Diskriminasi dan kebencian terhadap etnis Cina di Indonesia masih ada hingga sekarang. Pandemi COVID-19, yang berawal dari Cina, menjadi pemantik baru untuk menyerang etnis Cina di Indonesia.
Yang terbaru, sentimen negatif muncul di media sosial saat orang-orang ramai memperdebatkan apakah gambar pakaian adat pada uang pecahan baru Rp75.000 adalah pakaian adat Cina.
Penelitian Eunike Mutiara Himawan dari The University of Queensland, Australia, mengenai persepsi warga negara Indonesia terhadap peristiwa kerusuhan Mei 1998 mengindikasikan bahwa prasangka negatif terhadap etnis Cina masih ada hingga sekarang. Prasangka ini yang menyebabkan konflik dengan etnis Cina sangat rentan terjadi pada masa depan.
Artikel ini akan mengelaborasi kenapa prasangka itu begitu kuat mengakar di sebagian pikiran masyarakat Indonesia.
Stereotip “orang luar”
Etnis Cina kerap dianggap sebagai orang asing di Indonesia. Konsep “orang luar” ini disebabkan karena pemahaman sebagian masyarakat terhadap nasionalisme.
Dalam tulisannya, Daniel Chirot, profesor sosiologi asal Amerika Serikat, menelisik lebih jauh jenis nasionalisme Indonesia ini. Chirot menggunakan kategorisasi sosiolog Amerika Serikat Liah Greenfeld yang membagi nasionalisme menjadi dua jenis, yakni nasionalisme etnis dan nasionalisme sipil.
Yang pertama, identitas nasional dibentuk berdasarkan satu etnis tertentu atau ikatan darah satu kelompok. Yang kedua, identitas nasional dihasilkan dari nilai-nilai yang dibagi bersama lintas etnis dan kelompok masyarakat.
Identitas nasional ini turut mengidentifikasi siapa saja yang dapat disebut sebagai warga negara.
Baca juga: Upaya Urban Farming di Tengah Ancaman Defisit Pangan Semasa Pandemi
Menurut Chirot, Indonesia masuk ke dalam kategori yang kedua. Identifikasi warga negara dilakukan dengan menentukan apakah orang tersebut merupakan etnis asli atau bukan. Sayangnya, orang-orang Cina tidak termasuk di dalamnya.
Padahal, orang-orang Cina ini telah masuk ke Indonesia sejak zaman kerajaan di Nusantara . Mereka kemudian berasimilasi dengan penduduk asli dan membentuk komunitas yang sudah ada di sepanjang pantai utara Jawa.
Konstruksi “orang luar” ini menempel pada masyarakat Cina karena golongan ini tidak mempunyai keterikatan wilayah yang melekat pada diri mereka. Seperti etnis Sunda, misalnya, yang identik dengan Jawa Barat.
Selain itu, Chirot menekankan pula bahwa Indonesia merupakan negara yang mengedepankan pandangan komunal dibanding individu. Sikap kebersamaan ini mendorong persaingan kelompok menjadi tajam. Seringkali, keberhasilan ekonomi orang-orang Cina memicu kecemburuan dan kebencian masyarakat lain.
Seorang antropolog dan sejarawan Belanda, Freek Colombijn,mengatakan bahwa kekerasan yang lazim terjadi di Indonesia antara masyarakat asli dengan masyarakat pendatang yang minoritas terjadi akibat adanya konstruksi identitas masyarakat pendatang itu sebagai “orang luar”.
Awal munculnya permusuhan
Jika ditelisik jauh ke belakang, sentimen negatif masyarakat Indonesia kepada orang-orang keturunan Cina telah muncul sejak klasifikasi rasial diberlakukan oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1854 yang mengategorikan orang-orang Cina sebagai Timur Asing.
Namun, boleh dikatakan sentimen ini mulai menjadi ajek sejak awal abad ke-20 bersamaan dengan mulai berkembangnya nasionalisme.
Khusus bagi orang-orang Cina ketika itu, persoalan nasionalisme ini menjadi pelik karena mereka dihadapkan pada tiga pilihan, memilih Cina, Belanda, atau cikal bakal negara baru di Hindia Belanda sebagai tanah airnya kelak.
