Lontar.id – Ijtima Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) ke-7 yang digelar pada 9-11 di Jakarta, membahas sejumlah hal penting, termasuk pembahasan tentang pemilu dan pilkada.
Dilansir laman resmi MUI, Ijtima Ulama diikuti oleh 700 peserta. Peserta terdiri dari unsur Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Pusat, anggota Komisi Fatwa MUI Pusat, pimpinan komisi/badan/lembaga di MUI Pusat.
Perhelatan rutin tiga tahunan ini menyepakati 17 poin bahasan salah satunya adalah hukum panduan pemilu dan pemilukada yang lebih maslahat bagi bangsa Indonesia.
Berikut panduan pemilu dan pilkada tersebut:
1. Dalam masalah mu’amalah, termasuk di dalamnya masalah politik, Islam memberikan keleluasaan berdasarkan kesepakatan untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kerusakan atau bahaya (jalb al-mashalih wa dar’u al-mafasid), sepanjang kesepakatan tersebut tidak mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.
2. Pemilihan umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.
3. Memilih pemimpin (nashbu al-imam) dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan imarah dalam kehidupan bersama. Oleh karena itu, keterlibatan umat Islam dalam Pemilu hukumnya wajib.
4. Pemilu dilaksanakan dengan ketentuan:
a. Dilaksanakan dengan langsung, bebas, jujur, adil, dan rahasia;
b. Pilihan didasarkan atas keimanan, ketaqwaan kepada Allah SWT, kejujuran, Amanah, kompetensi, dan integritas;
c. Bebas dari suap (risywah), politik uang (money politic), kecurangan (khida’), korupsi (ghulul), oligarki, dinasti politik, dan hal-hal yang terlarang secara syar’i.
5. Pembatasan masa jabatan kepemimpinan maksimum dua kali sebagaimana diatur dalam Konstitusi dan Ketentun Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku wajib untuk diikuti guna mewujudkan kemaslahatan serta mencegah mafsadah;
6. Proses pemilihan dan pengangkatan kepala daerah dapat dilakukan dengan beberapa alternatif metode yang disepakati bersama sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah yang berlaku saat ini dinilai lebih besar mafsadatnya daripada maslahatnya, antara lain: menajamnya konflik horizontal di tengah masyarakat, menyebabkan disharmoni, mengancam integrasi nasional, dan merusak moral akibat maraknya praktek politik uang.