Jakarta, Lontar.id – Jelang memasuki pemilihan presiden dan wakil presiden pada 17 April 2019 mendatang, isu penuntasan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) belum padam.
Keluarga korban kasus penculikan dan pembunuhan para aktivis 1997-1998 pada masa lalu, masih terus mencari keadilan selama 21 tahun terakhir.
Sudah banyak usaha yang mereka tempuh seperti melaporkan ke lembaga bantuan hukum dan orang hilang. Tetapi, nyatanya mereka belum menemukan hasilnya yang mereka cari, di mana para pelaku diseret ke meja hijau untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Namun setelah reformasi terjadi, para pelaku tak pernah diseret untuk diadili. Mereka melingkar di bawah kaki kekuasaan mencari perlindungan. Kekuasaan merupakan posisi strategis membentengi diri dari jeratan hukum.
Meski presiden sudah berganti berkali-kali, harapan semua orang, presiden yang baru berani mengambil sikap, dengan membentuk tim khusus agar menyidangkan para pelaku pelanggar HAM.
Hal itu yang pernah dijanjikan Presiden Jokowi dan Jusuf Kalla kepada keluarga korban akan menyelesaikan kasus penculikan dan pembunuhan aktivis 98, seperti yang tertuang dalam program Nawa Cita.
Namun sayang, janji tetaplah sebuah janji yang tak pernah ditunaikan. Ia semacam pemanis buah bibir yang keluar dari mulut politisi saat kampanye tiba, agar menggaet suara pemilih.
Perkara apakah yang dijanjikan akan dilaksanakan atau tidak, itu soal lain. Terpenting adalah, menang di pemilu dan jadi presiden.
Hingga pada akhir periode pemerintahan Jokowi-JK, masalah pelanggaran HAM belum pernah terealisasi. Kasus tersebut, hingga kini masih terkatung-katung tiada ujungnya.
Kasus penculikan dan pembunuhan aktivis pada masa lalu, kembali disuarakan oleh anggota Dewan Pertimbangan Presiden(Wantimpres) Agum Gumelar.
Melalui cuplikan video yang tersebar di media sosial. Agum Gumelar memberikan kesaksian tentang pemecatan Prabowo Subianto dari dinas militer.
Pemecatan itu lantaran Prabowo terbukti melakukan tindakan di luar dari disiplin militer dan mengendalikan operasi dalam rangka stabilitas nasional yang bukan menjadi wewenangnya, melainkan wewenang Panglima Tentara Nasional Indonesia (Pangap).
Setelah Dewan Kehormatan Perwira (DKP) bekerja selama sebulan dan melakukan sidang selama tiga kali pada tanggal 10, 12 dan 18 Agustus 1998. DKP menemukan sejumlah fakta dan bukti.
Prabowo kemudian direkomendasikan agar diberhentikan dari dinas keprajuritan. Agum Gumelar mengetahui perihal detail kasus penculikan dan pembunuhan itu, setelah dirinya melakukan pendekatan dari hati ke hati pada anggota Tim Mawar.
Surat tersebut dikeluarkan oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) Markas Besar Dewan Kehormatan Perwira (DKP) Nomor KEP/03/VIII/1998/DKP dengan status rahasia.
Dari sanalah ia mendapatkan informasi lebih detail, tentang sejumlah korban penculikan dan pembunuhan, hingga lokasi pembuangan jenazah pada saat itu.
“Kerjalah DKP sebulan lebih, memeriksa yang namanya Prabowo Subianto. Dari hasil pemeriksaan, terdapat bukti dan fakta yang nyata, bahwa ia telah melakukan palanggaran HAM berat. Saya selain anggota DKP, saya mantan Danjen Kopassus,” kata Agum Gumelar melalui cuplikan video singkat saat menghadiri sebuah acara.
“Tim mawar yang melakukan penculikan, bekas anak buah saya itu, saya lakukan pendekatan dari hati ke hati ke mereka di luar dari kerja DKP, karena dia bekas anak buah saya. Di sinilah saya tahu, matinya di mana, dibuang di mana, saya tahu betul. Jadi DKP merekomendasikan ke Panglima TNI agar yang bersangkutan diberhentikan dari dinas kemiliteranan.”
Kesaksian Agum Gumelar memang penting dibuka ke publik, selain menyelesaikan kasus yang menjadi beban sejarah masa lalu, publik mendapatkan informasi tentang apa yang terjadi pada saat itu dan yang paling penting, pihak keluarga korban mengetahui kejadian yang sebenarnya.
Tapi kesaksian Agum Gumelar bisa jadi tanda tanya, karena dilakukan pada jelang pemilu. Alasannya sederhana, mengapa dia tidak melaporkan kasus ini langsung ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Membawa sejumlah bukti data dan fakta hasil rekomendasi dari DKP, agar Prabowo Subianto di sidang.
Justru Agum Gumelar membeberkan sejumlah fakta pada saat momentum politik di pemilihan presiden. Sikap ini memicu banyak kecurigaan, bahwa manuver Agum Gumelar yang berada di barisan pendukung Jokowi-Amin, hanya ingin memanfaatkan isu agar menyudutkan Prabowo di pentas politik.
Hingga tak jarang, pernyataan Agum Gumelar mendapatkan kritikan serius dari pendukung Prabowo-Sandi. Seperti Wakil Ketua DPR RI sekaligus politisi PKS, Fahri Hamzah.
Politisi asal Sumbawa ini menyinggung Agum Gumelar kehabisan stok isu dan wacana untuk menyerang kubu Prabowo-Sandi. Maka dengan menggunakan cara menfitnah dan menyebar berita keburukan jagoannya, adalah jalan yang bisa ditempuh, jika ingin menurunkan elektabilitas Prabowo.
“Jadi kepepet, jadi gini ya. Kasihannya Pak Prabowo itu kasihannya ya sering difitnah. Ini jurus kepepet,” kata Fahri Hamzah.
Penulis: Ruslan