Pada Juli 1900, elit peranakan Cina Batavia mendirikan Tiong Hoa Hwee Koan (THKK), organisasi nasionalis dengan perhatian serius pada pendidikan dan kebudayaan Cina. Organisasi ini menjadi model pendirian organisasi sejenis di masyarakat kolonial termasuk pendirian Boedi Oetomo, organisasi modern pertama di Hindia Belanda.
Konflik komunal antara warga non-Cina dan Cina terjadi terutama karena kepentingan ekonomi. Ada perlawanan organisasi dagang penduduk lokal yang berusaha memproteksi dirinya dari kegiatan ekonomi Cina yang mulai dominan.
Atas dasar inilah, Rekso Roemekso didirikan oleh H. Samanhudi di Solo. Organisasi ini merupakan tandingan dari Kong Sing, perkumpulan jasa pengamanan orang-orang Cina. Samanhudi pernah menjadi anggota organisasi ini.
Sejak itu, kompetisi keduanya sering mengakibatkan perkelahian jalanan. Keributan ini membuat pihak polisi mempertanyakan status hukum Rekso Roemekso.
Baca juga: Dari Logam Hingga Migas: Ironi Negeri Penghasil Bahan Baku ‘Mutan Avengers’
Ini yang menjadi alasan organisasi ini berubah dari sekadar organisasi yang sifatnya membantu anggotanya menjadi organisasi yang berbadan hukum bernama Sarekat Islam (SI) pada awal 1912.
Pembentukan SI sangat dipengaruhi oleh situasi ekonomi, terutama di bidang perdagangan batik. Samanhudi dan teman-temannya harus menghadapi dominasi Cina dalam distribusi kapas, lilin, pewarna, dan bahan impor lainnya. Persaingan ini memicu kebencian di antara para pengusaha batik Jawa dan Cina.
Boikot dan serangkaian bentuk protes lainnya menandai tahun awal pembentukan SI. Insiden-insiden kecil terjadi di antara pengusaha Cina dan anggota SI yang bukan berasal dari etnis Cina, khususnya di daerah sekitar Batavia, Cirebon, Lasem, Surabaya ke Pasuruan, dan juga Solo.
Peranakan Cina mengingat masa ini sebagai perubahan signifikan hubungan Cina-orang lokal yang semula baik-baik saja menjadi bermusuhan.
Sentimen anti-Cina ini kemudian diendapkan kuat di dalam pikiran masyarakat oleh pemerintahan Orde Baru dengan kebijakan-kebijakan yang mendikriminasi etnis Cina.
Membentuk ulang memori kolektif
Setelah kerusuhan skala nasional pada akhir era Orde Baru pada 1998, tidak ada lagi kerusuhan anti-Cina yang boleh dikatakan besar. Akan tetapi, itu bukan jaminan pasti bahwa kekerasan rasial terhadap etnis Cina tidak akan terulang. Di dalam memori kolektif kita, masih melekat kuat konstruksi “orang luar” itu.
Filsuf dan sosiolog Perancis Maurice Halbwach, mengungkapkan bahwa ingatan kolektif masyarakat dibentuk berdasar kesepakatan sosial. Konstruksi orang Cina sebagai “orang luar” ini melalui proses panjang sejarah telah melekat di dalam memori kolektif masyarakat.
Baca juga: Mengapa Amerika Serikat Menanamkan Demokrasi ‘Secara Paksa’ ke Seluruh Dunia?
Untuk mengubah stereotip tersebut, memori kolektif berupa konstruksi orang luar itu perlu ditata ulang guna menghindari konflik yang berulang antarorang Cina dan warga asli.
Persepsi kita terhadap golongan Cina dapat diubah melalui penulisan kembali sejarah mereka secara proposional dan sesuai konteks. Kontribusi mereka di dalam perjuangan kemerdekaan harus disampaikan secara lugas kepada siswa melalui buku-buku pelajaran sejarah resmi.
Salah satu upayanya adalah kita bisa menuliskan bagaimana peran Laksamana John Lie yang membantu menyelundupkan senjata pada masa revolusi melawan Belanda, empat orang keturunan Cina yang menjadi anggota Badan Persiapan Untuk Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), atau bantuan kecil dari Djiaw Kie Siong yang mengizinkan rumahnya dipakai sebagai tempat Soekarno dan Hatta singgah ketika dibawa para pemuda ke Rengasdengklok, Jawa Barat.
Penulis: Irawan Santoso Suryo Basuki, Junior researcher, Research and Development Agency of Indonesian Education and Culture Ministry
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.