Lontar.id- Jauh sebelum berangkat ke kota menunaikan ibadah kuliah, saya sering bertanya, mengapa orang tua atau nenek-nenek kita memiliki tubuh, pikiran, dan perasaan yang sehat. Padahal, kalau dipikir-pikir lagi, mereka bukan mahasiswa, apalagi doktor yang seringkali disuguhkan dengan teori-teori tentang hidup. Kehidupan mereka berkutat di kampung. Bertemu dengan orang-orang yang sama setiap harinya.
Apakah orang tua kita terlalu banyak bersyukur sehingga hidupnya selalu baik-baik saja? Memangnya cukup dengan bersyukur saja?
Para orang tua kita di kampung bukannya tidak memiliki masalah. Kehidupan di kampung juga kompleks, sangat kompleks bahkan. Tapi, apakah pernah kita mendengar ada orang tua kita yang depresi lalu bunuh diri? Jawabannya tidak pernah. Saya tidak pernah mendengar ada tragedi demikian di kampung. Setidaknya di kampung saya sendiri.
Lalu, kita kembali ke pertanyaan di awal. Apa yang membuat mereka sekuat itu?
Jawabannya barangkali dapat kita telusur dengan mengikuti kehidupan mereka sehari-hari. Mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi di malam hari. Apa saja yang mereka lakukan. Bagaimana pola berkomunikasinya dengan orang lain. Bagaimana mereka menuntaskan pekerjaan-pekerjaanya di rumah ataupun di luar ruamah.
Di kampung, saya memiliki nenek dan kakek serta keluarga yang lain yang kemudian saya jadikan modal untuk mendapatkan jawaban itu. Nenek saya adalah seorang petani. Ia memiliki lahan yang cukup luas yang harus diatur sendiri selepas suaminya meninggalkannya.
Ia beternak ayam, sapi, dan berladang. Ia tinggal sendiri di rumah sebab anak-anakanya telah memiliki rumah sendiri-sendiri. Seringkali ia ditemani dengan seorang perempuan, usianya lebih muda tapi tubuhnya tidak sempurna. Setengan tubuhnya lumpuh yang pada akhirnya menjadi pekerjaan tambahan bagi nenek saya untuk merawatnya.
Tutorial hidup nenek saya setiap hari kurang lebih seperti ini:
Ia bangun sebelum subuh hari untuk menunaikan shalat tengah malam. Dilanjutkan dengan mengaji hingga subuh hari. Selepas subuh hari, ia turun mengurus ayam-ayamnya. Memberi makan dan memeriksa telur-telurnya.
Pagi hari, ia merapikan rumah. Menyapu halaman rumah, menanak nasi. Ia tidak sarapan dengan nasi melainkan dengan menyeruput kopi. Setelah itu, ia kemudian berjalan kaki menuju ladangnya. Perjalanan dari rumah ke ladang, biasanya ditempuh dengan waktu 20 – 30 menit. Di ladangnya ia memiliki rumah panggung kecil. Tempat menyimpan padi, gabah dan garam untuk makanan sapi.
Biasanya ia tinggal di ladang hingga sore atau bahkan menjelang magrib. Sepulang dari ladang, pada malam hari, nenek biasanya dikunjungi oleh tetangga atau keluarganya. Ada yang datang untuk mengundangnya ke acara pernikahan, slametan rumah, sunatan. Ada pula yang datang untuk sekadar bercerita atau membawakan buah-buahan hasil kebun.
Di usianya yang telah senja, yakni 80 tahun ke atas. Nenek masih memiliki fisik yang sangat sehat. Saat saya berkunjung ke sana, ia seringkali menasehati untuk menganggap semua masalah itu ringan kalaupun berat jangan dirasa sebagai masalah yang berat. Intinya harus kuat menghadapinya. Melawan rasa lemah dan ketakutan.
Lalu, dari mana kekuatan itu bisa didapatkan? Begitulah pertanyaan selanjutnya.
Melihat laku kehidupan nenek saya setiap harinya. Sangat mungkin jika kesehatan mental dan tubunya didapatkan dari aktivitas menjaga tubuh dan alam. Dalam pekerjaan domestik misalnya, kita membuat tubuh terus bergerak. Dengan berjalan ke ladang, nenek telah membuang sangat banyak kalori setiap harinya.
Bayangkan saja, berapa otot yang dimanfaatkan saat merapikan rumah. Misalnya dengan menyapu dan menggerakkan barang-barang perlengkapan rumah. Pantas saja, orang-orang dahulu tidak mengenal istilah olahraga karena aktivitasnya sehari-hari telah mengajarkan tubuh dan pikirannya untuk sehat.
Nenek juga tidak sekadar mengandalkan tenaganya. Ia orang yang jenius dalam hal pertanian dan membaca musim sebab ia seorang petani. Tanamannya tidak akan bisa dipanen jika ia tak tahu ilmu per-padian. Orang-orang kota akan kehilangan sumber utama logistiknya jika tak ada orang-orang desa yang mentransfer hasil alam.
Dalam film Roma (2018) garapan Netflix, kita menemukan satu hal penting tentang pentingnya mengerjakan pekerjaan domestik. Film Roma menceritakan tentang seorang asisten rumah tangga bernama Cleo, yang memiliki tugas mengurus rumah dan keperluan lima anak majikannya setiap hari.
Masalah datang ketika pacarnya pergi saat mengetahui Cleo hamil. Dalam situasi tersebut, ia harus menjaga kandungannya sendiri dan tetap harus bertanggung jawab dengan urusan rumah majikannya.
Kehidupannya semakin menderita ketika anak yang dikandungnya tidak bisa diselamatkan. Fase terberat dalam hidup Cleo nampkanya terjadi pada masa itu. Saat anaknya meninggal dunia. Dalam perasaan sendiri, masalah datang kembali di kehidupan keluarga majikannya. Suami sang majikan selingkuh dengan perempuan lain yang membuat mereka akhirnya berpisah.
Dalam masa-masa tersulit tersebut, ajaibnya Cleo bisa menjalani semua masalahnya dengan tenang. Cleo digambarkan sebagai perempuan yang amat stabil sebesar apapun pergulatan emosinya. Tidak ada letupan emosi, alih-alih memiliki kesempatan untuk stres apalagi depresi. Tubuhnya terus bergerak hingga di akhir cerita Cleo berhasil menyelamatkan satu anak majikannya yang terdampar di tengah laut.
Untuk membuktikan seberapa besar pengaruh mengerjakan pekerjaan domestik dalam menjaga kesehatan mental. Saya mulai menerapkannya di rumah dan di kantor.
Pekerjaan rumah tangga rupanya tidak semudah yang saya bayangkan. Namun, pada akhirnya melatih saya untuk terus bergerak dan mencari cara agar rumah tetap rapi dan bersih. Entah seperti apa cara kerjanya, rasanya memang masuk akal, Jika hal-hal yang kasat mata saja tidak mampu kita bereskan bagaimana dengan hal-hal yang tidak kasat mata seperti perasaan, kejiwaan, ataupun spiritualitas.