Lontar.id – Stadion Barombong berhenti sementara pembangunannya. Kabar itu yang saya dapat dari portal berita. Menyedihkan sekali. Ini bisa berdampak pada semangat para suporter sepak bola di tanah Daeng.
“Yang pertama itu persoalan alas hak kepemilikan sebagian tanah atau lahan di (seputaran) stadion. Kemudian penyelesaikan konstruksi secara menyeluruh terhadap kondisi bangunan di stadion,” ungkap, Plt Kepala Inspektorat Sulsel, Salim AR dalam ekspos hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sulawesi Selatan di kantornya, Jalan AP Pettarani, Makassar, Jumat, 28 Juni 2019.
“Itu hasil audit BPKP. Jadi Pemprov Sulsel diharapkan dapat menyelesaikan dua hal itu. Supaya setelah dua poin ini diselesaikan, barulah BPKP berharap Pemprov untuk melanjutkan pembangunan stadion. Kasihan ini bangunan (stadion) mangkrak,” ucap Salim.
Sebagai pencinta sepak bola, rasa-rasanya tak ada yang lebih indah kalau kandang PSM Makassar bersalin rupa menjadi wajah cemerlang seperti habis cuci muka sewaktu terbangun dari tidurnya yang panjang.
Jika Anda anak Makassar, maka Anda bisa merasakan bagaimana kalau rumahmu tak pernah dipulas secara keseluruhan. Apalagi rumahmu berumur tua. Barangkali saja, kaumenganggap rumah itu harusnya jadi cagar budaya.
Namun bagaimana caranya kau akan pindah, kalau rumah baru belum ada. Tak ada yang ingin membangunkanmu rumah yang layak, karena orang-orang berduit lebih memilih mempercantik dan membangun rumahnya sendiri.
Sudah pasti kau akan beranak-pinak dalam rumah tua itu, menghasilkan sepuluh atau bahkan ratusan anak. Lalu mereka tumbuh menjadi dewasa, mencintai rumah itu dan segala isinya yang masih bernapas dan belum mati dikoyak jam-jam yang berlalu.
Rumah tua itu lalu dinamai Mattoanging yang artinya melongok angin. Arti yang sangat dalam karena kegiatan tersebut adalah mencari tahu dari dan ke mana angin berembus. Akhir-akhir hal itu tidak dilakukan.
Dari beberapa tahun belakangan, saya tidak begitu tertarik membahas soal Stadion Barombong. Tidak ada yang berbunyi dalam dada saya. Biasanya, jika saya mempercayai sebuah kabar, pasti dada saya berdegup dan takjub. Ini tidak sama sekali.
Tetapi, di Makassar, saya tidak sendiri. Ada banyak orang yang kepalang percaya dan bahagia dengan kabar dari pemerintah itu. Ada yang memuji pemerintah, ada yang berbahagia merayakan peletakan batu pertamanya.
Di Makassar, apa saja bisa diletakkan batu pertama. Satu kesyukuran yang mendalam, jika peletakan batu itu berujung menjadi sebuah monumen yang bisa dimanfaatkan secara pribadi atau banyak orang.
Banyak rumah atau bangunan di Makassar yang mangkrak, karena kepastian pembangunannya buram. Awalnya memang cerah seperti kaca jendela, lalu datang debu-debu yang kotor melengket di kaca itu.
Semua persoalan hanya soal duit. Bukan begitu? Jika tidak ada uang atau kemurahan hati, mustahil semua hal bisa terbangun. Kita hanya bisa bertahan hidup selama beberapa hari. Selebihnya, kita harus bekerja. Bekerjanya itu bisa saja dari negatif atau positif.
Stadion Barombong sudah terbangun, hitungannya 50 persen lah. Angka itu mungkin berlebihan atau kurang. Tergantung bagaimana Anda menilai. Kenyataan itu adalah hal yang baik saya kira. “Syukur-syukurmko itu dijanji. Masa mauko lagi ditepati?”
Lalu akhirnya berhenti di tengah jalan, setelah ada insinden rubuh di salah satu tribunnya. Persoalan di stadion Barombong lalu ke Mattoanging, memang tidak pernah berhenti. Ada-ada saja yang datang.
