial lebih tertarik bekerja sebagai buruh pabrik dibandingkan petani, karena memang mereka telah kehilangan lahannya. Budaya masyarakat begitu cepat bertransformasi, dan alam semakin menunjukkan gejala sakit yang luar bisa.
Berangkat dari situ, saya melihat bahwa diksi korban bencana alam yang ditujukan kepada manusia sangat keliru. Manusia bukanlah korban tapi justru pelaku bencana alam. Kitalah yang mengakibatkan alam berhajat seperti ini, bukan alam yang murka dengan sendirinya. Mengutip pemahaman masyarakat Bali tentang relasi antara bhuvana alit (individu) dan bhuvana agung (alam). Budaya Bali melihat keseluruhan dan keutuhan sebagai sesuatu yang utama. Individu tidak memiliki peranan sendiri yang asali, ia harus menyesuaikan diri dengan kembali pada kosmos besar – bhuana agung. Keduanya memiliki unsur-unsur pembentuk yang sama.