Dalam catatan sejarah, setelah pergi meninggalkan Gowa, Syekh Yusuf tak lagi kembali. Hal itu yang menyulut kabar mitos dan mistis, berkembang di Gowa dan Makassar.
Jakarta, Lontar.id – Di Makassar, orang-orang akan selalu bangga kalau ia pernah punya wali besar bernama Syekh Yusuf. Baik itu lewat ketaatannya pada Islam, anti kolonial, dan beragam kisah mitosnya.
Lewat sejarah yang terukir, selama menyiarkan Islam dan menjadi wali yang mengajarkan tasawuf, ia tidak pernah lagi kembali ke Makassar.
Dari sinilah awal mulanya, tepat pada tanggal 14 Desember 1683, Syekh Yusuf dan pengikutnya ditangkap Belanda dan kemudian dikirim ke Batavia sebagai tahanan.
Alasannya tak lain karena isu Syekh Yusuf membantu raja Kesultanan Banten, Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683), menghadapi Belanda. Saat itu, perang memang sedang berkecamuk. VOC ingin menguasai Banten dan memecah belahnya.
Konon, pada masa Sultan Ageng Tirtayasa, Sultan Haji yang merupakan anak Sultan Ageng sendiri, disebut bersekutu dengan Belanda untuk dapat merebut tahta ayahnya.
Dalam perang ini, tentara Sultan Haji yang dibantu VOC Belanda kemudian dapat merebut tahta bapaknya. Lambat laun, Sultan Ageng Tirtayasa kemudian ditangkap dan meninggal dalam penjara di Batavia.
Saat peperangan di Banten, Syekh Yusuf berperan aktif bersama santri-santrinya membantu Sultan Ageng Tirtayasa. Sebelumnya, selama tinggal di Banten, Syekh Yusuf diceritakan memperdalam ilmu agama dengan berguru kepada ulama-ulama terkenal di kesultanan Banten.
Di sana, Yusuf menjalin persahabatan yang erat dengan anak-anak Abu al-Ma’ali Ahmad, terutama dengan putra mahkota yakni Abu al-Fath Abdulfattah atau Pangeran Surya.
Pangeran Surya inilah yang pada 1651 naik takhta dengan gelar nama Sultan Ageng Tirtayasa. Muhammad Yusuf alias Syekh Yusuf Al-Makasari nantinya diangkat sebagai mufti kerajaan sekaligus penasihat Tirtayasa.
Selanjutnya, saat ditahan di Batavia. Belanda tampaknya masih mencemaskan pengaruh Yusuf meski pengikutnya sudah dipulangkan ke Sulawesi Selatan. Maka, diputuskan bahwa Syekh Yusuf beserta istri dan anaknya akan diasingkan ke Ceylon (Sailon) atau Sri Lanka.
Baca juga: Imam Lapeo dan Karamahnya
Tak Lagi Bisa ke Makassar
Lama di Sailon, terdengar kabar sampai ke Gowa kalau Syekh Yusuf sedang ditawan. Maka para raja berpikir untuk menebus Syekh Yusuf dan mengembalikan ia ke tanah kelahirannya.
Pada 11 Mei 1689, raja Gowa Sultan Abdul Djalil, Daeng Talele (permaisuri raja Bone, Arung Palakka), dan beberapa bangsawan Kerajaan Gowa, berangkat ke Fort Rotterdam.
Seperti yang ditulis Mukhlis dan Edward Poelinggomang, Batara Gowa, Messianisme Dalam Gerakan Sosial di Tanah Makassar (hl.142). Tujuannya ke sana untuk menemui Ketua Perkumpulan Dagang Hindia Timur atau VOC, Willem Hartsink.
Mereka datang dengan membawa uang sejumlah 2.000 ringgit (rijksdaalder) atau 5.000 gulden (mata uang Belanda). Kedatangan
rombongan raja Gowa tersebut untuk menghadap Ketua VOC dengan maksud untuk menyampaikan permohonan diperkenankan memulangkan kembali Syekh Yusuf.
