Lontar.id – Suara palu yang berbenturan dengan pahat kecil di tangan pria paruh baya itu terdengar berulang. Meski berjeda selama beberapa detik, tetap menimbulkan nada teratur.
Seandainya ketukannya sedikit lebih cepat, mungkin nadanya hampir mirip dengan suara sepatu kuda yang bersentuhan dengan aspal.
Ketukan palu pada pahat kecil tersebut melubangi kulit sapi kering di bawahnya dan akan dijadikan wayang nantinya. Bukan tanpa sengaja.
Matahari yang terik sedikit terhalang oleh atap dan pepohonan di sekitar lokasi. Angin berembus lembut seperti mencoba meluruhkan konsentrasi pria itu.
Di depannya, seorang remaja berkebangsaan Jerman merekam video aktivitas pria Jawa tersebut. Tapi si bapak acuh. Dia terus bekerja demi membuat wayang kulit.
Hanya berjarak beberapa puluh sentimeter di belakang pria pembuat wayang, seorang ibu berusia sekira 40 tahun, memangku secarik kain putih yang telah digambari.
Di antara jempol dan telunjuknya, ada canting. Semacam alat tulis berbentuk seperti keran. Hanya saja bagian atasnya berlobang. Fungsinya menorehkan malam atau semacam tinta dari lilin cair ke atas kain putih.
Bibir perempuan itu sesekali meniup ujung canting di tangannya, agar malam yang ada tidak membeku dan menutupi lubang kecil di ujungnya. Aroma malam yang khas pun menyebar di sana.
Jemarinya lincah menggores malam di atas kain, mengikuti pola yang sudah tergambar sebelumnya. Bukan cuma membuat karya seni, tapi merawat dan mempertahankan budaya bangsa.
Beberapa puluh meter dari keduanya, salah satu gapura di situs Taman Sari, berdiri kokoh. Ornamen bermotif klasik khas Jawa menjadi daya tarik tersendiri, khususnya penyuka swafoto.
Keduanya, pria dan wanita itu merupakan warga setempat, yang hampir setiap hari memahat dan membatik di area Taman Sari, Yogyakarta.
Agus, seorang warga setempat yang juga pemandu wisata di situ mengatakan, biasanya wisatawan, baik domestik maupun mancanegara, tertarik untuk memotret proses membatik dan membuat wayang. Wisatawan juga tak jarang memberikan uang ala kadarnya pada keduanya.
Selain menyaksikan mereka berkarya, ada beberapa lokasi lain yang menjadi favorit atau dicari oleh wisatawan, yakni Pasiraman Umbul Binangun, yang terdiri dari tiga kolam, yaitu Umbul Kawitan, Umbul Pamuncar dan Umbul Panguras.
“Jadi ada tiga kolam, Umbul Kawitan adalah kolam untuk putra dan putri raja, Umbul Pamuncar untuk para selir dan Umbul Pamuncar untuk mandi raja,” paparnya.
Lokasi lain yang menjadi favorit wisatawan adalah Sumur Gumuling, yakni bangunan berlantai dua melingkar dengan beberapa pintu pada bagian tengah dan jendela di sisi pinggir. Pada bagian poros atau tengah bangunan, terdapat empat anak tangga dari pintu lantai pertama dan satu anak tangga dari lantai dua.
Menurutnya, bangunan ini dulunya merupakan tempat ibadah atau kepentingan religius lainnya. Hal itu dapat dilihat dari adanya mihrab pada bangunan itu.
Dia menambahkan, ada 21 bangunan yang terdapat di kompleks Taman Sari, yakni Gedong Gapura Hageng, Gedong Lopak-Lopak, Pasiraman Umbul Binangun, Gedong Sekawan, Gedong Gapura Panggung dan Gedong Temanten.
Selanjutnya, Gedong Pengunjukan, Gerbang Kenari, Gerbang Taman Umbulsari, Pasarean Ledoksari, Gedong Madaran, Pasiraman Umbul Sari, Gedong Blawong, Gedong Garjitawati, Gedong Carik, Pongangan atau Dermaga Peksi Beri, Pongangan Timur, Gerbang Sumur Gumuling, Sumur Gumuling, Pulo Panembung dan Pulo Kenanga.
Saat memasuki salah satu terowongan di Taman Sari, Agus menjelaskan, biasanya di lokasi tersebut ada beberapa musisi yang memainkan musik untuk mendapatkan bayaran dari pengunjung secara sukarela.
Saat ada di terowongan lain, dia bercerita tentang ujung terowongan yang ditutup, yang konon tembus hingga ke pantai selatan Jawa.
Taman Sari sendiri merupakan mahakarya yang dibangun oleh Sultan Hamengkubuwono pertama pada tahun 1758 Masehi atau tahun 1684 kalender Jawa.
Bangunan itu dibuat sebagai tempat rekreasi dan kolam permandian bagi raja dan keluarganya, sekaligus sebagai lambang kejayaan Raja Mataram, yang terletak sekitar 500 meter di sebelah barat Keraton Yogyakarta.
Bukan hanya lokasi rekreasi, Taman Sari juga menjadi tempat pertahanan dan perlindungan. Hal itu bisa dilihat dari adanya benteng tinggi yang mengelilingi Taman Sari serta adanya baluwer untuk tempat persenjataan.
Sementara seorang wisatawan asal Jerman, Adelric yang mengaku pernah tinggal cukup lama di Yogyakarta, mengatakan tidak pernah bosan mengunjungi Taman Sari.
Pria yang cukup fasih berbahasa Jawa halus atau kromo hinggil ini mengatakan, setiap kali berkunjung ke Jogja, dia selalu menyempatkan diri untuk mendatangi Taman Sari.
“Ada sesuatu yang unik di sini. Sesuatu yang membuat saya selalu ingin ke sini, seperti magnet, tapi saya tidak tahu apa itu,” ucapnya sambil tertawa.
Taman Sari yang menyimpan sejarah tentang kejayaan Kerajaan Mataram, memang selalu menarik untuk dikunjungi. Selain lokasinya yang mudah dijangkau, suasana yang adem meski cuaca sedang terik, juga karena harga tiket masuknya sangat terjangkau, yakni hanya Rp5 ribu untuk wisatawan domestik dan Rp15.000 untuk wisatawan mancanegara.
Ditulis oleh Kurniawan Campalagian.