Legenda dan cerita rakyat menjadi bagian dari bumbu sejarah pada beberapa wilayah di tanah air. Tak terkecuali di Bima. Sebuah daerah otonom di provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).
Dahulu kehidupan masyarakat di Bima sudah tentram, aman dan berkecukupan. Mereka hidup dari hasil bercocok tanam di sawah dan di ladang. Menjadi nelayan juga telah menjadi profesi bagi masyarakat yang tinggal di daerah pesisir.
Corak kehidupan keseharian juga dipengaruhi oleh ajaran Hindu dan Budha. Akan tetapi belum ada literatur yang menegaskan kapan kedua ajaran itu menjadi agama masyarakat Bima. Yang jelas Hindu dan Budha telah lebih dahulu menjadi paham atau kepercayaan di Bima sebelum Islam.
Bima sendiri kini menjadi salah satu daerah otonom di Nusa Tenggara Barat (NTB). Bima juga menjadi wilayah yang dihuni oleh masyarakat Mbojo yang tinggal di pegunungan dan pesisir pantai. Nama Bima sendiri dipercayai dari seorang putra kerajaan Jawa. Konon, ia berlayar dari Jawa hingga berlabuh di Pulau Satonda. Sayangnya jejak sejarh asal usul Bima tidak banyak ditemukan dalam bentuk manuskrip atau tulisan. Karena masyarakat Bima mengenal sejarah Bima berdasarkan pada hasil cerita (Mpama) yang dituturkan secara terus menerus oleh nenek moyang dan diwariskan kepada orang tua. Dari cerita tersebut sebagian besar dari sejarahwan Bima menyakini kisah itu sebagai sejarah Bima yang asli.
Dari kisah bertutur diungkapkan, cikal bakal lahirnya Kerajaan Bima berawal dari Maharaja Pandu Dewata yang mempunyai lima orang putra yaitu: 1). Darmawangsa; 2). Sang Bima; 3). Sang Arjuna; 4). Sang Kuta; dan 5). Sang Dewa. Salah satu dari kelima putra raja tersebut berlayar ke arah timur dan mendarat tepat disebuah pulau yang diberi nama Pulau Satonda.
Dari cerita (Mpama) yang saya dapatkan sewaktu kecil, diceritakan oleh seorang guru. Setelah Sang Bima sampai di Pulau Satonda di tengah perjalanan, tepatnya pada sungai Sang Bima bertemu dengan Putri Ular penunggu sungai. Pertemuan itu membuat Sang Bima dan Putri Ular jatuh cinta dan akhirnya mereka menikah. Hasil pernikahan itu mereka dikaruniai keturunan dari jenis bangsa jin. Garis keturunan itu dikuatkan oleh beberapa catatan nama-nama keturunan Sang Bima dari Jin yang ada di Asi (tempat kediaman raja sekarang sudah dialih fungsikan menjadi Museum).
Selain Sang Bima bertemu dengan Putri Ular di Satonda, di sana terdapat sebuah pohon besar nan rindang dengan cabang-cabangnya yang banyak, namun pohon tersebut tidak memiliki daun. Konon masyarakat setempat memberikan nama pohon dengan sebutan Pohon Batu. Disebabkan hanya terdapat gantungan batu yang dililitkan lalu diikat di cabang dan ranting pohon. Masyarakat mempercayai bahwa batu tersebut sebagai sebuah simbol pengharapan kepada yang gaib bahwa semua permintaannya akan dikabulkan.
Bima terdiri dari beberapa wilayah kecil, lalu dipimpin oleh seorang bergelar Ncuhi. Secara garis besar bahwa di Bima terdapat beberapa Ncuhi yang masing-masing membagi wilayahnya ke dalam lima teritori antara lain; pertama Ncuhi Dara yang memiliki wilayah kekuasaan di bagian Tengah Bima (Mbojo), kedua; Ncuhi Parewa yang berkuasa penuh pada wilayah Bima bagian selatan, ketiga Ncuhi Padolo yang memegang kekuasaan pada Wilayah Bagian Barat, empat Ncuhi Banggapupa yang memiliki otoritas kekuasaan pada Wilayah Bima bagian Utara dan kelima; Ncuhi Dorowani yang memegang tampuk kekuasaan pada wilayah Bima bagian Timur.