Willem pun menyanggupi dan akan mengusahakan agar Syekh Yusuf bisa kembali, dengan berkomunikasi lebih intens dengan VOC di Batavia.
Sayangnya, saat Willem sudah meminta pada VOC di Batavia, permintaan itu ditolak karena status Syekh Yusuf yang dikenal sebagai seorang ulama yang sangat gigih menentang VOC. Akibatnya, Syekh Yusuf malah diasingkan lebih jauh lagi yaitu ke Tanjung Harapan, Afrika Selatan, pada tahun 1693.
Tak berselang lama, Syekh Yusuf wafat di Cape Town pada 23 Mei 1699. Atas permintaan Sultan Gowa, Abdul Jalil (1677-1709), jenazah Syekh Yusuf dipulangkan ke Makassar pada 1705.
Kemudian jenazahnya dikebumikan di Kompleks Makam Bangsawan di Lakiung, Kelurahan Katangkangka, Pemakam Ko’bang, yang pernah menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Gowa.
Pada 7 Agustus 1995, Presiden Soeharto atas nama pemerintah RI menetapkan Syekh Yusuf Al-Makasari sebagai Pahlawan Nasional.
Baca juga: Membaca Assikalaibineng, Kitab Persetubuhan Bugis
Asal Usul Syekh Yusuf
Syekh Yusuf, atau yang lebih dikenal dengan nama Tuanta Salamaka (Tuan kita yang selamat dan diberkati), asal-usulnya masih menjadi perdebatan. Konon, Syekh Yusuf itu putra dari Sultan Alauddin dari isterinya, Putri Gallarang Moncongloe.
Tetapi, isterinya itu diceraikannya, dan anak yang lahir dari perkawinan itu diambil dan diasuh dalam istana. Permaisurinya sendiri tidak tahu akan hal itu sebab perkawinan itu sangat dirahasiakan (Mangemba, Lima Tokoh Sulawesi Selatan Bertarung di Pulau Jawa XVII).
Sementara dari sumber lain menyebutkan, kalau pada 3 Juli 1626, orang-orang Makassar meyakini bahwa Syekh Yusuf lahir pada tahun 1626 di Kampung Parang Loe, Tallo.
Ibundanya adalah seorang putri Gallarang Moncong Loe yang diperistrikan oleh seorang lelaki yang tidak diketahui namanya, maupun asal usulnya.
Lelaki itu dianggap maksum dan sakti. Orang Makassar menganggap lelaki itu adalah penjelmaan Nabi Khidir (Mattulada, Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah, hl.124-125).
Baca juga: Kitab Centhini dalam Falsafah Persetubuhan
Puja-puji Syekh Yusuf di Tanah Makassar
Awal mula Syekh Yusuf dipuja-puji, konon berawal dari para pengikut-pengikut Syekh Yusuf yang berasal dari Makassar, yang ikut tertangkap pada waktu pasukan VOC mengejar dan menawan Syekh Yusuf.
Diceritakanlah kalau Syekh Yusuf adalah seorang ulama suci dan sakti yang memiliki pengaruh yang luas, karena menentang VOC dengan sangat gigih, hingga mengakibatkan beliau kemudian diasingkan ke Sailon.
Dalam pemberitaan itulah, muncul kemudian berbagai mitos menyangkut diri beliau yang secara tidak langsung mengesahkan kedudukannya sebagai seorang tokoh suci, sakti, dan penuh kharismatik yang perlu dipuja dan dihormati.
Lama kelamaan, di kalangan rakyat, berkembang cerita bahwa Syekh Yusuf lahir dari seorang putri cantik dengan seorang lelaki tua yang muncul dari seberkas sinar yang terang benderang di suatu tempat. Siapa yang melihat sang ayah itu pasti pingsan.
Putri cantik itu berasal dari Parang Loe. Cerita tentang ayah Syekh Yusuf yang muncul dari seberkas sinar itu akhirnya menumbuhkan anggapan bahwa ia adalah penjelmaan Nabi Khidir. Menurut Mattulada, Cerita itu mirip dengan riwayat tentang kelahiran Ken Arok yang berkembang di Jawa.
