Lontar.id – Pakar Hukum Tatanegara, Margarito Kamis, berpendapat, status daftar pencarian orang (DPO) yang ditetapkan untuk mantan Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi Abdurrachman, harus ditunda. Nurhadi merupakan tersangka kasus dugaan suap-gratifikasi Rp46 miliar.
Margarito menyatakan, selain status DPO untuk Nurhadi, status yang sama untuk dua tersangka lain, yakni Rezky Herbiyono (menantu Nurhadi), dan Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto , juga harus ditunda.
Alasan penundaan tersebut karena adanya gugatan praperadilan kedua yang diajukan Nurhadi dkk. Selain menunda status DPO, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga harus menunda proses penyidikan.
Margarito Kamis menegaskan, pengajuan gugatan praperadilan oleh seorang tersangka terhadap penegak hukum ke pengadilan negeri merupakan hak seorang tersangka, untuk menguji keabsahan upaya paksa terhadap diri tersangka. Hak tersebut dijamin oleh KUHAP.
Margarito menilai, dengan praperadilan tersebut maka secara otomatis segala tindakan hukum dalam proses penyidikan terhadap Nurhadi, Rezky, dan Hiendra harus dihentikan sementara waktu.
“Praperadilan itu kan sah, haknya tersangka. Oleh karena itu praperadilan yang diajukan Pak Nurhadi dan yang lain itu menangguhkan sementara atau menunda sementara kewenangan penyidik untuk memeriksa mereka, memeriksa saksi-saksi, dan melakukan penyidikan terhadap para tersangka itu. Karena kewenangan penyidik itu lah yang sedang diajukan dalam praperadilan,” kata Margarito di Jakarta, Jumat (21/2/2020).
Margarito menambahkan, langkah KPK menetapkan atau memasukkan Nurhadi, Rezky, dan Hiendra ke dalam daftar pencarian orang (DPO), bahkan merupakan tindakan yang keliru. Sebab, KPK tidak memiliki dasar dan landasan yang kuat untuk penetapan status DPO tersebut.
Apalagi sebelumnya KPK tidak bisa memastikan bahwa surat panggilan pemeriksaan telah benar-benar diterima langsung oleh Nurhadi maupun Rezky.
“Penetapan DPO untuk Nurhadi dan lain-lain itu keliru. Praperadilan itu juga mendahului (penetapan status) DPO. Praperadilan itu menggugurkan status DPO itu,” imbuhnya.
Mengenai adanya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2018 tentang Larangan Pengajuan Praperadilan Bagi Tersangka Yang Melarikan Diri atau Sedang Dalam Status DPO, Margarito membenarkan.
Tapi, menurutnya, SEMA tersebut harus dilihat sesuai dengan konteksnya. SEMA itu tidak bisa berlaku atau diberlakukan ketika seseorang tersangka telah mengajukan praperadilan baru kemudian penegak hukum menetapkan status DPO tersangka tersebut.
“Jadi tidak bisa SEMA itu dipakai untuk Pak Nurhadi dan dua orang itu. Konteksnya kan mereka (Nurhadi, Rezky, dan Hiendra) ajukan praperadilan kedua, baru KPK menerbitkan DPO. Jadi surat edaran itu tidak bisa dipakai untuk menerangkan kasus Pak Nurhadi, Rezky, dan Hiendra ini,” urainya.
Bahkan, kata Margarito, dengan pengajuan praperadilan kedua itu, yang notabene dilakukan sebelum penetapan DPO, pihak kuasa hukum Nurhadi dkk tidak perlu mengajukan surat ke KPK agar KPK melakukan penundaan sementara atas seluruh proses penyidikan. Sebab secara otomatis pengajuan praperadilan itu menunda sementara seluruh proses penyidikan.
“Jadi tidak perlu diajukan (surat oleh pihak kuasa hukum) ke KPK. Praperadilan itu dengan otomatis menangguhkan pemeriksaan terhadap mereka (Nurhadi, Rezky, dan Hiendra). Dengan atau tanpa permohonan itu dari kuasa hukum sudah harus dihentikan sementara dengan adanya praperadilan,” katanya.
“KPK taatlah pada hukum, jangan berbuat melanggar hukum. Ketika hukum dimiringkan, itulah korup. Korup itu adalah termasuk melawan hukum. Kalau anda (KPK) sungguh-sungguh memberantas korupsi, taatilah hukum,” tutup Margarito.
Senada dengan Margarito, kuasa hukum Nurhadi, Maqdir Ismail mengatakan, Nurhadi Abdurrachman, Rezky Herbiyono, dan Hiendra Soenjoto telah mengajukan gugatan praperadilan kedua ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Rabu, 5 Februari 2020.
Sementara penetapan DPO oleh KPK dilakukan pada 11 Februari 2020. Artinya, kata Maqdir, praperadilan lebih dulu dari pada status DPO.
Maqdir menyebut, alasan KPK menetapkan Nurhadi dkk sebagai DPO karena mereka tidak menghadiri panggilan pemeriksaan, sebagai alasan yang mengada-ada. Pasalnya KPK atau penyidik tidak pernah bisa memastikan khususnya Nurhadi dan Rezky telah menerima surat panggilan secara langsung dan secara patut menurut hukum.
“KPK harus juga menghargai dong upaya praperadilan yang diajukan Pak Nurhadi, Rezky, dan Hiendra. Jangan tiba-tiba KPK memasukkan sebagai DPO. Praperadilan kan hak tersangka, harusnya juga hak itu dihargai sama penyidik,” tegas Maqdir di Jakarta, Jumat, 21 Februari 2020.
Editor: Kurniawan