Lontar.id – Setiap memasuki Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang jatuh pada 17 Agustus, serempak kita memasang bendera merah putih, umbul-umbul dan sebagainya.
Semarak memasang bendera di depan halaman rumah, masih dianggap sebagai semangat nasionalisme, tanda kecintaan terhadap negara atau NKRI harga mati.
Nasionalisme semacam ini memang tidaklah salah, sebab bukan saja warga sipil memasang bendera, melainkan institusi-institusi negara melakukan hal yang sama.
Memasang tiang bendera dan mengibarkan merah putih, entah itu dilakukan di atas puncak gunung tertinggi, di dalam laut atau membuat bendera dengan ukuran besar dan terpanjang di dunia, merupakan aplikasi dari rasa nasionalisme kita terhadap negara.
Sebaliknya, bila seseorang ketahuan tidak memasang bendera di depan rumah, dianggap sebagai tindakan tidak menghargai perjuangan pahlawan nasional.
Bagi yang menganut nasionalisme masih sebatas simbolitas atau pajangan semata, akan setuju. Mereka akan mengatakan bahwa bahwa nasionalisme harus dapat ditunjukkan dalam simbol-simbol secara kasat mata, dapat dilihat bentuknya.
Respons semacam inilah yang mengakibatkan lahirnya benih-benih konflik di lingkungan masyarakat. Hal itu terjadi pada peristiwa mahasiswa Papua di Surabaya.
Kelompok organisasi massa reaktif ketika melihat tiang bendera yang patah di halaman asrama, lalu menuduh mahasiswa Papua bertindak tidak nasionalis dan apancasilais.
Keputusan itu terjadi tanpa mereka mendalami perkara itu, apakah benar para mahasiswa yang melakukan perbuatan tersebut atau ada oknum lain yang ingin kisruh.
Paling tidak rasional lagi saat pihak kepolisian mendramatisir dengan menyerbu asrama memakai senjata dan rompi anti peluru. Mahasiswa ditangkap, diperiksa, dan berakhir dibebaskan karena tidak terlibat seperti tuduhan ormas reaktif.
Bablas. Menuding pihak lain tidak nasionalis, sementara kelompok mereka tidak mencerminkan rasa nasionalisme itu sendiri. Nasionalisme macam apa yang ditunjukkan mereka dengan menghantam dan memaki anak bangsa sendiri, tanpa tahu apa kesalahannya?
Bagaimana cara nasionalisme diukur sebenarnya? Apa butir-butirnya sehingga yang anasionalis itu bisa teridentifikasi? Jika sebutir dari turunan nasionalisme lenyap, apakah sikap positif dalam bernegara yang telalh dilakukan lantas hilang begitu saja?
Sudah sedemikian nasionalisme kah mereka, yang menyerang dan memaki orang Papua yang tidak salah apa-apa, sehingga punya otoritas penuh menuding orang lain salah dan membenarkan tindakan kelompok mereka sendiri?
Saya bersimpati atas perilaku tak manusiawi dan rasisme terhadap mahasiwa Papua di Surabaya. Walau di sisi lain, keinginan mereka untuk melepaskan diri dari pangkuan ibu pertiwi tak bisa dibenarkan.
Sebab, perjuangan para pahlawan nasional di masa penjajahan merebut kembali tanah Papua, menelan korban yang tidak sedikit jumlahnya.
Nasionalisme menurut saya harus diaktualisasikan dalam tindakan sehari-hari, tidak sekadar pada momen hari kemerdekaan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, nasionalisme diartikan sebagai paham (ajaran) mencintai bangsa dan negara sendiri, sifat kenasionalan; kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran dan kekuatan bangsa itu; semangat kebangsaan.
Bila merujuk pada kata mencintai bangsa dan negara sendiri, maka kita akan menjumpai banyak hal. Misalnya saja, negara mengaktualisasikan semangat cinta bangsa ini dengan memberikan akses pendidikan layak, berkualitas dan menekan biaya pendidikan murah.
Karena lewat pintu pendidikan, anak-anak bangsa menjadi tercerdaskan, punya wawasan luas. Sehingga negara mampu memproduksi sumber daya manusia yang mumpuni, berdaya saing di pentas global.
Bila semangat nasionalisme diterjemahkan ke dalam sektor pendidikan, maka tak akan ada lagi anak-anak yang putus sekolah, mereka bisa kuliah setinggi-tingginya tanpa dibebankan biaya mahal.
Biaya pendidikan mahal dengan dalil akan memperbaiki kualitas pendidikan, sementara negara punya kewajiban mencerdaskan anak bangsa.
Negara harus ikut intervensi kebijakan otonomi universitas, agar tidak semena-mena mematok biaya semester lebih mahal. Akibatnya, banyak di antara kita ingin berkuliah, namun terkendala biaya.
Apabila beban biaya pendidikan murah, maka pemerintah tidak perlu lagi mengeluarkan beasiswa yang banyak, hanya untuk memberikan kesempatan kepada si miskin untuk bisa masuk di kampus ternama.
Negara cukup menekan biaya pendidikan semurah-murahnya, sehingga siapa saja bisa belajar di mana saja. Itulah esensi dari nasionalisme.
Editor: Almaliki