Jakarta, Lontar.id – Sebagian besar orang sudah mengenal Gunung Ciremai sebagai salah satu obyek wisata. Gunung tertinggi di Jawa Barat (Jabar) ini rutin dikunjungi para pendaki dan masyarakat yang hendak liburan. Dengan ketinggian mencapai 3.078 di atas permukaan laut (mdpl), Gunung Ciremai masuk dalam naungan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC). Keindahan alam dari bawah hingga di atas puncak Gunung Ciremai membuat pengunjung betah berlama-lama.
Di bawah kaki Gunung Ciremai, ada satu spot obyek wisata yang sedang naik daun dan tak kalah ramai dikunjungi wisatawan yang datang untuk camping, pramuka, dan kegiatan lainnya. Yaitu Bumi Perkemahan (Buper) Ipukan.
Ipukan sendiri terletak di Desa Cisantana, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, dengan ketinggian 1.200 mdpl. Sudah barang tentu daerah ini hawanya cukup dingin dan sangat sejuk, karena di sekelilingnya ditumbuhi pohon-pohon pinus.
Sebelum Ipukan sebagai area perkemahan mulai dikenal, tahukah kita siapa sosok yang berjasa membuka wilayah ini pertama kali?
Tim Lontar.id berkunjung langsung di Ipukan, mengunjungi sosok di balik perintis awal pembuka jalur utama Ipukan di Gunung Ciremai. Kami lalu berdiskusi panjang dengannya tentang suka-duka hingga ia memiliki kedekatan secara emosional dengan Ciremai dan Buper Ipukan.
Namanya Jawil. Pria berumur 38 tahun, warga Palutungan. Ia mengisahkan, sebelum Ipukan dibuka seperti sekarang, dulunya ia aktif di Balai Taman Nasional Gunung Ciremai Cirebon. Di sana Jawil belajar banyak tentang pelestarian dan perlindungan alam, cara menangani kebakaran hutan dan menjaga satwa liar dan alam agar tetap asri.
Setelah Jawil mengetahui, ternyata Balai TNGC mempunyai banyak program tentang pelestarian alam. Tujuannya pun baik, yaitu membantu melestarikan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan hutan.
Setelah lama berada di sana dan berbekal pengetahuan yang didapatkan, akhirnya Jawil bersama dengan 3 rekannya yang lain, salah satunya ayah Jawil sendiri membuka Buper Ipukan pertama kali pada tahun 2013 lalu.
Ada kebanggaan tersendiri bagi Jawil, saat diizinkan oleh TNGC mengelola Ipukan sebagai salah satu jalur utama pendakian di Gunung Ciremai. Karena Jawil merasa, alam telah memanggil dan memilihnya, ia benar-benar merasa telah menyatu jiwa dan raganya bersama alam. Maka ia memilih untuk berada di tengah-tengah alam dengan merasakan, mendengarkan, dan berkeluh kesah tentang apa saja.
Selain itu, bagi Jawil, Gunung Ciremai merupakan aset jangka panjang, yang perlu dilestarikan dan yang paling penting masyarakat di sekitar kaki Gunung Ciremai merasakan manfaat dari hasil pengelolaannya. Di dalam hutan Ciremai menyimpan banyak harta kekayaan yang tidak tertandingi harganya, mulai dari satwa endemik dan satwa liar, air terjun (curug) dan banyak kekayaan lainnya yang terkandung di dalam tanah.
“Tahun 2013 saya dipersiapkan buka tempat ini, saya ngerasa bangga. Kalau diibaratkan, saya dikasih 1 gudang emas. Nih gudang milik kamu, saya dipersilahkan ngebuka tanpa kunci (peralatan) dan membuka gembok. Akhirnya untuk ngebuka pintu (Ciremai) saya banyak belajar. Jadi intinya saya ngebuka alam ini tanpa kunci itulah Ciremai tempat belajar,” kata Jawil pada Lontar.id, Jumat (15/3/2019) lalu.
