Lontar-id – Ada ketakjuban, ketercengangan, sedih bercampur haru saat pertama kali menonton film animasi, Moana. Film ini terasa begitu dekat dengan saya, dengan Bugis, dan nusantara. Tokoh Moana dan neneknya mengingatkan saya pada leluhur suku Bugis.
Saat kecil, kita seringkali mendendangkan lagu, “Nenek moyangku seorang pelaut”. Anak-anak lekas mengenang jika dulu neneknya adalah seorang pelaut. Yang menarik ketika kita mencoba memperhatikan kembali lirik lagu itu. Lagu tersebut tidak menyebut kakek tapi nenek yang diasosiakan pada perempuan. Itu berarti dulu leluhur kita yang menaklukkan laut bukanlah laki-laki melainkan perempuan.
Film Moana Bercerita Nusantara
Saat pertama kali menonton film ini di tahun 2016, saya dan beberapa “penghayat” film di salah satu acara obrolan literasi bersepakat pada satu hal. Film Moana sebenarnya bercerita tentang nusantara. Hal itu bisa dilihat dari kisah/ jalan ceritanya, dan salah satu lagu yang dinyanyikan tokoh Moana saat berhasil berlayar kembali di laut lepas itu mirip dengan lagu daerah dari Papua.
Anggapan bahwa film Moana adalah film bercerita tentang negeri Indonesia memang hanya sekedar imajinasi liar kami. Bagaimanapun film yang diproduksi oleh Disney ini tidak pernah mengatakan jika film ini bercerita tentang nusantara.
Ada dua tokoh yang paling mencolok dalam film ini, pertama adalah Moana, dan kedua adalah Nenek Moana. Keduanya merupakan perempuan.
Moana tidak akan bisa melakukan apa-apa tanpa kehadiran neneknya. Nenek yang disebut gila karena sering menceritakan dongeng-dongeng yang dianggap tidak masuk akal kepada anak-anak dan Moana kecil. Nenek yang kemudian membukakan tabir kepada Moana bahwa leluhurnya bukanlah petani tapi pelaut ulung.
Nenek Moana memiliki peran besar. Sebagai orang tua yang telah banyak berjalan dan menyelami kehidupan, ia seolah tahu kalau Moana adalah gadis yang akan menyelamatkan bangsanya. Ramalannya benar, Moana berhasil menurunkan kembali kapal yang telah dimuseumkan oleh orang tuanya yang juga merupakan kepala suku di pulau itu.
Semua orang menantangnya untuk berlayar, bahkan berenang di laut ia dihalangi oleh ibu dan ayahnya. Hanya sang nenek yang saat meninggal menjelma ikan pari itu yang membantunya mengarungi samudera.
Kisah Moana yang membongkar misteri para pendahulunya seorang pelaut meyerupai kisah nusantara. Sejak kecil, kita hampir tidak pernah didongengkan kisah-kisah para pelaut. Saat dewasa, sekolah tak memberi kita ruang untuk belajar dan mengetahui kisah-kisah nenek moyang kita yang seorang pelaut.
Kita jelas tahu bahwa Indonesia adalah negara maritim. Perairan kita lebih luas dibandingkan daratan. Itulah sejak dahulu, pelabuhan menjadi tempat pertama berputarnya roda perekonomian, tempat bertemunya banyak manusia dan budaya.
Dalam tradisi masyarakat Bugis, pelaut memang sangat disegani. Dalam kisah I Lagaligo, Sawerigading dikisahkan sebagai pelaut dan nahkoda besar yang sangat kuat mengarungi samudera.
Kisah leluhur kita seorang pelaut tidak hanya terukir dalam epos. Akan tetapi, kisah itu nyata pada masa sekarang. Jika kita ingin menengok sedikit saja kisah pelaut Makassar, maka kita akan menemukan kisah yang menarik.
Adalah Arnhem Land mengungkapkan kisah pelaut Makassar yang dianggap pertama kali mendarat di pulau Australia, jauh sebelum Kapten James Cook dari Inggris menemukannya. Meskipun mendapatkan banyak perdebatan ihwal siapa pertama kali mendarat, yang pasti pelaut makassar memberikan pengaruh besar tehadap suku Yolngu.
Bagi suku Yolngu yang tinggal di Arnhem Land, orang Indonesia bukanlah kawan baru. Mereka percaya, para pelaut nusantara telah tiba di daratan negeri kanguru sejak abad ke-17 dengan kapal pinisi.
Mulai dari lagu Nenek Moyang Kita Seorang Pelaut, kisah Moana, dan kekhasan nusantara yang sangat akrab dengan perempuan (Ibu Pertiwi yang diasosiasikan lagi untuk perempuan) membuat kita berpikir kembali dan mencoba merekonstruksi jika pelaut itu itu tidak hanya lekat untuk laki-laki tapi juga perempuan.
Hal itu membuat kita semakin ragu, barangkali para pelaut Makassar yang juga menyeberangi pulau Australia adalah para perempuan. Dan jangan-jangan ada banyak kisah pelaut lainnya yang ternyata tokoh utamanya seorang perempuan.
Sebab, “Nenek moyang kita seorang pelaut.”