Ironi sebenarnya jika kita menyebut kota kita sebagai kota Smart City di saat masih banyak gepeng dan anjal berkeliaran di jalanan
Makassar, Lontar.id – Saat sedang berada di ruang-ruang publik, makan di warung kaki lima, berjalan di trotoar, mengisi bensin di Pertamina, berhenti di saat lampu merah, atau membaca buku di taman-taman kampus, kita akan mudah menjumpai tangan-tangan legam bekas terpapar matahari menengadah mengharap diberi rupiah.
Peristiwa seperti ini bukan lagi sesuatu yang asing. Mereka ada, tetapi kerap dilupakan. Seringnya malah tidak diperhatikan. Sengaja diabaikan. Dianggap sebagai sampah masyarakat. Adalah gelandangan, pengemis, dan anak jalanan. Harus bersaing dengan masyarakat modern di tengah gempuran kota yang serba cepat.
Tidak ada tempat selain jalanan yang bisa memberi penghasilan agar perut tak melilit perih. Tidak ada cara selain mengetuk kaca mobil orang-orang gedongan agar bisa bayar hutang beras. Meski jalanan tidak selalu baik, dan kaca mobil tidak melulu terbuka.
Tapi apa daya, tubuh bugar tanpa keterampilan dan selembar ijazah memang tidak banyak berguna bagi perusahaan apalagi pemerintahan. Lalu kehidupan keras di jalanan pelan-pelan membentuk individu yang berontak, malas, dan kasar demi terus bertahan hidup. Tidak jarang menghalalkan pencopetan, menenggak minuman keras, bahkan mengisap lem.
Kota Makassar sebagai salah satu dari lima kota besar di Indonesia tidak bisa menutup mata dengan permasalahan ini. Ibu-ibu menggendong bayi di jalanan, anak-anak kecil bertelapak mungil, remaja usia sekolah, bahkan jompo tumbuh bersama kota ini. Wajah-wajah memelas kadang menjadi jurus ampuh untuk memperoleh hati orang-orang.
Persoalan gepeng-gelandangan pengemis, dan anjal-anak jalanan menjadi masalah klasik di negara berkembang. Adanya orang-orang pra sejahtera menjadi bukti nyata gagalnya negara dalam mensejahterakan rakyatnya.
Di kota berjuluk “Angin Mammiri” ini, keberadaan gepeng dan anjal bagai bom waktu yang jika tidak ditangani secara serius bisa meledak dan semakin membludak.
Dinas Sosial Kota Makassar sebenarnya telah mengklaim bahwa jumlah gepeng dan anjal telah mengalami penurunan drastis di 2018, mengacu pada angka yang lebih banyak di 2017.
Dilansir dari Dinsos, data gepeng dan anjal yang terjaring di 2017 sebanyak 579 orang, sementara di Januari hingga Agustus 2018 berkurang menjadi 236 orang.
Meski tidak pernah ada jaminan bahwa jumlah ini bisa semakin berkurang di 2019. Mengingat kemiskinan, dorongan orangtua, dan pendidikan rendah terus menghantui sebagai ancaman.
Menurut Sosiolog, Muhammad Syukur, kehadiran gepeng dan anjal banyak dipicu dari kondisi ekonomi keluarga yang semakin menjepit. Memaksa para orangtua membiarkan anak-anaknya turun ke jalanan mengais rezeki dengan mengemis mengharap belas kasih orang lain.
“Faktor lain biasanya dipicu oleh migrasi. Banyak orang-orang yang datang dari desa untuk memperoleh pekerjaan, namun sayang biasanya mereka tidak punya keterampilan mumpuni, makanya tidak begitu punya peluang di perusahaan. Akhirnya bertarung di jalanan,” ungkapnya saat ditemui di FIS UNM, Lantai 3, Rabu (30/1/2019).
Pemerintah Kota Makassar melalui kejar-kejaran Satpol PP seolah ingin membuktikan upaya dalam memberangus gepeng dan anjal. Namun sayang, fakta yang terjadi, para gepeng dan anjal kerap kali ditangkap hanya untuk dilepaskan kembali tanpa diberi pegangan keterampilan atau modal usaha. Sehingga mereka akan kembali turun ke jalanan.
Kota Makassar semakin dibangun, sistem teknologi dipercanggih, cctv diperbanyak, kendaraan mewah bersaing. Makassar terlalu bernafsu mendapuk diri sebagai kota pintar atau smart city.
Membiarkan teknologi menjadi kendali. Lalu acuh pada masalah sosial yang ada. Seperti lupa pada manusia-manusia yang tak beruntung berada pada garis kemiskinan.
Ini bukan persoalan sepele. Menyangkut hidup beberapa manusia di dalam perkotaan. Kehadiran gepeng dan anjal memang tidak boleh terlalu dimanja, dengan alasan iba dan kasihan kita memberi uang. Sebab itu bisa merangsang tangan mereka untuk selalu berada di bawah. Menjadi malas.
Di sisi lain, pemerintah juga sudah harus menyediakan solusi bijak, memberi pembinaan bukan lagi sebatas kata-kata bijak, tetapi membekali mereka dengan keahlian kerajinan tangan. Menggandeng Lembaga Swadaya Masyarakat. Sebab ini adalah salah satu PR besar yang harus diselesaikan bersama jika Makassar benar-benar ingin menuju kota pintar.
Penulis: Miftha Aulia