Cara Jawil Berkomunikasi ke Alam
Tahun-tahun pertama setelah Ipukan di kaki Gunung Ciremai dibuka, Jawil mengaku tak mengetahui apa yang harus dilakukan bersama dengan tiga rekannya. Ia mulai belajar sedikit demi sedikit mencintai alam, melestarikan hingga menjaga alam. Dengan begitu Jawil merasa sedang belajar satu ilmu yang tidak dipelajari dimanapun, yaitu ilmu keikhlasan.
Pernah dalam suatu waktu, Jawil mengaku belajar berkomunikasi dengan alam. Di sana ia menyampaikan keluhannya pada pepohonan, pada batu, air, dan semua yang tumbuh di alam. Ia teriak sekuat tenaga menangis dan meraung sejadi-jadinya. Kejadian seperti ini bukan cuma sekali yang dialami Jawil, namun berkali-kali dan sesering mungkin ia lakukan.
Setelah lama, baru ia menyadari ternyata alam mendengar teriakannya,di situlah Jawil mulai mengerti bahwa ia harus belajar dan belajar tanpa henti mengenal dan menyatu dengan alam.
“Karena saya bicara dengan alam, pohon dan lembah, saya teriak sekencang-kencangnya, waktu saya ngomong dan teriak ternyata beliau (Ciremai) mendengar. Cuman, alam bisa memperhatikan beliau hidup. Di situ jawabanya terasa banget, ketika saya harus meraung di alam menjerit, di situ ternyata butuh pembelajaran,” katanya.
Setelah lama berada di hutan Ciremai, Jawil masih bingung harus melakukan apa. Namun terlintas dalam pikirannya ketika ia melihat banyak sampah berserakan dan ditumbuhi semak belukar. Tanpa ada orang yang menyuruh dan muncul dari dalam dirinya, bahwa ia harus melakukan sesuatu dengan memungut sampah dan membersihkannya.
Setelah itu ia mulai membersihkan sampah yang ada di sekitarnya dan membersihkan semak belukar di lembah curug hingga ahirnya bersih. Jawil melakukannya dengan keyakinan, jika kita mencintai dan menjaga alam maka alam akan membalasnya lebih dari yang diharapkan.
“Saya tanpa ada yang menyuruh, saya melihat sampah dan membersihkannya dan turun ke lembah curug di sana saya bersihkan semua,” ujarnya.
Jawil mengaku punya cara berkomunikasi dengan alam, hal itu biasanya dia lakukan di Lembah Curug Putri Palutungan Ipukan. Menurut dia, lembah Curug Putri mendengarkan setiap yang dia bicarakan. Oleh karena itu, ia tak perlu lagi mengajak berkomunikasi langsung dengan Gunung Ciremai, melainkan melalui Curug Putri.
Menurut Jawil, mungkin saat itu sebagian orang beranggapan bahwa dirinya telah gila. Dan dia tak malu disebut gila karena bicara sendiri tanpa ada yang mendengarkannya kecuali alam sekitar yang sepi dan dingin. Kata dia, mungkin saja anggapan orang itu benar bahwa dia sedang gila. Namun ia tak peduli yang dikatakan orang meski harus menyandang predikat kata tersebut. Karena perilaku gilanya itu telah berjasa membuka Gunung Ciremai dan akhirnya Ipukan menjadi salah satu destinasi wisata yang sering dikunjungi.
“Mungkin orang bilang saya gila, iya memang benar saya sudah gila, berbicara dengan alam tanpa ada orang yang mendengarkan,” ujar Jawil.
Ikhlas Berujung Rezeki
Di tahun 2013 hingga 2015, kala Ipukan belum banyak orang yang datang berkunjung, kecuali hanya beberapa orang yang datang untuk menikmati keindahan alam. Di masa itu, dirinya sudah merasa telah menyatu dengan alam, meskipun ia sedang berada di rumahnya di bawah kaki Gunung Ciremai, tetapi batinnya selalu bergejolak dan harus datang ke Ipukan meskipun sebentar.
Kejadian seperti itu sudah lama dirasakannya, baik saat ia tidak mempunyai uang untuk sekadar beli rokok, beras ataupun banyak masalah di rumah, Jawil tetap harus berangkat ke Ipukan.
