Lontar.id – Jokowi dan Ma’ruf Amin akan dilantik sebagai presiden dan wakil presiden pada Oktober 2019 mendatang, keduanya akan secara resmi menjalankan tugas kenegaraan, melanjutkan program kerja di periode sebelumnya.
Tentu jauh sebelum itu, Jokowi akan mempersiapkan orang-orang pilihan yang akan menduduki struktur kabinet kerja jilid II. Tidak saja dari kalangan partai pengusung yang akan ditunjuk sebagai menteri, tetapi kabar menariknya, Jokowi akan merangkul kalangan milenial.
Stok anak muda milenial cukup banyak di negeri ini, dengan kapasitas dan wawasan yang mumpuni, tinggal Jokowi-Ma’ruf yang memilih siapa yang terbaik. Apakah Jokowi akan mengambil anak muda dari pengurus partai atau profesional yang menguasai bidang tertentu.
Sarung Ma’ruf Amin
Ma’ruf Amin mengenakan sarung sudah sejak lama, mungkin saja sejak ia kecil dan hidup dalam asuhan keluarga yang berlatar belakang Nahdlatul Ulama (NU) atau yang biasa disebut Nahdiyin. Di Nahdiyin ada sebutan khusus kalangan yang mengenakan sarung yaitu kaum sarungan. Ma’ruf Amin salah satunya.
Tradisi Nahdiyin yang tumbuh subur di sejumlah pesantren tradisional, terutama di Pulau Jawa, kerap mengenakan sarung sebagai pakaian yang sangat umum sekali. Mulai dari para santri hingga ustad yang mengajar.
Penggunaan sarung di Indonesia sudah sangat melekat kuat bagi kalangan laki-laki, bahkan sudah dijadikan sebagai tradisi yang terus di wariskan. Sarung juga bisa digunakan untuk bawahan laki-laki saat melakukan ibadah, atau biasa juga digunakan seorang ibu untuk dijadikan ayunan.
Di kampung-kampung, sarung kerap digunakan untuk pakaian saat tidur atau saat penjaga ronda malam keliling perkampungan, menjaga-jaga agar maling tidak masuk sembarangan mengambil barang milik warga.
Seiring sarung digunakan secara umum dikalangan masyarakat, di daerah-daerah tertentu membuat sarung tenun dengan motif yang beragam. Bahkan terkadang, hanya dengan melihat saja motif sarung tenun, kita sudah bisa mengetahui dari daerah mana sarung tenun itu berasal.
Bila ditelusuri lebih jauh kebelakang, ternyata sarung bukan produk asli dari negeri kita, melainkan dibawah dan diperkenalkan oleh para saudagar yang masuk di nusantara dari timur tengah, terutama dari Yaman sekitar abad ke-14.
Pada umumnya, kain yang digunakan untuk pembuatan sarung berwarna putih, lalu dilarutkan dengan bahan pewarna hitam yang dikenal dengan istilah neel. Sebagian besar masyarakat Yaman membuat sarung sebagai cendramata bagi turis yang melancong.
Setelah terjadinya persilangan budaya atau asimilasi dengan tradisi Indonesia, maka motifnya pun bervariasi bergantung pada daerah tersebut. Namun yang pasti, sarung, kini sudah menjadi budaya yang sangat melekat dan sering digunakan.
Masyarakat Jawa dahulu, mengenakan sarung bukan saja sebagai identitas, tapi juga sebagai alat perlawanan terhadap modernitas. Di mana kalangan kaum bangsawan atau para pekerja rendahan di kantor Belanda, menggantikan pakaian sarung dengan stelan jas. Stelan jas dianggap efisien saat berkantor atau dengan rekan mitra kerja.
Demikian juga dengan Ma’ruf Amin yang kesehariannya sebagian besar mengenakan sarung, serban, dan peci hitam daripada memakai stelan jas, dasi dan celana panjang.
Ma’ruf Amin yang sudah kadung mengenakan sarung, akan diperhadapkan dengan jabatannya sebagai wakil presiden yang harus tampil mengenakan jas. Sebab, seorang wakil presiden tidak saja mengurusi urusan dalam negeri melainkan akan berurusan dengan negara yang menjalin hubungan bilateral atau bertemu dengan kepala negara saat kegiatan organisasi internasional seperti PBB.
Bila melihat wakil presiden sebelum-sebelumnya, belum pernah ada yang mengenakan sarung dalam aktivitas sehari-hari atau sedang menjalankan tugas negara. Sebab pakaian yang umum sekali sebagai seorang pejabat negara adalah stelan jas.
Apakah nanti Ma’ruf Amin akan luluh dan mengganti model pakaiannya dengan stelan jas atau tetap menggunakan sarung. Bila Ma’ruf Amin tetap konsisten mengenakan sarung, maka, Ma’ruf Amin adalah wakil presiden pertama yang menggunakan sarung dalam melaksanakan tugas negara.
Tentu ini akan sangat menarik dicermati, karena sarung sudah identik dengannya. Bila tamu negara berkunjung ke Indonesia, Ma’ruf Amin tidak saja menunjukkan keramahtamahan sebagai tuan rumah, tetapi sekaligus memperkenalkan motif sarung di Indonesia.
Bila setiap pertemuan itu, Ma’ruf Amin mengenakan sarung tenun dari berbagai daerah, maka ia sekaligus memperkenalkan potensi kekayaan budaya Indonesia. Dan yang paling penting, Kementrian Pariwisata tidak harus mengeluarkan anggaran besar hanya untuk memperkenalkan potensi daerah, Ma’ruf Amin sekaligus menjadi duta sarung Indonesia.
Ibaratnya, sekali mendayung dua tiga pulau terlewati. Itulah salah satu keuntungan mengenakan sarung pada saat menerima tamu negara.