Lontar.id– Beberapa hari ini media sosial ramai oleh pemberitaan munculnya kelompok yang menginisiasi gerakan Indonesia Tanpa Feminis (instagram: indonesiatanpafeminis). Melalui akun instagramnya, mereka menyuarakan pandangan yang pada prinsipnya menolak gerakan feminis di Indonesia.
Karena penasaran, saya ngobrol dengan beberapa perempuan muslimah di lingkaran tarbiyah dan menanyakan pandangan mereka tentang feminisme? Bagaimana alur logika mereka? Seperti ini catatan saya.
Perempuan pertama yang saya ajak berbincang tentang feminisme bernama Satriani. Perempuan asal Sulawesi Selatan yang memakai kerudung panjang ini mengungkapkan pandangannya yang menarik sekaligus unik tentang bagaimana posisi perempuan dalam Islam.
Selain aktif di beberapa komunitas Islam seperti Man Jadda Wajada Semarang sebagai pengurus, Saatriani juga menjadi santri biasa di Pondok Pesantren Do’aqu, Majelis Akhir Zaman dan Majelis Ar Rayyan.
Obrolan saya buka dengan pertanyaan, apakah ia pernah mendengar atau belajar tentang feminis? Perempuan berusia 25 tahun ini mengaku pernah mendengarnya, menurutnya feminis merupakan istilah yang sama dengan kesetaraan gender.
Pertanyaan saya lalu berlanjut dengan menanyakan pandangannya dengan kesetaraan gender itu. Satriani mengatakan kurang sepakat sebab perempuan tidak akan bisa setara dengan laki-laki.
“Kalau menurut saya, kurang sepakat. Bagaimanapun perempuan tidak bakalan bisa setara dengan laki-laki. Kodratnya adalah laki-laki sebagai pemimpin (entah dari segi apapun) tapi yang paling utama perempuan selalu muliah.” Tuturnya.
Bagi Satriani, sebuah pandangan mutlak bahwa laki-laki tidak setara dengan perempuan. Ketidaksetaraan tersebut menurutnya laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan.”laki-laki lebih tinggi daripada perempuan,” ungkapnya.
Setelah mendengar pembahasannya, saya kemudian mempertanyakan tentang kisah Aisyah, istri Rasulullah yang pernah memimpin perang? Baginya, Aisyah adalah perempuan mulia dan memiliki kemampuan yang luar biasa tetapi bukan berarti ia lebih tinggi posisinya dari laki-laki.
“Menurut saya, karena beliau memiliki kemampuan dan kemuliaan, saya rasa tidak ada masalah kalau beliau memimpin perang tapi apapun itu posisinya laki-laki tetap bandingannya 2 sedangkan perempuan 1,” jelas Satriani.
Ada hal penting yang menurut saya membingungkan dari pernyataan Satriani. Ia mengaku jika perempuan itu dimuliakan namun posisinya di bawah laki-laki. Alur logika sederhana yang bisa gunakan melihat pernyataannya adalah, jika perempuan dimuliakan (bahkan memiliki kemampuan besar seperti Aisyah) harusnya posisi perempuan lebih tinggi, alih-alih menjadikannya kelas kedua.
Dalam ajaran Islam, memang diatur pembagian 2:1 antara laki-laki dan perempuan, tapi itu untuk pembagian warisan, bukan posisi laki-laki dan perempuan. Sebagai umat muslin, saya menyukai satu ajaran yang mengatakan kalau tinggi rendah derajat seseorang dilihat dari ketakwaannya, bukan gendernya.
Pada obrolan selanjutnya, saya dipertemukan dengan tiga perempuan dari organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII). Obrolan saya kali ini tidak panjang karena melalui chat di WhatsApp. Beberapa obrolan saya yang mempertanyakan alasan mengapa menolak feminis tidak dijawab.
Ketiganya tidak sepakat dengan feminisme. Ada yang menolak gerakannya namun mendukung konsepnya. Dan adapula yang menolak keduanya, secara konsep dan gerakan.
Yani, salah satu anggota PII bagian keperempuanan mengungkapkan bahwa feminisme itu berlebihan. Sayang sekali, obrolan saya hanya sampai di situ, karena ia tidak menjawab pertanyaan saya selanjutnya tentang bagian mana dari feminisme yang berlebihan.
“Yang saya tidak sepakati dari feminisme itu adalah gerakan itu sendiri padahal siapa yang mendiskriminasi belum tentu itu solusinya adalah feminisme. Menurut saya, feminisme itu berlebihan,”jelas Yani. Pandangan yang tidak jauh berbeda datang dari anggota yang lain. Uni, seorang Ibu Rumah Tangga yang juga katif di organisasai Islam PII mengungkapkan bahwa feminsime mengganggu stabilitas.
“Alasan saya tidak sepakat dengan feminisme karena dapat mengganggu stabilitas dalam organisasi terkecil (rumah tangga) sampai organisasi tingkat atas (bernegara),” ungkap Uni. Sayangnya lagi, saat bertanya seperti apa konkritnya. Obrolan saya tidak direspon.
Anggota PII lainnya, Roro mengatakan tidak setuju dengan feminisme secara landasan, namun gerakannya, ia setuju. “Secara landasan konsep dan goals NO. Kalau gerakannya, nggak semua gerakannya merusak, sebagian yang positif dan membangun bisa didukung.” Namun, lagi-lagi obrolan saya terpotong saat menanyakan konsep feminis yang seperti apa yang ditolak?