Belum habis Indonesia Tanpa Pacaran, terbit lagi Indonesia Tanpa Feminis. Sebagai muslimah sekaligus netizen budiman, saya penasaran dengan gerakan apa yang akan mereka usung lagi. Indonesia Tanpa Poligami, bagaimana?
Jujur saja, saya memiliki keresahan setiap kali mendengar nama gerakan yang seperti itu sekaligus prihatin dengan banyaknya stigma-stigma negatif dan tidak adil yang ditujukkan kepada feminisme. Tidak sampai di situ, perasaan pengen misuh muncul saat tahu kalau banyak di antaranya yang justru tidak paham feminisme itu apa.
Sebagai perempuan yang memiliki banyak teman muslimah dan pernah mengikuti tarbiyah, taklim, dan sejenisnya, membuat saya merasa semakin aneh dan heran. Kenapa mereka bisa menolak feminisme sementara apa yang mereka lakukan sejalan dan sesuai dengan apa yang diperjuangkan para feminis?
Mereka yang saya kenal sebagai muslimah adalah perempuan yang tangguh. Setiap hari mereka melakukan aktivitas yang tidak biasa. Mulai dari bekerja dari pagi sampai sore. Tidak sedikit di antara mereka yang masih kuliah dan masih pula menyisihkan waktunya untuk ikut kajian setiap Sabtu. Belum lagi, mereka memiliki target hafalan al-qur’an setiap minggu.
Jujur saja, saya merasa iri dengan semangat mereka belajar dan bekerja. belum lagi, jika saya melihat teman dekat saya yang juga seorang muslimah , di samping bekerja, taklim, dan menghafal al-qur’an, ia juga harus mengerjakan pekerjaan domestik dan mengurus anak.
Perempuan-perempuan muslimah ini juga selain memiliki jiwa emansipasi yang tinggi. Mereka juga sangat bersolidaritas kepada sesama perempuan. Jika ada satu anggota tarbiyahnya yang kesusahan, maka anggota yang lain tanpa berpikir panjang akan menolong, bagaimanapun caranya. Saking bersolidaritasnya, mereka sangat membatasi pergaulan dengan laki-laki.
Sayang seribu sayang, karakter perempuan yang luar biasa itu harus “dirusak” dengan kebencian mereka terhadap feminis. Padahal, feminis itu loh sudah sangat baik kepada perempuan. Meski hanya belajar teori feminis di bangku kuliah, saya percaya dengan membaca sedikit saja literature tentang feminis, para muslimah ini tidak akan sebenci itulah dengan feminis. Dan, tentu saja tidak perlu repot-repot membuat Gerakan Anti Feminis.
Salah satu stigma negatif yang selalu dijadikan senjata bagi kelompok ini untuk menyerang para feminis adalah anggapan bahwa feminis merupakan budaya barat. Alasan ini sebenarnya sangat ambigu ketika dikaitkan dengan budaya. Sayapun, jujur saja masih kebingungan dengan apa yang dimaksud budaya barat. Budaya itukan terus mengalami proses. Mengalami persinggungan, saling bernegosiasi antar budaya lain. Maka, ketika itu disebut sebagai budaya barat, yah budaya barat itu yang seperti apa?
Saat bertanya kepada teman laki-laki saya yang saya kenal bukan sebagai aktivis feminis juga meragukan alasan itu. Ia melihat feminis hari ini bukanlah sebuah westernisasi, tapi rasionalisasi. Feminis hadir karena adanya kesadaran perempuan untuk bangkit karena muncul penindasan dan ketidakadilan yang didapatkan perempuan dalam ruang publik maupun domestik.
Tentu saja kita bisa menyebut Aisyah sebagai feminis sejati karena ia berani memimpin perang, mempelajari banyak kitab, bahkan ia salah satu perempuan yang berada di posisi paling depan membela Rasulullah.