Struktur kekuasaan para Ncuhi masih sangat sederhana bila dibandingkan dengan struktur kekuasaan di era modern. Sehingga para Ncuhi punya otoritas kekuasaan yang cukup besar atas kemaslahatan rakyatnya, mereka punya peran besar terhadap aturan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan masyarakat. Walau wilayah Bima terbagi kedalam lima bagian, kehidupan meraka aman, damai, tidak ada perselisihan. Segala macam keputusan melibatkan semua Ncuhi, maka akan diadakan musyawarah mufakat untuk menyelesaikan proses secara bersama. Yang bertindak sebagai pemimpin rapat yaitu Ncuhi Dara, sebab ncuhi dara merupakan pusat Bima yang berada pusat.
Setelah Sang Bima Putra Maharaja Pandu Dewata datang ke Bima, dia mampu menyatukan kelima Ncuhi menjadi satu kerajaan besar yang disebut sebagai Kerajaan Bima. Mulai saat itulah tanah bima (dana Mbojo) disebut sebagai sebutan ”BIMA” yang berasal dari nama sang bima sebagai raja pertama, kemudian diberi gelar sebagai Sangaji Mbojo.
Lalu dari mana nama “Mbojo” di temukan atau sejak kapan nama ini dipakai oleh masyarakat Bima? Adakah kemungkinan Nama Mbojo lebih dahulu ada ketika nama Bima resmi menjadi nama kerajaan?
Adapun kitab Bo’ Sangaji Kai berupa catatan harian yang ditulis oleh Bumi Luma Rasanae sepanjang periode 1765-1790. Yakni pada masa awal pemerintahan Sultan Abdul Hamid Muhammad Syah. Catatan harian tersebut tidak menceritakan sejarah Bima melainkan cerita tentang peristiwa, kisah, fakta yang terjadi pada masa kekuasaan Sultan Abdul Hamid.
Syarifuddin Jurdi penulis buku (Islam Masyarakat Madani dan Demokrasi di Bima:Membangun Demokrasi Kultural yang Berbasis Religius), menjelaskan bahwa kata Mbojo mengandung makna-makna teologis keagamaan dan kultural. Mbojo mengandung makna teologi, karena kata Mbojo sering dikaitkan dengan Babuju yang berorientasi tinggi. Dalam terminologi agama yang tinggi merupakan orientasi religius, bahkan dalam soal lain istilah Babuju, Kabuju dan Kandase merupakan istilah religious tentu sebuah interpretasi atas makna-makna filosofis yang terkandung dalam agama. Istilah Mbojo menurutnya terdapat pesan agama didalamnya, entahlah apakah pesan agama Islam, Hindu atau Budha.
Saya berpendapat nama Mbojo jauh sebelum Islam datang ke Bima yang disebar luaskan oleh para datuk dari kerajaan Gowa, Tallo Dan Luwu. Setelah kerajaan Bima resmi memeluk Islam sebagai agama kerajaan, maka bentuk kerajaan pun berubah menjadi kesultanan. Mbojo diambil dari kata Babuju. Babuju merupakan istilah yang menggambarkan hasil panen masyarakat yang melimpah.
Kata Babuju diambil dari nama tempat yang ada di Kota Bima sekarang tepatnya di pasar tradisional Kampung Sumbawa. Di sana terdapat ruas tanah yang datar namun di tengahnya memiliki benjolan tanah yang membentuk semacam bukit kecil. Disinilah kata Babuju diambil lalu diasosiasikan dengan berlimpahnya hasil panen masyarakat setiap tahun. Dari situ muncul Motto Bima “Ngaha Aina Ngoho” arti bebasnya makan dan jangan tebang kayu di hutan “semacam membakar hutang untuk keperluan tanam padi, kedelai, kacang dan sebagainya. Dan selanjutnya muncul pula motto Bima lainnya yang menjadi panduan hidup masyarakat dimanapun ia berada. Yaitu Maja Labo Dahu (malu dan takut).
Ada yang menarik menurut hemat saya, beberapa nama Bima yang diyakini datangnya dari Sang Bima, sehingga Bima menjadi nama daerah. Sebagian kecil masyarakat Bima percaya bahwa asal muasal nama Bima bukan dari nama Sang Bima, melainkan diambil dari Alquran yaitu Bismillah. Kemudian ditafsirkan secara sederhana sebagai sesuatu yang mencerminkan nilai-nilai kebudayaan Islam, adat istiadat yang dipengaruhi oleh nilai-nilai Islam. Setelah Islam masuk di Bima dan menjadi agama mayoritas muncul berbagai aliran atau sekte dalam masyarakat seperti aliran tasawuf dll. Memang terbilang masih sedikit orang yang mengaitkan kata Bismillahirrahmanirrahim dengan sebutan nama Bima.
Penulis: Ruslan