Lontar.id – Debat seputar LGBT adalah topik hangat dalam tahun-tahun terakhir. Banyak pro dan kontra. Mereka yang mendukung cenderung menggunakan argumentasi mengenai kebebasan dalam orientasi seksual, yaitu mendukung hak asasi serta ekspresi identitas gender. Sementara mereka yang menolak cenderung meragukan premis-premis dasar seputar kebebasan ekspresi, dan kembali pada ajaran agama bahwasanya hubungan sesama jenis adalah menyalahi kodrat ilahi.
Di Indonesia, negara dengan populisasi muslim terbanyak, diskusi seputar LGBT ini tak pernah menuju titik temu yang pasti. Alih-alih sebagai medan diskusi, proses membicarakan fenomena LGBT lebih terasa sebagai medan perang. Dimana kedua belah pihak sama-sama berorientasi pada pandanganya absolut. Sebagai seorang muslim yang berusaha taat yang percaya dengan hak-hak asasi dan yang sedang berjuang demi kesetaraan gender.
Bagaimanakah seharusnya saya memposisikan diri?
Suatu kali saya pernah diblokir dari akun Instagram. Akun Instagram yang berorientasi atas nama kaum perempuan dan hak-hak kaum LGBT. Pemblokiran tersebut dikarenakan komentar saya yang tidak sepakat atas klaimnya yang mengatakan homoseksualitas adalah bagian dari budaya Indonesia.
Saya bukanya tidak percaya bahwa homoseksualitas pernah menjadi tradisi dalam masyarakat komunal di Indonesia. Akan tetapi keberatan saya dikarenakan pandanganya yang mendudukan perkara homoseksulitas secara biologis dan kebudayaan secara esensialis. Pada saat itu saya berkomentar bahwasanya apa yang kita pahami tentang homoseksualitas dan kelompok LGBT merupakan hasil konstruksi wacana dari barat.
Dalam sebuah penelitian mengenai “heteronormalisasi dunia Islam (Georg Klauda, 2008)”, sosiolog Jerman tersebut membicarakan tidak relevanya wacana homoseksualitas dalam Foucault (History of Sexsuality) dengan wacana seputar homoseksulitas di dan tentang dunia Islam.
Analisis Focault yang membicarakan tentang homoseksualitas lahir di Eropa pada abad ke-19, sementara dunia Islam pada dasarnya tidak mengenal konsep tersebut. Islam mengenal larangan melakukan seks anal, namun tidak ditemukan hasrat seksual tertentu bersifat abnormal. Konsep homoseksualitas, sekaligus homophobia justru diperkenalkan oleh orang Eropa di masa kolonial.
Di masa itu, pengamat-pengamat Eropa merasakan rasa ‘jijik’ terhadap dunia Islam (dan budaya non-barat lain), yang mereka persepsi kelewat permisif terhadap homoerotisme dalam pergaulan antar laki-laki. Sebagai salah satu wujud pengaruh kolonial, elit lokal di negara Timur-Tengah kemudian mengadopsi kejijikan itu, dan mengubah adab pergaulan antar laki-laki.
Maksud saya sepenuhnya adalah; kita tidak bisa membicarakan diskusi seputar LGBT (di Indnonesia) dengan klaim-klaim yang absolut apalagi mengesampingkan relasi produksi pengetaahuan yang didominasi oleh barat. Jangankan LGBT apa yang kita pahami tentang feminim dan maskulin juga tidak bisa dilepaskan dari pengaruh konstruksi sosial, khususnya dalam relasi global atau pasca-kolonial.
Denga kata lain, Ketegori mengenai LGBT jika ingin diperjuangkan ia harus dikaji dengan konsep yang kontekstual, yang sesuai dengan pengalaman sehari-hari masyarakat Indonesia.