Saat ia berada di Ipukan, waktu itu ada sekitar 5 orang yang berpakain rapi mendatangi Ipukan. Ternyata mereka pegawai salah satu bank swasta, mereka minta Jawil untuk diantar mengelilingi Ipukan hingga mengunjungi Curug Cisaruan. Dari sana Jawil diberi tip sebesar Rp70 ribu usai mengantar tamu.
Setelah mengantar pegawai dari bank itu, Jawil hendak turun dan melihat dua orang yang sedang duduk di Ipukan. Lalu ia diminta untuk mengantar keliling Ipukan. Bukan saja tip yang dikasih dua orang tersebut, malahan Jawil ditawarkan untuk menggunakan kendaraannya untuk pulang ke rumah, sebab Jawil setiap harinya hanya berjalan kaki saat datang ke Ipukan.
Mulai dari situ, Jawil merasa sudah mulai berhasil membuka Ipukan dan rezeki terus berdatangan. Menurutnya itulah jawaban atas semua hasil jerih payahnya selama ini. Karena Ikhlas dalam berbuat.
“Saat itu saya bertemu pegawai dari bank swasta, mereka minta saya diantar keliling mengunjungi Curug Cisaruan. Dari situ saya dikasih uang. Setelah itu ada dua orang lagi yang berkunjung dan meminta saya ngantar lagi, dia baik banget saya dikasih uang dan dipinjamkan sepeda motor untuk pulang ke rumah,” kata Jawil.
Setiap hari ia tetap berada di Ipukan meski tidak seorangpun yang datang berkunjung. Ipukan baginya seperti rumah atau dalam istilah Jawil ibarat tanah suci bagi dirinya. Di saat sedang tidur ia merasakan alam memanggilnya dan bangun dari tidur saat ada orang yang datang tanpa ada seorang pun yang membangunkannya.
“Alam memangil saya, meski saya nyeyak tidur dan nggak dibangunin sama orang. Saya, kalau dibangunkan alam, saya tiba-tiba bangun, harus bagun jam sekian, sayapun bangun dengan sendiri,” ujarnya.
Pernah suatu kali pada tahun 2017 lalu, Jawil diundang untuk menghadiri acara di Kaliurang selama seminggu. Saat itu Jawil selesai packing semua barang bawaan, namun dalam hatinya tak kuasa untuk berada jauh dari Ipukan. Lalu ia berpikir untuk membatalkan saja keberangkatanya, karena ia tak ingin berada jauh dari Ipukan.
Yang paling menyedihkan bagi Jawil bukan karena meninggalkan anak istri di rumah, tetapi pergi meninggalkan Ipukan meski satu hari apalagi satu minggu, semuanya terasa berat.
Ia harus meneteskan air mata hanya karena meninggalkan Ipukan selama seminggu, akhirnya tanpa ada orang yang mengetahui. Jawil diam-diam pergi ke ipukan meminta izin dengan air mata yang berjatuhan dan jiwa tergoncang.
“Saya dan alam itu sudah sejiwa, saya harus meneteskan air mata saat permisi. Padahal ini alam, kalau saya berkata seperti ini dianggap gila, ya saya gila dikatakan ini bohong monggo, ini yang saya rasakan,” katanya.
Saat orang mulai berdatangan, Jawil pun mulai membangun jalan menuju Ipukan. Meski harus bekerja sendiri menggarap tanah dan membersihkannya. Ia teringat dengan salah seorang gila yang datang menemui dirinya saat itu.
Jawil lalu memberikan rokok dan makanan. Lalu orang gila tersebut membantu dirinya mengerjakan jalan dan mengangkut sampah.
“Ada orang gila datang saat itu, saya kasih rokok dan nasi dan ia membantu saya mengerjakan jalan,” ujarnya.
Jawil berpikir, kenapa orang gila saja mau membantu, sedangkan orang-orang di kampungnya tidak. Saat itulah Jawil merasa diberikan petunjuk untuk memaksimalkan niatnya mengembangkan Ipukan sebagai obyek wisata.
Penulis: Ruslan