Lontar.id – Pasca Pemilu 2019 usai dan PDIP (128 kursi) keluar sebagai partai pemenang pemilu, tidak lantas membuat kader PDI menduduki Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) berjalan mulus.
Sebagai partai dengan membawa gerbong koalisi gemuk di antaranya Golkar (85), NasDem (59), PPP (19) dan PKB (58). Mereka harus melakukan komunikasi politik agar menemukan titik terang siapa yang pantas mengisi kursi MPR.
Jika menelisik proses pemilihan Ketua MPR berdasarkan Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) berdasarkan sistem paket yang dipilih oleh anggota MPR. Posisi Ketua MPR sangat bergantung pada PDIP.
Selanjutnya apakah akan mereka membagi kekuasaan (power sharing) pada partai koalisi yang turut membantu berjuang memenangkan pasangan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin atau menyerahkan posisi tersebut pada partai oposisi.
Keputusan PDIP memang sangat bergantung pada peran Megawati Soekarno Putri. Ia akan menimbang dengan matang soal plus minum arah keputusannya.
Tak mudah menyerahkan jabatan strategis pada partai lain, namun PDIP perlu mencari cara untuk mengakomodir kepentingan pemerintahan Jokowi-Ma’ruf. Jika tidak, ia akan diganggu dengan adanya tarik menarik kepentingan.
Akan berbahaya bagi pemerintahan, bila PDIP sendiri yang menguasai semua jabatan di DPR dan MPR. Kebijakannya akan disoal oleh partai lain dan rentan menimbulkan kegaduhan di masyarakat bawah.
Bila mencermati tarik ulur kepentingan, lobi dan komunikasi politik partai pengusung. Demikian dengan partai oposisi dalam beberapa pekan terakhir ini, semua parpol saling berebutan.
Partai koalisi merasa berhak mendapatkan “kue” karena telah bersama-sama menemani PDIP di pemilu, begitu juga partai oposisi, mereka merasa pantas dan layak untuk tetap menjaga persatuan bangsa.
Golkar dan PKB sudah terang-terangan siap mengemban amanah Ketua MPR. Airlangga melobi Jokowi sedangkan Muhaimin Iskandar melobi Ma’ruf Amin.
Golkar merasa paling pantas, karena meraih suara kedua di legislatif, sementara PKB karena merasa dekat dengan Ma’ruf Amin.
NasDem dan PPP juga tak mau ketinggalan dalam perebutan kursi MPR. Meski merasa punya porsi yang sama, namun NasDem dan PPP tak segencar Golkar dan PKB.
Pada posisi ini, PDIP harus mempertimbangkan dengan jernih. Parpol pengusung tidak begitu saja mendapatkan kursi Ketua MPR karena raihan perolehan suara legislatif, sementara parpol yang berada urutan buncit tidak lantas merasa pupus harapan.
PDIP harus melihat kapasitas dan pengalaman figur bila ingin keluar dari tarik ulur kepentingan. Sebab memilih berdasarkan perolehan kursi dan kedekatan dengan istana, akan menciptakan dinamika yang mengganggu pemerintahan.
Jalan keluarnya masing-masing parpol mengusulkan minimal dua figur agar tidak memicu lahirnya kecemburuan sosial, dari figur yang diajukan, kemudian dilakukan uji kelayakan oleh pihak independen.
Siapapun yang terpilih berdasarkan kualifikasi tertinggi, maka semua partai harus menghormatinya. Tak peduli apakah figur terpilih dari koalisi yang sedikit mendapatkan kursi di legislatif seperti PPP.
Dengan cara ini, PDIP tidak menanggung beban karena metode pemilihan dilakukan secara adil dan terbuka. Demikian dengan parpol koalisi, tidak akan menaruh curiga bahwa Ketua MPR terpilih merupakan orang terdekat Jokowi. Toh masih ada jatah kursi menteri yang mereka bisa peroleh.
Lalu bagaimana dengan parpol oposisi yang minta jatah kursi Ketua MPR? Gerindra, Demokrat dan PAN tidak tinggal diam masuk dalam bursa perebutan kursi MPR.
Tiga partai oposisi minus PKS yang konsisten tetap berada di barisan luar pemerintahan ini, juga melakukan lobi politik kepada istana. Partai ini seolah tak mencerminkan konsistensinya sebagai partai oposisi lantaran meminta jatah.
Demokrat dan PAN misalnya, sejak awal sudah memberikan sinyal merapat ke pemerintah dan melakukan berbagai manuver agar diakomodir. Kemudian diikuti Gerindra sebagai pemimpin oposisi dengan mengajukan syarat sharing power.
Gerindra seolah menampilkan dua wajah berbeda, ke pendukungnya tampil sebagai pahlawan yang getol mengkritik pemerintah, namun di balik itu terdengar desus tawar-menawar posisi.
Gerindra seolah tak khawatir akan ditinggalkan oleh massa pendukungnya, asalkan jatah kekuasaan kebagian. Alih-alih menjadi oposisi sebagai mitra kritis pemerintah, toh pada ujungnya meminta jatah.
Gerindra sebagai pemimpin oposisi, harus banyak belajar dari sikap PKS. Ia konsisten sejak awal dan menolak untuk bergabung dan tidak takut kehilangan kursi kekuasaan.
Sikap ini, saya nilai PKS akan semakin disukai oleh pendukung yang menolak memilih Jokowi-Ma’ruf dan bakal mengkapitalisasi suara tersebut pada pemilu 2024.
Ditulis oleh Ruslan.