Menyegari diri di Bandung, membuat saya berbincang banyak hal dengan sopir ojek online soal kotanya yang sudah banyak berubah.
Bandung, Lontar.id — Sudah dua hari di Bandung dengan keadaan gusar untuk cari penginapan dan akan tidur di mana. Ada dua pilihan: ngemper di depan ruko orang; tidur di masjid atau musala.
Minggu kemarin, 3 Februari, kami sampai di Stasiun Bandung pada pukul 03.00. Di depan stasiun, untung saja banyak pedagang makanan.
Kami makan bubur ayam tepat di depan toko kue yang bisa jadi tentengan ole-ole. Lalu sedikit berjalan kaki untuk mencari penginapan yang ala kadarnya bagi kami.
Ala kadar di sini adalah, tak apa sepreinya tak diganti selama berhari-hari; biar saja berkutu; kamar yang tidak besar-besar amat; dihargai sekisar Rp150 ribu hingga Rp300 ribu.
Lama berjalan dan bercerita di pinggir jalan bersama dua orang kawan, kami bersepakat ke Jl. Pasteur. Ada beberapa penginapan melati di sana.
Aplikasi pemesanan kamar dari pelbagai jenis dicek. Kami lalu dapat Rp160ribu-an untuk sehari. Dilengkapi banyak fasilitas pendukung.
Dalam aplikasi, ada tiga slot kamar yang tidak terisi. Itu modal awal kami memberanikan diri menjajal Pasteur yang dingin jelang pagi buta.
Kami memesan ojek mobil daring, dan beberapa menit sudah sampai di mulut tol depan Jl. Pasteur. Tak jauh dari sana, mobil menanjak ke kiri.
Di depan penginapan kecil, kami turun dan mengecek kamar yang sesuai informasi dari aplikasi. Terpampang kertas sambutan depan pintu: full. Penuh bahasa Indonesianya. Entah kalau bahasa Sundanya.
Baca Juga: Becak.. Oh.. Becak, Kenanganmu yang Mahal dan Riwayatmu Kini
Satu kawan masuk memastikan kalau pesan itu bualan belaka. Lalu bertanyalah ia pada penyambut tamu yang berbaring dengan kondisi terjaga. Ia tidur di sofa tamu lobi.
Penuh, kata kawan saya. Penginapan lain ikut diperiksa. Nahas bagi kami dan untung bagi pebisnis, seluruh kamar melati terisi. Ada harga mahal, namun ketakutan telanjur menjalar untuk tidak begitu percaya pada aplikasi.
Kami kecewa. Setidaknya ini jadi pelajaran pertama kalau ingin vakansi harus dipersiapkan dari jauh hari agar tak ditabrak kebingungan selanjutnya. Kami berapi-api sekali awalnya, seperti lautan api. Akhirnya kami terbakar juga dengan semboyan itu.
Planga-plongo sambil berhadap-hadapan, kami memilih untuk selonjoran depan masjid menunggu pagi sambil ngobrol menghilangkan kantuk.
Pagi datang, burung yang tersangkar depan rumah yang berhadapan dengan masjid, sudah cuit-cuit manja mau diperhatikan. Kami ke jalan utama yang tak jauh dari masjid memesan kendaraan daring. Dengan otot mata yang kian melemah, saya berbincang dengan sopir.
Bandung memang kalau weekend atau akhir pekan bahasa Indonesianya, dan entah apa bahasa Sundanya, selalu ramai. Kata sopir pertama penjemput kami yang wajahnya oriental dan rambutnya jabrik basah.
Jadi jangan coba-coba untuk datang tanpa ada persiapan dulu. Penginapan melati yang lowong memang sulit didapat. Ini pesan kami yang jadi korban. Kamu mau percaya atau tidak, itu urusanmu.
Lalu kami sampai ke Braga, karena ada penginapan kecil di sana. Kami cek, ternyata seorang akan keluar kamar pukul 12.00. Terlalu lama. Kami bertiga hampir ambruk digebuki kantuk yang jalang.
Baca Juga: Tabik, Bapak dan Ibu Caleg!
Kami pesan lagi moda transportasi anak negeri yang dimodali asing aseng pujaan tumpah darah. Kami menuju Antapani. Kawan saya yang domisili Bandung menunggu. Ia punya kontrakan.
Kawan saya untungnya punya usaha konveksi sederhana. Suka pegang proyek pembuatan baju. Kalau sudah cukup untung yang didapatnya, ia istirahat dulu selama beberapa bulan.