Saya iseng menulis dua kata pendek di akun twitter @almalikikky, sewaktu informasi itu merebak. “Bagaimana Barombong?” Tak berselang beberapa waktu, banyak komentar yang masuk membalasnya.
Jawaban pertama adalah, “tahun depanpi bede dilanjut, itupun punna upa.” Artinya adalah, tahun depan katanya akan dilanjut, itu kalau beruntung. Jelas, kalimat itu keliru. Saya bersyukur dibangunkan stadion, kalau selesai, itu lain lagi. Hehehe.
Yang kedua adalah, “maumi diresmikan jadi candi. Dikelola baik baik supaya ada pemasukan untuk perbaiki Mattoangin.” Satire untuk menyinggung semua pemangkukepentingan. Tapi idenya bagus juga, jadikan candi saja kali ya?
Sering kali muncul pertanyaan dalam diri saya, mengapa Kota Makassar selalu terhambat pembangunan stadion sepak bolanya. Kalau untuk tim, jangan ditanya. PSM masih berkokok dengan kencang saat ini.
Tidak bisakah pemerintah di Makassar itu mengikuti kerja-kerja dan langkah politik yang sudah berlangsung sejak lama di Papua hingga daerah Jawa dll? Mengapa Makassar selalu tertinggal dari daerah lain?
Soal jabatan-jabatan dalam struktur partai politik dan pemerintahan, orang-orang dari Makassar cukup bisa diperhitungkan. Sebut saja Jusuf Kalla dan keluarganya, Nurdin Halid, serta Danny Pomanto yang punya seabrek penghargaan yang mentereng di media massa.
Mengapa kita masih saja terlambat melangkah? Padahal klub panutan seperti Pasukan Ramang sudah punya sejarah yang baik di kancah dunia soal sepak bola. Sejarah harum menembus zamannya, yang tertinggal hanya stadionnya.
Sampai sekarang saya belum bisa menemukan jawaban itu. Saya tidak bisa menjawab kalau mereka tidak bisa membangun Makassar lebih baik lagi, atau hanya peduli dengan perutnya sendiri. Tidak.
Makassar dikenali karena makanannya enak-enak. Saya saja yang merantau, kalau pulang ke Makassar, pasti akan dengan segenap hati merogoh kocek untuk makan ikan, minum kopi, membeli kue basah dll.
Hanya itu saja, Makassar. Dari sisi yang lainnya, kota itu sudah lambat bergerak. Barangkali badan kota itu sedang obesitas karena terlalu banyak menyarap penganan manis dan makanan yang gurih bercampur rasa asin yang pas di lidah.
Saya hampir lupa kalau perempuan berdarah berdarah Sunda, lalu menyambar twit saya itu dengan kalimat yang telak, “Oh Iya, lupa, ada yang belom punya stadion (sambil menjulurkan lidahnya dalam bentuk emot).”
Saya tidak marah. Itu hal yang biasa saja. Malah saya malu. Istilah Makassarnya, siri’. Siri bisa ditafsirkan menjadi beberapa bagian, saya memilih bagian yang malu saja. Malu karena kita tidak maju dalam kompetisi yang sehat.
Sampai sekarang, jika mendengar kata paentengi siri’nu oleh pejabat-pejabat kita itu, saya jadi meringis. Pengen ketawa takut dosa. Malu yang mana? Bukannya kita sudah sering dipermalukan karena kota kelahiran saya tertinggal?
Jika tulisan ini sampai kepada yang berkepentingan, saya cuma mau bilang, kalau tidak ada siri’ di Stadion Barombong. Bangunan itu terhambat karena ada banyak masalah yang tidak diperiksa sebelum membangun.
Jika toh mereka merasa tidak punya masalah, mereka seharusnya punya bukti untuk membantah argumen dan menjelaskan kalau stadion itu tidak harus dihambat pengerjaannya. Ini persoalan malu, bukan?
Jika semua elemen berkomplot mencari aman dan menumbalkan stadion itu, artinya memang mereka menyembunyikan malunya di peti terkunci yang sudah usang. Yang sekali-kali akan dibukanya jika genting. Lah, memang sekarang belum genting, ya? Syukur deh kalau gitu, kalau Makassar masih baik-baik saja dan pejabatnya tidak merasa ada apa-apa dalam ruang dan waktu sepak bola kita.