Di Indonesia, selalu ada kisah-kisah rakyat secara turun-temurun yang tak lapuk dimakan zaman. Seperti yang kerap dikisahkan di Jeneponto dan Bulukumba.
Jakarta, Lontar.id – Sewaktu kecil, saya selalu diingatkan agar tak pulang malam juga tak keluar saat Maghrib tiba. Orangtua saya takut, dan tak mau tanggung jawab jika terjadi apa-apa.
Saya terlahir jadi seseorang yang tukang jalan saat mulai tumbuh dewasa. Alasannya tak lain karena sejak kecil, saya tidak diperbolehkan bepergian jauh dari rumah.
Masa muda saya kurang menarik kalau dalam hal jalan-jalan keliling kota, juga daerah. Toh, saat masih remaja, saya belum punya kendaraan. Ke sana-sini masih naik angkutan kota. Ada sih, teman saya yang selalu membonceng, tapi jika terus-terusan takut malu.
Lalu pada saat kuliah, saya akhirnya punya motor pribadi. Ibu membelikan saya. Saat itu, saya mulai jarang pulang ke rumah, dan lebih banyak di luar.
Ibu mengerti. Orang-orang tua di rumah saya juga mengerti. Toh, karena terkendala materi, saya baru dibelikan motor. Itupun bekas. Larangan mereka juga tidak seketat saat saya kecil.
Saya jadi hobi ke daerah, semacam tur. Bisa sendiri, bisa juga berdua. Maksud saya, dua motor. Jadi kami berempat di jalanan. Dewasa juga tidak sepenuhnya saya raih. Sebab ada pesan-pesan yang kadang bikin gusar ibu saya.
Begini…
Waktu itu saya akan pergi pada sore hari. Pulang kampung. Saya berkemas dan membawa tas gembung dengan beberapa carik pakaian, sikat gigi, dalaman, sampo.
“Mau ke mana?”
Saya jawab ke Kajang.
“Eh, ini sudah mau malam. Awas itu nanti di Jeneponto, di tikungan tajam, bahaya. Sering ada perampokan.”
“Itu juga di Palangisang (poros Bulukumba-Kajang) angker itu. Hati-hati nanti lewat sana. Ingat, baca doa sebelum pergi.”
Saya membatin. “Perampokan apa sih?” Setahu saya, di Jeneponto, tidak pernah ada pencolengan besar-besaran. Apalagi sampai menghentikan mobil truk kata ibu.
Barangkali saya yang telat lahir. Di berita-berita, tak pernah muncul ada perampokan di tikungan itu. Tak ada, melainkan kecelakaan saja. Mungkin pengendara juga kurang awas.
Dengan langkah pasti, saya keluar dari rumah. Pamit. Teman saya menunggu di luar. Kami berdua akan berangkat. Tur kecil-kecilan. Begitulah ya.
Kami tak butuh waktu lama untuk sampai di Jeneponto. Sekiranya 2 jam perjalanan dari Makassar. Kami keroncongan. Dari tadi memang suara perut sudah nyaring.
Kami singgah membeli lemang atau lammang dalam bahasa konjonya. Di sebuah warung yang atapnya dari daun rumbia, kami makan dengan lahap. Nikmat sekali. Apalagi jika dicampur dengan telur asin. Sipa’na.
Kami bertanya pada pedagang lemang itu. “Betulkah di tikungan tajam atau tikungan keramat ada perampokan, Bu?”
“Ah, tidak pernah saya dengar itu, karaeng. Yang ada cuma orang kecelakaan. Dari cerita orang di sini, bukit keramat itu angker. Biasanya ada ular besar yang melintas kalau lewat malam.”
Sebagai orang yang kurang percaya dengan cerita di atas dan sudah meniatkan diri untuk pulang ke Kajang, saya tidak ambil pusing. Terpenting, saya harus tetap hati-hati berkendara.
Cuma di-iya-in saja kalimat ibu pedagang lemang. Kami pamit kemudian melanjutkan perjalanan kembali.
Sampai di bukit keramat, tak ada cerita yang kami dapatkan soal mistisnya. Bukan takabur, namun hati-hati memang jadi kuncinya. Malam hari kami lewat sana. Curam sih iya, namun tidak ada perampok atau ular seperti cerita yang diembuskan.
Lalu 2 jam berlalu. Kami akhirnya sampai di Allu, Palangisang. Sudah pukul 10.00. Kami memang banyak menepi. Minum kopi, makan lemang, dan berfoto.
Udara dingin. Pohon di kiri-kanan kami banyak sekali. Jalanan sudah sepi. Kami berkendara seperti masuk dalam remang hutan. Gelap sekali.
Memang banyak sekali pohon karet. Namun, tidak ada keanehan yang kami rasakan selain dingin juga sepi. Selama 45 menit dari Allu, akhirnya kami sampai di rumah, di Kajang.
Orang tua di kampung berkata, “bahaya. Kok berani jalan malam ke sini? Biasanya ada anak kecil di tanjakan dekat jembatan di Palangisang.”
Saya tidak menggubrisnya, karena memang saya tidak melihat apa-apa. Kami anteng-anteng saja bercerita. Barangkali itu cuman pesan yang dibuat para tetua untuk tidak keluar dan pulang larut malam. Atau mungkin saja saya memang tidak merasa, bisa jadi orang lain pernah.
Barangkali…