Lontar.id – Hampir setiap hari, jalanan ibu kota akan dipadati oleh kendaraan umum dan kendaraan pribadi yang berjejalan tanpa henti mewarnai keriuhan Jakarta. Mobil pribadi, motor, bus dan berbagai moda transportasi berdesakan di sepanjang jalur mulai dari matahari terbit hingga malam menjelang.
Hal yang serupa tidak akan ditemui di negara maju seperti Amerika Serikat. Sebab, seluruh wajah lalu lintas Jakarta yang begitu riuh agaknya merupakan kebalikan dari wajah lalu lintas di Amerika.
Wajah macetnya ibu kota, wajah berdesakannya warga Jakarta di bus transjakarta, wajah ribuan warga yang lelah menunggu dan berebut tempat menaiki gerbong kereta api, hingga wajah mobil pribadi dan juga motor yang saling salip mendahului, juga wajah polisi lalu lintas yang turun ke jalanan setiap harinya. Semua perwajahan lalu lintas ibu kota itu adalah barang langka di Amerika.
Sebagai kota pemerintahan, Washington DC menjadi potret sempurna bagaimana sebuah negara adidaya berhasil menunjukan keamanan dan kenyamanan berlalu lintas secara konkrit. Di mana kemacetan dan intensitas kendaraan yang tinggi di ruas jalur padat bisa ditanggulangi oleh pemerintahnya, sehingga suasana padat nyaris tidak pernah ditemui.
Bahkan di sudut persimpangan lampu merah empat arah pun, tidak ada polisi yang berjaga untuk mendisiplinkan warga. Jika ditelaah lebih jauh, dari segi moda transportasi, tidak ada yang berbeda dengan ibu kota Indonesia.
Ada kereta api, buskota, hingga taksi, lengkap juga dengan layanan antar jemput online seperti uber dan lyft, termasuk kendaraan pribadi yang jumlahnya tidak sedikit. Karena hampir tiap rumah tangga ditopang oleh minimal satu kendaraan pribadi untuk membantu mobilitas mereka.
Namun, dengan semua kesamaan moda transportasi yang disediakan oleh pemerintah, dan fenomena antar jemput berbasis aplikasi daring, juga medium kendaraan pribadi yang dimiliki oleh hampir setiap warga di Washington DC, semua itu tidak lantas menjadikan berbagai ruas dipadati oleh warga Amerika di setiap harinya. Kepadatan yang sama tidak akan dengan mudah ditemui di sini.
Warga di sini pun mengatakan bahwa mereka secara sadar memilih menggunakan kendaraan umum dibandingkan kendaraan miliknya sendiri. Alasannya sederhana, terlalu lelah jika menyetir sendiri dan lebih menghemat tenaga dengan menaiki kereta api atau bis kota. Alasannya menurut kami masuk di akal, mengingat jarak dari satu tempat ke tempat lain yang jauh, mereka lebih memilih untuk menggunakan mobil pribadi sebagai sarana transportasi sampai stasiun atau terminal bus terdekat.
Sesampainya di sana, mereka akan memarkir kendaraan pribadi mereka lalu berganti menggunakan moda kereta api atau bis kota hingga untuk sampai pada tempat kerja atau tempat yang dituju.
Bagaimana dengan biaya? Dari segi biaya, di Jakarta, pilihan naik kendaraan umum jelas lebih ekonomis ketimbang menggunakan kendaraan pribadi. Namun, hal yang serupa tidak berlaku di Washington DC karena biaya untuk naik biskota hanya $2 selama dua jam, sehingga mereka bisa berganti biskota, tanpa menambah biaya tambahan. Sementara untuk naik kereta api, biayanya hanya sekitar $2-$6 bergantung pada jarak tempuh menuju pemberhentian akhir.
Jika dikalkulasi, estimasi biaya menggunakan kendaraan pribadi tidak jauh berbeda dengan menggunakan moda transportasi umum. Untuk biaya bahan bakar sendiri, jika mereka menggunakan kendaraan pribadi, estimasi biaya yang mereka keluarkan untuk biaya bahan bakar hanya berkisar $4 per gallon atau sekitar Rp. 9000 per liter.
Biaya yang hampir sama dengan biaya yang harus dianggarkan untuk menggunakan moda transportasi umum. Namun, karena perhitungan Lelah, energi yang terkuras, dan waktu yang dapat digunakan untuk istirahat selama di perjalanan, mereka lebih memilih mengeluarkan anggaran untuk menggunakan transportasi umum.
Jadi, preferensi warga Amerika yang lebih memilih menggunakan kendaraan umum ketimbang kendaraan pribadi sehari-hari ini sangat rasional. Dengan harga yang sama, mereka memilih yang paling praktis dan paling sedikit mengeluarkan energi. Kalkulasi pragmatis yang sulit diterapkan di Ibu kota Jakarta.
Editor: Syariat