Cerita misteri di Indonesia masih banyak yang tersembunyi dan belum diangkat. Terlebih lagi negara Indonesia dengan ribuan pulau, masing-masing punya cerita sendiri.
Misteri di suatu daerah, berasal dari cerita-cerita mitos yang muncul di kalangan masyarakat, kadang dari cerita orang yang satu dengan yang lain, memiliki versi yang lain.
Meski demikian, tetap menarik untuk diulik kembali, sehingga cerita masyarakat tak hilang begitu saja, seiring perkembangan zaman yang menganggap hal misteri sebagai suatu yang tak lagi lazim.
Sebagai sebuah cerita, apatah lagi soal misteri, bisa dipercaya dan bisa juga tidak. Karena belum mampu dijelaskan secara ilmiah melalui penelitian, namun tetap saja ada di tengah-tengah masyarakat.
*
Pada medio 1990-an, di sebuah desa tempat aku tinggal, tepatnya di atas pegunungan bagian Selatan Kabupaten Bima. Nama desa yang saya tinggal adalah Parado, seringkali dikait-kaitkan dengan ‘paradise’ atau surga.
Nama Paradise, terpampang jelas di papan tugu selamat datang saat memasuki wilayah ini. Tepatnya, di sebuah DAM Pela Parado, di perbatasan Desa Pela dengan Parado. Namun karena amukan warga kampung sebelah yang marah, papan tersebut kini telah dirobohkan, entah apa yang salah dengan papan itu.
Masih pada 1990-an, pegunungan ditumbuhi dengan pepohonan yang lebat sepanjang jauh mata memandang. Gunung ditumbuhi pohon kemiri, salah satu mata pencaharian warga mengais rezeki. Ada pula pohon mahoni, sonokli, jati, dan pohon lainnya.
Udara malam yang dingin, memaksa warga mengenakan jaket tebal dan membuat gugusan api di pinggir jalan, sejenak untuk mengusir rasa dingin merasuk ke dalam tulang. Pada pagi hari, perkampungan diselelimuti gumpalan-gumpalan awan, seperti sebuah negeri dongeng.
Di desa, aku sering sekali pergi menonton televisi hitam putih di ujung desa, dekat pembangkit tenaga listrik. Itu adalah satu-satunya tv yang ada saat itu, salah satu siaran favoritku ‘si buta dari gua hantu’. Menampilkan seorang pria buta dengan tongkat dan monyet di pundaknya, mengenakan baju hijau dari jahitan yang aneh.
Suasana desa waktu itu, begitu dingin dan berkabut jika malam hari. Lampu penerangan jalan belum banyak dipasang depan halaman rumah. Praktis, keadaan desa cukup gelap mengundang bulu kuduk berdiri. Aku sering menggunakan alat penerangan buatan (obor) dari batang pohon bambu, kemudian diisi dengan minyak tanah dan di bagian atasnya aku masukkan sabuk kelapa agar bisa menyerap minyak dari dalam.
Obor juga seringkali digunakan warga saat hendak berangkat ke sawah (Karobo dan Dafa) di balik gunung perkampungan, juga kadang dipakai kala mereka pergi ke ladang di atas gunung di belakang perkampungan. Kisah para pemburu pun juga demikian, mereka menggunakan obor saat memasuki jantung hutan, mencari hewan perburuan.
Di sana, kisah mistik yang turun temurun dari cerita warga, jadi bagian yang tak terpisahkan dengan kehidupan masyarakat.
Pada masa itu, aku bersama dengan teman-teman terus ditakuti oleh sesosok lelaki berpostur besar nan tinggi, badannya kekar, siap menerkam dan menculik. Sosok itu dikenal dengan nama ‘Pak Dasi’, nama Pak Dasi begitu familiar di telinga. Saat hanya mendengar namanya saja, aku sudah dibuat ketakutan setengah mati dan tidak akan berani turun dari rumah saat malam hari.
Sosok Pak Dasi sulit dijelaskan, aku percaya dia adalah tokoh antagonis yang dikabarkan menculik anak yang nakal di kampung-kampung, sekaligus dia hadir sebagai sosok imajiner ‘hantu’.
Pada suatu malam, kami berencana pergi menonton siaran televisi bersama. Perkampungan yang diselimuti kabut dan masih gelap, menambah suasana mencekam, memaksa kami merinding. Malam itu, pada anak seusiaku, beredar informasi akan muncul Pa Dasi, sosok misteri yang menakutkan. Aku urungkan niat keluar rumah, meski sudah janjian dengan anak-anak yang lain untuk pergi nonton bareng.
Kabar Pak Dasi mengambil anak-anak kecil kian santer di kampung, bahkan orang tua kami, memanfaatkan nama pak Dasi untuk menakut-nakuti agar tidak nakal, tidak keluar rumah dan jadi anak yang penurut.
Selain Pak Dasi, kisah tentang hantu pun tak pernah surut. Di kampung, kami percaya ada sosok makhluk gaib yang jahat. Dia tinggal di pohon-pohon besar, batu besar dan di hutan belantara. Setiap ada pohon besar, selalu dipercayai ada makhluk penunggu, di tempat tersebut tidak boleh dijadikan sebagai tempat untuk kencing atau dilewati seorang diri, jika tak ingin kerasukan.
Sosok gaib ini, kami kenal dengan nama ‘Ambi Ara’. Dia diilustrasikan sebagai hantu jahat yang mengambil dan memakan manusia. Entah dari mana nama itu diambil, meskipun demikian, belum ada satupun penduduk yang diambil oleh Ambi Ara sebagaimana cerita-cerita yang berkembang.
Ambi Ara dipercaya sebagai jelmaan dari seorang hantu perempuan, mengenakan baju warna putih, rambut terurai panjang, memiliki wajah yang menyeramkan dan jika pergi kemana-mana dia selalu terbang.
Selain itu, kami juga mengenal nama ‘Parafu’ yang punya kemampuan gaib untuk mencelakakan sekaligus menyembuhkan orang. Biasanya makhluk ini, sebagai penunggu di sumber air, batu, dan pohon. Di lokasi pertanian, ada sebuah tempat yang kami kenal dengan ‘Oi Lanco Langaro’ sebuah tempat pemandian air gunung kemudian digunakan bila bambu untuk dialiri.
Dulu, masyarakat masih percaya dengan khasiat tempat ini. Maka tak jarang, penduduk mendatangi tempat ini, membawa hewan yang sudah disembeli untuk dimakan bersama. Konon, khasiatnya dapat melancarkan rezeki, mengusir penyakit dan meminta banyak hal.
Penulis: Ruslan
*Bagi teman-teman yang punya cerita misteri di daerahnya, bisa mengirimkan tulisan di redaksi kami lewat [email protected]. Ini sebagai upaya menghidupkan kembali cerita masa lampau, sehingga generasi saat ini dapat mengambil pelajaran.