Sepeninggal Torro Margens, yang saya ingat adalah iklan-iklan yang dibintanginya, uka-uka, dan film India yang digemari semasa kecil.
Film yang kerap kali dicibir goyangannya itu, membuat nama Torro menjadi seniman teater. Ia tertarik setelah menirukan gerak akting aktor India.
India. Negara miskin di bawah Indonesia itu, ternyata dalam banyak hal, mampu mengubah kita. Budayanya, membuat Torro dikenal, serta mengilhami para begawan dangdut.
Sulit untuk menolak pakem budaya itu dalam membentuk perilaku warga Indonesia. Tak ada Torro dan dangdut jika tak ada lagu India dan filmnya.
Lantas, kenapa kian hari, dangdut dan asalnya itu kian dicibiri? Omong-omong saya punya cerita soal dangdut. Barangkali boleh disimak.
Dulu, belasan tahun yang lalu, saya sering melihat gardu-gardu dari seng dan papan di pinggir jalan tampak kokoh. Di dalamnya, satu hingga dua orang bisa tertidur pulas.
Saya sering berkunjung ke tempat itu. Bentuknya sama: paling banyak menjadi tempat jualan rokok, kopi, dan lainnya.
Di luar ada resbang tua, tempat pengunjung bisa duduk nongkrong, berbaring, atau sekadar duduk menunggu seseorang. Saya pernah duduk lama di sana.
Duduk sendiri memang menyenangkan. Saya bisa memesan rokok dari dalam gardu, yang pedagangnya dulu adalah seorang kakek bersongkok hitam yang rambutnya sudah memutih. Menggantung sarung di lehernya.
Kami bercerita pendek saja. Saya bilang sudah banyak yang berubah. Iya mengangguk pelan. Lagu dangdut mengalun dari dalam lewat radio. Suara Meggy Z terdengar dan berganti ke penyanyi lain.
Syahdu sekali malam itu. Duduk sendiri, melihat kendaraan lalu lalang, mengisap rokok dengan khidmat, mendengar lagu dangdut.
Perlahan-lahan orang meninggalkan gardunya. Kakek itu bilang pemasukannya terus merosot. “Sudah terlalu banyak warung yang lebih baik,” bebernya. Waktu itu memang mulai menjamur retail modern.
Untuk apa kau hidangkan aku cinta yang kalut? Sementara tanganmu, telah engkau berikan, pada yang lain…
Senyum Membawa Luka terdengar begitu lembut. Dingin sekali cuacanya. Saya pamit. Kakek itu mengiyakan, dan tersenyum. Setidaknya cuma itu perbincangan yang saya ingat. Seluruh pembicaraan tidak bisa saya rekam semua dalam memori kepala.
Tempatnya masih saya ingat: di ujung jalan Racing Centre, Makassar, di depan rumah dinas PLN, samping pos satpam. Tak jauh dari sana, ada kantor PDIP yang muram, yang barangkali sudah jarang dimasuki.
Begitu ingatan saya tentang dangdut. Saya suka dangdut. Saya beruntung tak melepaskan ingatan yang baru saja saya ceritakan itu.
Dangdut membuat saya sering tertawa sendiri. Sering menyelami liriknya yang lebih banyak puitis. Liris. Beda jauh dengan dangdut sekarang. Liriknya aneh dan terdengar ringan.
Dangdut dan lagu India memang tak bisa saya lepaskan secara bersama. Nilainya sama. Mereka punya hal yang bisa membuat saya lebih baik dan waras dalam mengingat hal-hal yang terlampau jauh dilewati.
Seperti Torro, saya menjadi tukang mengenang yang baik, pendengar yang baik pula secara berturut. Selain seorang kakek di sebuah gardu. Ada duo penyanyi yang mungkin bisa saya rekomendasikan.
Namanya Natinson. Ia merangkum semua ingatan saya dalam albumnya. Berhitung musisi, memang ada banyak, tetapi cuma Natinson yang cocok dalam tulisan ini.
Liga Dangdut dan Bollywood Holic menjadi lagu yang menarik. Ia menyadarkan saya, kalau masa lalu tak bisa direngkuh, ia berubah bentuk menjadi yang lain; kecuali dengan lagu, tulisan, ia hanya bisa dikenang saja. Setidaknya bagi saya.