Dunia ini sudah tegang. Indonesia termasuk. Tetapi sekian banyak dari masyarakatnya, malah anteng saja. Gak ada uang, kami tetap ngopi dan merokok, meski mereka tahu ada yang dicuri dari kita-kita ini.
Agama paling tidak jadi penyuntik untuk mengajarkan rasa sabar dan bersyukur pada Tuhan. Agama saya, Islam, mengajarkan itu juga. Paling sering: orang sabar disayang Allah. Enak betul disayang Tuhan, jika rajin berbuat kebaikan.
Sabar itu indah. Bayangkan saja jika digabung dengan dunia ini hanya tempat persendagurauan yang nyata. Pikirlah, jika ada orang yang kelewat serius untuk beberapa hal. Misal, berdebat soal pilpres-pilpres-an. Kemudian saling maki. Duh, gusti.
Mari masuk ke dalam tulisan ini sekarang. Kondisi politik kita sekarang sudah sangat menggerahkan. Di media sosial orang gontok-gontokan, tidak ada angin segar.
Di dunia nyata, barangkali, mereka yang jadi corong kekuasaan dan oposisi sudah disiram air bercampur es batu. Ia adem-adem saja. Mengetik di bawah ac dan menebar benci dan panas di jagat maya untuk mengundang persilatan pada masyarakat yang doyan perang jari.
Cuma itu yang kita punya, beberapa waktu belakangan. Namun, tak berapa lama, hadir Nurhadi-Aldo, yang seakan mengipasi kita semua. Dua kubu seperti dipecah dan dipinggirkan untuk bermain-main dalam ranah politik kita. Menyenangkan sekali melihat meme mereka.
Ia seperti perosotan, ayunan, dan petak umpet yang dirindukan oleh kita yang sudah berusia dewasa menjelang tua. Soal membuat kedua kubu terperosok, itu sudah jelas.
Nurhadi-Aldo tidak seperti onani, maksudnya puas sendiri. Kepuasan ditularkan pada orang yang mengambil latar memenya. Banyak orang yang akhirnya membuat kutipan sendiri, dan di sebelah kutipan ada foto pasangan dengan akronim Dildo itu.
Masih lekat dalam ingatan kita, bagaimana benturan yang keras terjadi saat Pilkada DKI. Mengerikan. Bagi mayoritas orang itu tidak masalah, bagi sebagian itu racun yang bisa membunuh keragaman. Itulah pilihannya.
Dildo sudah tak menarik
Setelah viral, pasangan Dildo diulas sedemikian rupa. Media pelbagai bentuk berlomba menampilkannya.
Awalnya, saya bertepuk tangan riuh, karena akhirnya ia dikenalkan ke publik yang makin luas, namun lama-kelamaan, kian tidak mengasyikkan.
Tertawa-tertawa awalnya, lalu bisa menjadi sindiran ke mereka “kok, garing amat ya?” mungkin itu alasannya. Media. Tulisan ini juga salah.
Termutakhir, di salah satu tv swasta yang diawaki Rosy, Dildo dan kreatornya buka-bukaan. Ia ingin menumbuhkan partisipasi golput.
Sah-sah saja. Saya tertawa kecut. Dih, ini gerak ternyata poltis juga ya. Fufufu. Apalagi saat diwawancara, narasumber bernama Edwin mengaku kalau arahnya ingin membumikan kertas kosong.
Saya jadi ingat Makassar lagi. Duh! Alih-alih mau lepas dari politik, eh, malah gak bisa. Kasihan. Etapi, kertas kosong dan kotak kosong sama-sama kan, ya? Bahkan di alam demokrasi, itu menyenangkan. Ide harus ada lawannya.
“Kalau memang tidak ada yang benar-benar baik untuk pemimpin kita, ya ngapain kita pilih?”
Kutipan di atas itu disampaikan Edwin. Saya suka, masuk akal juga sanubari. Di antara keributan, dan candaan yang tak ingin masuk dalam konflik yang berkepanjangan.
Pesan saya, ide memang sepatutnya begitu. Menghargai kemauan orang juga. Biar kesannya, kita makin bisa bertoleransi di tengah isu inteloran yang diembuskan.
Namun saya makin kuat untuk golput, setelah ada komentar nyeleneh dari tim sukses Jokowi-Ma’ruf, namanya Ulin Yusron, yang ketakutan jika arus besar masyarakat tak memilih.
“Ternyata Nurhadi-Aldo dan tim, tengah bekerja untuk mengajak golput. Mulai sekarang berhenti share, retweet, copas konten mereka. Beritahu semua netizen yuk.”
Kutipannya itu, membuat saya terpingkal-pingkal, kalau toleransi dan demokrasi secara dasar pun dia gak paham. Melucu juga dilarang-larang. Setelah buku dinista, ditumpas, dan dilarang beredar, eh komedi soal membuat poros baru politik juga dilarang. Sakit! Toh, dia gak singgung agama apapun, juga gak ada sentimen komunisme di sana. Ada yang salah?
Tapi apakah dengan pelarangannya saya keder? Sama sekali tidak. Kan, dunia ini tempat bersenda gurau, dan pada Dildo-lah kami jadi anak kecil yang tak suka diatur persoalan rambut, baju, teman main dan sebagainya. Berani kotor itu baik.
Yuk, lupakan pilpres-pilpresan, yang mau ingat gak masalah, pun yang ingin memilih di antara keduanya silakan. Terpenting, kita masih bisa tertawa-tawa tanpa dilarang oleh orang macam Ulin. Yuk! Main yuk!