Lontar.id– Sekitar tahun 2000, saat ber-sekolah dasar, pelajaran muatan lokal memang masih diajarkan. Meski demikian, muatan lokal yang dimaksudkan bukanlah pengajaran tentang ke-lokalan secara keseluruhan. Muatan lokal tidak mengajarkan kita tentang bahasa, kemaritiman, pertanian, ritual adat, sejarah, politik, lagu, hingga permainan anak.
Sejak dahulu, suku Bugis dikenal sebagai seorang petani dan pelaut. pencarian utama mereka berkutat pada nilai-nilai kehidupan di laut dan di darat (tanah). Orang-orang dahulu tidak hanya cerdas membaca gerak angin, membaca perbintangan, dan ilmu astrologi lainnya.
Para tetua kita juga pandai dan tangkas di darat dalam urusan pertanian. Mereka ahli tanah, pembaca musim, dan mengetahui ilmu pangan.
Masyarakat dahulu, mungkin tanpa kita sadari jika digali karakter dan cara mereka bertahan hidup mampu membuat para keturunannya mengetahui ilmu-ilmu yang hari ini dikenal datang dari barat.
Pengajaran muatan lokal yang saya pelajari saat sekolah dasar belasan tahun silam, tidak jauh dari pelajaran mengenal dan mempelajari bahasa daerah.
Dalam pelajaran bahasa daerah itu, guru mengajarkan huruf , hingga para murid mampu membuat kalimat dan bercakap dengan bahasa daerah, dalam hal ini bahasa Bugis dan aksara lontara. Apakah benar hanya sekadar mengenal huruf-huruf lontara tanpa pembelajaran yang lebih filosofis?
Jawabannya, ya benar-benar demikian.
Pengajaran bahasa daerah sepatutnya- dan seadilnya membawa kita pada pemahaman mendalam akan nilai-nilai kehidupan masyarakat Bugis. Namun, alih-alih mengharapkan demikian, sepertinya telah beberapa tahun pelajaran muatan lokal telah dihapuskan dan oleh karena itu, ada sebuah niat bagus dari Pemerintahan Provinsi (Pemprov) Sulawesi Selatan baru-baru ini yang ingin menghidupkan kembali pelajaran muatan lokal.
Hari ini, Selasa (10/12/2019), DPRD bersama Pemprov Sulsel melakukan pembahasan terkait penyusunan rancangan peraturan daerah (Ranperda) tentang pelestarian warisan budaya tak benda. Dalam hal ini, Pemprov Sulsel mengusulkan agar aksara lontara dan bahasa lokal kembali diterapkan menjadi muatan lokal di sekolah.
Selain itu, karya arsitektur rumah tradisional di Sulsel dan ilmu terkait pembuatan kapal phinisi dibuatkan sekolah.
“Pengajaran dan pemakaian bahasa daerah, dan aksara lontara perlu digalakkan kembali sebagai bagian muatan lokal sekolah-sekolah maupun masyarakat pendukungnya,” ujar Wakil Gubernur Sulsel Andi Sudirman Sulaiman dalam rapat paripurna DPRD Sulsel seperti dikutip dari Detik.com.
Tida hanya bahasa daerah dan pembuatan phinisi, Pemprov juga mengusulkan agar permainan tradisional masyarakat Sulsel dimasukkan dalam ranperda warisan budaya tak benda. Menurutnya permaianan tradisional di Sulsel memiliki filosofi yang baik bagi anak-anak dan baik untuk perkembangannya.