Kata-kata memenuhi udara. Kata-kata menempel pada dinding. Kata-kata hinggap pada pintu. Kata-kata bertumpuk di atas meja. Kata-kata melekat pada jendela. Lalu terbang memenuhi langit.
—Ajip Rosidi, (Terkenang Topeng Cirebon: 1993)
Pelbagai peristiwa begitu genit untuk diabaikan dan begitu menggelisahkan untuk dituliskan. Laku mencatat peristiwa-peristiwa keseharian baik yang bersifat biografis, deksriptif, dan mungkin imajinatif digeluti Akhmad Tabrani dan berbuah buku dengan judul Pertemuan Kecil Kita (Penerbit Kuncup, 2019).
Buku yang sebenarnya digagas kedua santrinya, bersumber dari puisi-puisi di beranda Facebook Akhmad Tabrani. Puisi dipilih dalam tenggat waktu yang cukup lama yakni 2003-2018. Penulis yang pernah menjadi wartawan, sebelum menjadi dosen sastra melahirkan puisi-puisi yang bersifat naratif dengan gaya puitis. Mengapa memilih jalur naratif? Barangkali apa yang disampaikan Joko Pinurbo dalam Telepon Genggam-nya (Penerbit Basabasi, 2017) bisa menjadi jawaban representatif: dengan bentuk atau gaya naratiflah saya merasa nyaman menulis puisi.
Kafka mengatakan: menulis merupakan ketegangan antara menemui bahasa dan menemukan bahasa. Kesadaran akan menulis puisi, memposisikan Akhmad Tabrani sebagai penyair yang “menemui bahasa”. Goenawan Mohamad dalam Fragmen-nya (Penerbit Gramedia, 2017) menjelaskan bahwa menemui bahasa adalah laku bergerak pada bahasa yang hidup di permukaan komunikasi, sedang menemukan bahasa berarti mendapatkan pengalaman baru dari dalam kata. Sebut saja, menemui bahasa berarti sadar berpuisi dan menemukan bahasa berarti kesurupan puisi. Kita bisa mengimajinasikan penulis bertemu peristiwa atau berperistiwa dengan benda, lalu merenunginya dan mengisahkannya dalam wujud puisi.
Puisi dan Identitas
Dengan terbitnya buku setebal 91 halaman, Akhmad Tabrani tanpa disadari juga mengekalkan dua identitas atas dirinya. Pertama, identitas sebagai manusia. Kedua, identitas sebagai dosen yang menghuni universitas.
Identitas pertama sebagai manusia pun terbagi menjadi beberapa macam: manusia quraniah, manusia Madura, dan manusia homofabula. Manusia quraniah diartikan sebagai manusia yang menjalankan laku “iqrok” atau membaca sebagai ejawantah perintah Tuhan yang pertama. 57 puisi yang tersaji dalam buku, berkisah tentang pembacaan seorang Akhmad Tabrani pada benda dan peristiwa di sekitarnya. Misal saja peristiwa berbuka puasa yang tersaji di puisi yang dijadikan judul bukunya; Pertemuan Kecil Kita, kita simak cuplikannya:
Di antara penganan dan santapan yang tersaji rapi sejak sore, konon untuk kita nikmati ketika kumandang sudah mendaki/ berletupan kembang api masa ‘itu’
Peristwa berbuka puasa yang barangkali memilik intimitas dengan takzil, adzan, buka puasa, dsb bisa diceritakannya dengan kemerdekaan bahasa. Keberlimpahan pembendaharaan diksi yang dimiliki Akhmad Tabrani menjadikan puisi-puisi berkisah peristiwa “biasa” tanpa harus klise. Sedang manusia Madura, bisa dipahami dari beberapa puisinya yang berkisah tentang pulau kelahirannya dan lebih spesifiknya, Sumenep. Bahkan beberapa puisi hadir dengan bahasa Madura. Dan tentu, pembaca tak perlu menuntut penyair untuk bertanggungjawab menerjemahkannya sebab seperti kata Bandung Mawardi dalam Macaisme-nya (Penerbit Jagat Abjad, 2011) membaca buku bisa memberi girang dan bimbang. Tentu, termasuk buku puisi.
Dengan sederhana, pembaca akan girang jika mampu memahami puisi, menemukan pesan tersirat penyair, dan barangkali representatif rasa atas diri pribadinya. Sebaliknya, gagal membaca bisa memberi kebimbangan. Dan semua itu memang lumrah sebab makna, suatu kali, memiliki waktu sendiri untuk berjodoh dengan pembaca.
