Lontar.id– Sebuah tanda melingkar di kalender elektronik smartphone saya. Tanggal 6 Agustus rupanya menjadi hari penting yang kemudian mengingatkan sudah dua tahun saya tinggal di Jakarta. Itu berarti, saat tulisan ini diposting, saya telah 2 tahun 2 bulan 1 hari di Jakarta. Wah, sebuah angka yang penting diapresiasi, setidaknya untuk diri saya sendiri.
Jakarta merupakan lambang modernitas. Membayangkan Jakarta dahulu kala berarti membayangkan sebuah kemajuan. Sejak SMP, saya selalu kagum dengan siapapun yang berangkat ke Jakarta, entah dengan alasan apapun mereka berangkat. Jakarta adalah berlian yang saat itu tidak mungkin saya miliki.
Potret Jakarta bagi anak kampung seperti saya hadir melalui layar televisi. Pada masa itu, televisi adalah barang yang hampir dimiliki setiap rumah. Warga tak henti-hentinya mendapatkan informasi dari Jakarta. Menonton para selebriti yang kerapkali menjadi idola kami. Intinya, jika ke Jakarta, kita akan lekas bertemu artis idola.
Menginjak angka dewasa, pandangan saya tentang Jakarta perlahan berubah. Jakarta bukan lagi berlian yang berkilauan, namun berlian yang semakin redup. Banjir, tindak kriminal, polusi, serta kepadatan manusia dan kendaraan akhirnya menjadi momok yang menjadikan saya enggan ber-Jakarta lagi. Barangkali juga, saat itu saya telah lulus SMA dan mulai tinggal di Makassar. Tentu saja, potret kota paling tidak telah terwakili oleh Makassar sehingga saya tak begitu terobsesi dengan Ibu Kota lagi.
Selain itu, hidup di Makassar dan merasakan sesaknya ruang kota membuat saya semakin muak. Sungguh, ruang kota begitu berisik.
Akhirnya, semakin lama, semakin saya mampu melupakan Jakarta. Meminjam bahasa anak jaman now, saya sudah tak bucin lagi dengan Jakarta. Tapi takdir tak pernah meminta kita memilih. Tahun 2017, akhirnya saya resmi tinggal di Jakarta.
Sejujurnya, saya tidak cinta-cinta amat dengan Jakarta. Juga tidak benci-benci amat. Berimbang. Meski demikian, saya memiliki beberapa catatan penting versi saya sendiri selama dua tahun merasakan hiruk-pikuk Ibu Kota Indonesia.
Sebagai orang laut (baca: orang yang tingga di daerah laut), identitas saya dibentuk dari masyarakat komunal. Kami terlatih terbuka dan bekerja sama. Kami ramah dan menerima siapapun pelayar (baca: pendatang) yang berkunjung di kampung kami. Akhirnya, tanpa saya sadari, nilai-nilai itu terus melekat dalam diri hingga ke manapun kaki berpijak termasuk saat berada di Jakarta.
Meski demikian, Jakarta ternyata bukanlah ruang yang terbuka. Di sini, manusia sepanjang hari berada dalam gedung-gedung, kereta, dan kendaraan. Bercakap dan berkumpul adalah sesuatu yang tabu. Di gerbong di dalam kereta, di jalan, ataupun di tempat makan, kita akan jarang menemui orang yang ngobrol.
Awalnya, saya kaget dengan kultur yang demikian. Suatu kali, saya pernah meminta tolong kepada teman kuliah. Teman saya tidak menolak permintaan tolong saya saat itu, namun yang saya herankan ia justru bercerita kepada orang lain bahwa sikap saya yang demikian amatlah merepotkan. Semenjak itu, saya selalu berhati-hati ketika ingin meminta tolong kepada siapapun. Pada akhirnya, saya sadar bahwa tidak sepantasnya meminta pertolongan begitu saja kepada siapapun di sini, sebagaimana saya akan menolong orang yang meminta bantuan begitu saja.
Meski demikian, Jakarta tidak kejam-kejam amat. Bahkan, jauh sebelum resmi tinggal di jakarta, saya pernah terdampar di stasiun gambir. Perempuan, bertubuh kecil dengan wajah linglung, tak tahu arah, namun saat itu tidak ada satupun yang berusaha mengganggu saya.
Akan tetapi, persoalan keuangan seringkali menjadi hambatan bagi kita yang ingin hidup di Jakarta dan memang seperti itu lah kenyataannya. Setiap orang memiliki peluang menjadi gembel jika tak punya pekerjaan tetap, keluarga, atau setidaknya teman seperantauan. Akan tetapi, banyak teman saya yang mengatakan, jika kita telah mengetahui celahnya, maka kita akan enggan pulang ke kota asal.
Untuk mendapatkan celah-celah (baca: kesempatan) itu, saya banyak dibantu oleh teman-teman seperantauan dalam mendapatkan pekerjaan dan tempat tinggal. Selama di Jakarta, saya mendapatkan tempat tinggal gratis di kantor dan di basecamp teman-teman se-kampung.
Meski demikian, tidak semua orang tentunya memiliki kesempatan. Maka belajarlah untuk tidak tergiur dengan promo-promo di situs belanja online, e-commerce, dan di aplikasi trasportasi online lainnya. Pengalaman saya, semakin sering mengisi OVO, semakin sering kita tergiur dengan promo-promo dan rewards yang mereka tawarkan.
Setiap orang tentu memiliki hambatannya masing-masing. Ada bahkan teman saya yang memiliki keluhan kesepian karena tidak memiliki pasangan. Bagi saya, karena terbiasa hidup komunal, berkumpul dengan teman seperantauan merupakan siasat untuk tidak merasa sendiri. Tentu saja, hal itu bisa kalian tiru terlepas dari banyaknya tuntutan pekerjaan di kantor. Syukur-syukur, jika kantor yang kita tempati juga asyik.
Selain itu, masalah lain yang paling sering saya temui adalah kesehatan mental. Banyak teman saya yang awalnya datang di Ibu kota sehat-sehat saja, namun perlahan merasa gelisah dan harus kontrol ke psikolog. Jika meminjam kata guru saya, di kota yang bermodal kelas menjadi majikan, yang tidak memiliki gelimang kapital menjadi pekerja. Hidup berdasarkan upah yang ditentukan oleh pemilik modal. Kekuasaan dan cinta bahkan cerita hidup disandarkan pada tumpukan harta benda. Mereka yang berkekurangkan meski berjongkok di tepian zaman.