Ia bangun pukul 09:00. Jam bangun pemuda asyik meski hari itu hari Minggu. Kami senang sekali disambutnya. Di tulisan ini saya juga mau berterima kasih untuknya.
Hampir lupa. Sepanjang jalan ke rumah teman saya itu, hanya sedikit percakapan antara saya dan sopir. Sopirnya gondrong, kulitnya warna sawo, perawakannya nyeni, dan saya agak takut berbicara seperti biasa.
Bukannya tak ada cerita, ada, cuman sedikit saja. Katanya, Bandung sekarang jadi kota tamu. Macet sudah biasa. Setelah ia bilang pukul 10.00 pagi jalan poros ke Antapani akan macet. Saya ingat, waktu itu ada karnaval sepeda ontel di sisi jalan.
Kami sampai di Antapani, istirahat sehari. Tidur saja kerjanya, karena memang sudah melemah musabab tak tidur seharian. Teman saya, si empunya rumah, mengerti sekali. Baik sekali.
Begitulah tiga jejaka yang menyisir tanah Pasundan. Tidak tenang kalau di rumah melulu. Lalu kami pergi lagi keliling kota keesokan harinya. Tamasya kata siaran televisi yang mempertontokan gaya hidup orang kaya.
Satu pengemudi mengaku kalau Bandung itu orang-orangnya agamis. Buktinya, acara Abdul Somad di Gelora Bandung Lautan Api dipenuhi lautan manusia.
Kemudian dengan nada pelan, ditambahi lagi soal harimau sebagai ikon kota dan Prabu Siliwangi. Lalu cara bicara orang Sunda kebanyakan juga dituturinya.
Meski orang Bandung itu suka berantem, tapi tutur katanya sopan dan lembut. Kamu lihat saja kelakuan beberapa suporter yang suka kekerasan. Mendengarnya, saya cuma bisa bilang iya ya. Iya ya.
Kami dituruni di Jl. Ambon, dan mengaso di sekitar situ. Di tempat pengarang Dilan, namanya Kantin Nasion. Ada banyak anak sekolah pulang. SMA dan SMP.
Memang mojang Bandung itu ayu. Hampir saja saya berpikir mencari calon istri orang Sunda, setelah melihat anak sekolah. Kebetulan saya lajang, pekerja di Jakarta, belum punya apa-apa kecuali perasaan cinta dan sedikit gaji buat makan di warteg dan paling mahal restoran Padang.
Cowok-cowoknya juga rapi dan berkulit putih. Suara percakapan di sekeliling kami terdengar seperti nada musik Rock yang diputar pada tengah malam saat orang tuamu tertidur.
Es kopi dan seblak tak tersisa di meja kami. Perut terisi penuh. Tak lama kami pesan lagi ojol mobil. Di sekitar Jl. Ambon macet sekali. Mirip Jakarta, daerah tempat kami cari nafkah.
Beginilah Bandung, A’. Sudah kepalang macet. Lima tahun yang lalu belum separah ini. Tatapan sopir ke depan melihat antrean kendara yang panjang. Tabah sekali mereka mengantre.
Ridwan Kamil penyebab macet. Sopir yang bilang, bukan saya, ya. “Dia bikin banyak tempat pariwisata tampak lebih memesona.” Jadi orang-orang dari Jakarta yang kurang hiburan itu memilih menyerbu Bandung, apalagi momennya Harpitnas. Bolos kerja sehari tak masalah.
Kutanyai sopir soal apa pembangunan yang akan dikerjakan Bandung lagi. Dijawab tol dalam kota. Untuk mengurai macet. Pengerjaannya akan dimulai dalam waktu dekat, jelasnya.
Aku balas, kalau tol dalam kota, artinya makin banyak mobil yang produksi dan datang lagi ke Bandung atuh, Kang? Lalu ia tertawa getir. Itulah pembangunan, Kang. Tidak sepenuhnya salah.
Maju kena, mundur kena. Kasihan kalau ada yang redup bisnisnya kalau proyek tak jalan. Lagipula baik kan kalau pembangunan gencar. Semakin banyak wisatawan ke Bandung, makin banyak pula pendapatan asli daerah dan ekonomi kreatif yang melesat.
Ini kayak di Jakarta. Si sopir bilang, iya, A’. Bandung dan Jakarta sudah hampir sama macetnya. Lalu saya bertanya-tanya, mengapa saya ke Bandung?
Sampai hari ini. Sampai hari ini.