Misal saja, puisi yang bisa jadi represetatif rasa pembaca dengan judul Rij 01, kita simak bait terakhirnya: Kakek, semua kesunyian yang kupahat pada malam/ semua terbangun, laksana Musa degan tongkatnya/ ketika membelah jalan Tuhan/ laut bergelora, angin pun menghantam dinding sunyi/ yang telah terlanhjur kubuat puisi prasasti/ kegagalan namanya/
Puisi berkisah tentang laku menyepi, menyendiri, dan menyandar pada malam dalam wujud lukisan yang verbal. Kita bisa mengimajinasikan penulis sedang duduk sendiri di suatu malam, berpasrah atas suatu hal yang menurutnya gagal yang sangat bisa jadi kegagalan cinta jika merangkai kata di bait sebelumnya seperti “wajah yang kukenal”, “kekasih”, dan “si kecilku”.
Kegagalan cinta bisa jadi hal lumrah dan sering dialami manusia, khususnya remaja. Seorang yang patah hati, bisa saja girang membaca puisi di atas sebab ia menemukan sebait yang mampu mewakili rasanya, walau tentu seluas rasa seringkali tak mampu diungkap bahasa secara utuh.
Identitas manusia terakhir, ialah homofabula. Makhluk yang bercerita. Penyair yang juga santri Zawawi Imron itu, telah berkisah banyak hal pada pembaca, mulai dari Madura, laut, Jeddah, Malang, dan sebagainya termasuk kisah kucing mencari anaknya. Lebih general identitas sebagai manusia dikisahkan di film lama Dead Poet Society (1989), seorang tokoh bernama John Keating menyampaikan: we don’t read and write poetry because it’s cute. We read poetry because we are member of human race. Manusia tidak bisa dipisahkan dari puisi. Wah!
Identitas yang terbentuk kedua adalah dosen universitas. Ini yang mungkin luput disadari beberapa penghuni universitas bahwa sangat bisa diamini jika universitas adalah kata serapan dari university yang berakar pada universe dan merupakan gabungan antara uni yang bermakna sekumpulan dan verse bermakna sajak. Alhasil, universitas adalah sekumpulan sajak. Loh, makna yang ngawur dan aneh? Justru kampus-kampus seharusnya dipandang aneh ketika civitas akademisnya tidak bergelut dengan sajak atau puisi sebab makna muasalnya adalah antologi puisi.
Dalam sebuah wawancara yang diabadikan di buku Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing (Penerbit Bentang Budaya, 2002), Afrizal Malna memberikan pengakuan yang mengejutkan dan cukup menampar: Saya memakai bahasa Indonesia, bahasa yang telah kehilangan akar budayanya. Barangkali, universitas yang tak lagi menyajikan pepuisian termasuk dalam pengakuan Afrizal Malna “kehilangan akar budayanya”. Penerbitan buku Pertemuan Kecil Kita, semoga bisa menjadi babak awal kebangkitan perpuisian di universitas terkhusus Universitas Islam Malang (Unisma) di mana Akhamd Tabrani menjadi Kaprodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Pascasarjana.
Zakat Puisi
Penulis yang merupakan santri dan berlatar pesantren, secara tak langsung sedang atau telah menunaikan sebuah zakat yakni tulisan. Dalam khazanah Islam, perintah pertama Tuhan pada manusia ialah “iqrok” yang berarti bacalah (!). Ada hadist masyhur berbunyi “Likulli syaiin zakatun (segalanya memiliki zakat)”. Lantas, apa zakat yang lebih pantas dari tulisan dan penerbitan buku untuk sebuah perintah membaca? Membaca adalah laku memasukkan kata pada tubuh bahasa. Diri diperkaya kata dari bacaan-bacaan yang lebih luasnya tidak melulu dari buku tetapi pula semesta.
Diri yang telah kaya kata “wajib” menunaikan zakat kata. Sebenarnya ada dua bentuk penunaian zakat, bisa lisan maupun tulisan. Secara lisan, manusia mendongeng, berkisah, memberi wejangan pada selainnya. Barangkali kita ingat masa kecil di tahun 90-an, sebelum banyak gawai, masih banyak dijumpai, nenek, ibu, bahkan bapak mendongeng pada anaknya. Dongeng-dongeng mengantarkan anak pada dunia imajinatif yang kemudian terbangun dalam mimpi. Zakat tulisan bisa berupa sekumpulan puisi seperti Pertemuan Kecil Kita.
Sebelumnya, Akhmad Tabrani juga pernah menunaikan zakat berupa antologi puisi Sajak Musim Hujan (2000) dan buku Bagaimana Memulai dan Menjadi Penulis (UM Press, 2010).
Terlepas dari segala pembahasan, saya selaku muridnya berkewajiban mengucapkan: Selamat atas lahirnya Pertemuan Kecil Kita dan semoga memberi banyak selamat baik bagi penulis maupun pembacanya, Pak.
Penulis: M.A. Mas’ud, koordinator perkumpulan Detak Aksara, Malang. Juga, kuncen sebuah percetakan dan penerbitan buku dengan nama Warungpdf.