Lontar.id – Pengibaran bendera Bintang Kejora oleh sekelompok mahasiswa dan pemuda di depan Istana Merdeka, tak mendapatkan respons dan tindakan represif dari pihak keamanan.
Padahal sudah jelas, bendera Bintang Kejora dilarang berkibar di mana pun selama itu berada pada wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tak boleh ada negara dalam negara.
Anehnya, mengapa tak ada represi yang didapatkan mereka? Apakah Jokowi dan struktur pemerintahan dan keamanannya, sudah berdamai dengan simbol, makanya mereka bergeming di depan Istana Merdeka?
Kemajuan saya kira. Saya mendoakan pemerintah dan negara ini melawan ide dengan ide. Bukan ide dan otot. Sebab jika begitu, kita semua tahu, siapa yang akan menang, bukan? Tak ada penyiksaan yang indah, atas nama apa pun.
Tapi… Dengan mengibarkan bendera Bintang Kejora depan istana, jujur, perasaan saya agak ganjil. Negara tidak boleh bersikap lunak pada siapa pun, termasuk pada warga yang mengaku perwakilan dari Papua lalu mengibarkan bendera separatis di depan simbol negara.
Bendera yang dikibarkan itu digunakan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM). Tujuannya jelas, ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan mendorong referendum.
Percabangan perasaan itu terus mengusik saya. Di sisi lain, tak boleh ada represi. Selain itu, negara juga tak boleh dikangkangi oleh segelintir orang. Ia harus dihormati. Harus berbaik hati dengan keras dan tegas.
Omong-omong, kenapa bendera itu bebas berkibar, sementara tiang bendera Indonesia di asrama mahasiswa Papua di Surabaya, harus menjadi awal dari keributan dan kemarahan mayoritas orang Papua?
Sudah tahu kan mengapa orang-orang di Papua sana, ada yang memilih ribut dan marah? Jelas sekali, mahasiswa asal Papua di Surabaya, berujung diteror oleh satuan bersenjata dan kelompok paramiliter dengan alasan yang tidak jelas.
Bagaimana mereka tidak marah. Pelajar dari Papua diberondol dengan tembakan gas air mata dan rumahnya diserbu. Belakangan, mereka dipaksa masuk ke kantor polisi. Mengapa negara sekeras itu–atawa mengapa alat negara jadi lembek di depan istana kemarin?
Apa Jokowi sudah khilaf, setelah ia, dalam ruang yang sepi, duduk terdiam dan belajar untuk menghargai dan mendekati mereka yang ingin menumpahkan uneg-unegnya secara persuasif–selama tidak mengancam negara.
Inti pikiran saya adalah, saya tidak ingin membenarkan tindakan aparat keamanan dan ormas saat menangani perusakan tiang bendera di asrama mahasiswa Papua. Itu berlebihan, meski aparat selalu punya dalih (mungkin saja), “Itu sudah SOP.”
Jika Jokowi dan pemerintah yang dibawahinya memang sudah melempem dengan simbol. Saya takutkan, mereka akan menghadapi masalah besar. Bendera terlarang bisa saja berkibar depan istana dengan gagahnya.
Bendera apa itu? Bendera komunis dan Hizbut Tahrir. Lalu jika mereka direpresi, maka akan timbul sentimen horizontal baru. “Kok bisa mereka kibarkan bendera terlarang, sementara kita tidak?” atawa “Mereka anak emas, tidak dihantam aparat dan dibiarkan begitu saja. Kita dianaktirikan.”
Pemilik ideologi yang berbeda-beda itu bak anak-anak yang tukang cemburu, yang merasa orangtuanya lebih menyayangi anak oranglain dari anaknya sendiri. Mereka akan kecewa atau paling parah, lari dari rumah dan seterusnya.
Jika mengibarkan bendera Bintang Kejora itu dianggap makar. Tentunya mahasiswa itu bersih dari tuduhan. Melongok KBBI, makar diartikan perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah yang sah.
Lalu ke mana arah kebijakan pimpinan negara? Apakah siap dengan konsekuensi jika mereka khilaf dan berdamai dengan masa lalu? Atau mau menghantam demonstran yang membawa bendera terlarang dan berbau separatis (selanjutnya)? Sekarang, jiwa kepemimpinan Jokowi justru sedang diuji.
Editor: Almaliki