Sebab kemacetan, patung massa akan dibongkar oleh Pemerintah Kabupaten Gowa.
Jakarta, Lontar.id – Anggota DPRD Gowa, Sulawesi Selatan, bidang pembangunan, Asriadi Arasy, mengeluarkan statement jika patung massa di pertigaan Jalan Andi Tonro menuju Jalan Syekh Yusuf, tidak mempunyai nilai historis. Makanya perlu dibongkar.
Tujuan dibongkarnya itu disebabkan untuk menghindari kemacetan yang terjadi setiap harinya di wilayah itu, terutama pagi dan sore hari, saat keberangkatan kerja dan pulang dari kantor.
“Itukan jalan poros Makassar-Gowa dan akan diperlebar nantinya sehingga dapat mengurai kemacetan,” ujarnya.
Penghancuran patung massa itu didasari dari niat Dinas Pekerjaan Umum dan Permukiman Rakyat (PUPR) Kabupaten Gowa, Mundoap, beberapa waktu lalu.
Namun ada yang keliru dari ucapan Asriadi. Soal tak ada nilai historis, ia dibantah oleh masyarakat yang tinggal di Jl Syekh Yusuf.
Pria yang tak ingin ditulis namanya ini bilang, kalau ucapan Asriadi itu keliru. Patung massa sendiri sudah sangat tersohor namanya di Gowa.
Pada Lontar ia menceritakan, kalau dulu, sebelum ada patung massa, pencurian marak sekali di Gowa. Ia berkisah, waktu itu tahun 90-an. Preman-preman dan pencuri begitu sadis.
Baca juga: Mengapa Mitos Soal Syekh Yusuf Terus Mengalun di Makassar?
Warga yang resah kemudian berembuk dengan polisi setempat dan perangkat pemerintah untuk tak segan menyelesaikan sendiri para bromocorah yang berani macam-macam di kabupaten yang identik dengan simbol badik ini.
Bukan apanya, saat dimasukkan ke sel tahanan, selepas keluar dari sana, menurut sumber Lontar, para bandit itu sama sekali tak jera dan masih melakukan kejahatannya di sekitar tempat tinggalnya.
“Jadi dulu itu, ada orang yang setengah mati dipukuli dan dikeroyok karena coba-coba merampok di sini. Jangan macam-macam kalau bikin kejahatan di daerah sini. Mati akibatnya.”
Mereka melakukan itu, juga disebut atas kesepakatan bersama kepolisian era itu. Terpenting katanya, itulah efek jera yang diberikan oleh masyarakat: menyiksanya hingga massa capai.
Ditambahi pula, kalau inisiator dari pembangunan patung massa itu adalah orang yang dituakan di sekitar tempatnya tinggal.
“Penggagasnya sendiri adalah Camat Sumbaopu medio 90-an, Haji Haruna. Beliau yang memang mau lihat daerah kita ini baik,” bebernya.
Tentu saja ada juga yang tidak setuju patung itu dibangun. Terlalu keras katanya. Simbol kekerasan terlalu kuat kalau menilai estetika patung itu. Sebagian tokoh agama setempat bahkan melarangnya.
Baca juga: Membaca Assikalaibineng, Kitab Persetubuhan Bugis
Namun pembangunan patung itu tetap saja disegerakan. “Biar orang tahu, kalau mencuri di sini, akibatnya bisa seperti yang tergambar di patung itu.”
“O ya, saya hampir lupa kalau dulu ada juga rumah perampok yang dibakar. Tidak pikir dua kali dulu. Itu sudah risikonya perampok. Saya ingat betul, rumahnya itu rumah kayu.”
Sampai yang paling ngeri, saat ada penjahat yang ditangkap polisi, para warga berteriak di luar kantor polisi untuk mengeluarkan penjahat itu agar diserahkan ke masyarakat.
“Saya saksi hidup. Itu beberapa kisah yang mengerikan, selama saya masih belia,” tandasnya.
Kini, patung hanyalah sebagai simbol belaka. Masyarakat sudah kepalang berani. Buktinya, dalam catatan kasus yang ditulis Polres Gowa, pada 2018, kejahatan jalanan masih cukup mengganggu.
Itupun diklaim sudah berhasil diturunkan dari 30,8% pada Februari menjadi jadi 21,6% pada Maret 2018. Dari 41 kasus pada Februari menjadi 26 kasus pada Maret 2018.
“Kasus kejahatan jalanan itu masing-masing 9 kasus curat, 5 kasus pencurian dengan kekerasan (curas) dan 12 kasus pencurian kendaraan bermotor (curanmor),” ungkap Kapolres Gowa, AKBP Shinto Silitonga tahun lalu.
Baca juga: Asal-Usul Orang-Orang Bugis di Batavia