Juga diceritakan bahwa sewaktu Syekh Yusuf masih di dalam kandungan, ketika ibunya tidur, badannya melayang sehingga tidak berada di atas kasur.
Selain itu, sinar terang keluar dari pusarnya, seperti ada lentera kaca yang menyinari kelambu besar dan langit-langit di istana raja. Dari dalam perut perempuan itu, terdengar zikir jelas dengan ucapan “Laa Ilaaha Illallah Muhammadur Rasulullah”.
Begitu terus setiap malam, sehingga raja takut mendekatinya. Akhirnya ia diantar ke Tallo, dan dari sana diantar ke Parang Loe. Di sanalah beliau kemudian melahirkan Syekh Yusuf setelah cukup bulannya.
Setelah raja mendengar kelahirannya, maka raja memanggilnya datang ke istana, nanti di istana baru dipotong tali pusarnya (Massiara, Syekh Yusuf Tuanta Salamaka dari Gowa).
Tidak dapat disangkal bahwa cerita-cerita yang bercorak mitos itu mempunyai arti penting untuk mengabsahkan kedudukan dan keunggulan Syekh Yusuf, sehingga penduduk percaya bahwa ia adalah orang suci dan sakti karena itu patut dihormati dan dipuja sepanjang masa.
Sebab sudah menjadi wali dan penyiar agama yang bajik, maka raja Bone menulis “Tajang Pattiroangnge Llao ri Laleng MalempuE”, artinya cahaya yang membimbing ke arah jalan yang benar.
Tulisan ini diselesaikan oleh raja Bone pada tanggal 21 Mei 1788 atau tanggal 15 Sya’ban 1202, dibagi dalam tujuh bab; sebagian besar diambil dari tulisan “Tuan kita Syaikh Al’hajj Yusuf Al’taj Al’ Khalwaty”.
Seperti di Kampung Antang dan Tetebatu, terdapat pemuja-pemuja Tuanta yang jumlahnya relatif kecil jika dibanding di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan.
Jika diperhatikan, umumnya para pemuja pemuja itu, memiliki angan-angan keagamaan yang masih kolot. Cara pemujaan mereka pun masih terdapat unsur-unsur penghormatan Gunung Bawakaraeng, yaitu menurut cara penduduk dahulu kala.
Syekh Yusuf dianggap oleh mereka sebagai orang suci nasional. Berkat naik hajinya ke Mekkah, dapat membebaskan orang-orang Gowa untuk maksud tersebut.
Maka dari cerita inilah, yang dirangkum dari jurnal Syahril Kila, Syekh Yusuf Tuanta Salamaka: Pemujaannya di Tanah Makassar, tertulis kesimpulan kalau para pengikutnya yang menyiarkan tentang nama harum dari Syekh Yusuf pada tahun 1684.
Pengikut-pengikut Syekh Yusuf sangat terkesan dan senantiasa terbenam dalam pengaruh Syekh Yusuf. Karena itu, ketika mereka berada di Makassar, mereka terus memberitakan perihal tentang diri gurunya.
Syekh Yusuf dikisahkan sebagai seorang ulama suci dan seorang yang sakti dan memiliki pengaruh yang luas serta tokoh penentang VOC yang sangat gigih.
Justru ketika beliau berada di pengasingannya di Sailon, muncul gagasan untuk mengembalikan beliau ke tanah kelahirannya untuk dijadikan sebagai tokoh pemersatu di Butta Gowa.
Gagasan itu tidak sempat terealisasikan sebab Pemerintah VOC Belanda di Batavia tidak menyetujuinya. Mereka mencurigai adanya tujuan terselubung di balik permohonan pengembalian itu, untuk mengusir kedudukannya di daerah.
Justru penolakan gagasan itu akhirnya merupakan salah satu sebab munculnya pemujaan beliau di tanah kelahirannya, yaitu Tanah Makassar. Saking rindunya dengan Syekh Yusuf.
Baca juga: Mengenang Kejayaan Armada Laut dari Bima