Lontar.id – Presiden Jokowi merencanakan pemindahan ibu kota negara, dari DKI Jakarta dialihkan ke Provinsi Kalimantan Timur, sebab adanya keinginan Presiden agar pembangunan tidak melulu terkonsentrasi di Pulau Jawa (Jawasentris).
Secara spesifik, Jokowi ingin kue pembangunan terdistribusi ke wilayah lainnya secara merata. Sejauh ini, Pulau Jawa memang mendapatkan porsi anggaran lebih banyak, ketimbang daerah-daerah lain.
Bukan saja pada sektor pembangunan infrastruktur, perputaran uang dan sebagainya, melainkan mencakup semua sektor yang ada. Bila membandingkan Pulau Jawa dengan pulau lain, maka kita akan menemukan perbedaan yang sangat mencolok.
Jawa diasosiasikan sebagai wilayah yang maju dan berkembang, tempat bertumpunya semua sektor, maka berbeda halnya dengan daerah lain. Terbelakang.
Perbedaan ini cukup menjadi alasan kuat munculnya sentimen-sentimen negatif. Pulau lain kian hari kian dianggap anak tiri yang kadang diurus, kadang tidak, atau istilah kasarnya menunggu sisa dari Jawa.
Mungkin hal ini punya korelasi dengan setiap pemilu dilaksanakan, presidennya selalu dari Jawa (meskipun BJ Jabibie pernah jadi presiden). Orang Jawa memegang peranan penting dalam institusi birokrasi, sehingga kebijakannya dianggap sangat Jawasentris.
Padahal, Indonesia bukan hanya Jawa. Ada tanah yang membentang luas terdiri dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote.
Rencana perpindahan ibu kota negara ke Kalimantan, diibaratkan bagai mata air di tengah padang savana. Di sana tumbuh dan berkembangnya harapan masyarakat di luar Pulau Jawa, harapan akan kemajuan dan diperhatikan. Tak ada cara lain jika hendak memeratakan ekonomi dan kesejahteraan, selain pemindahan ibu kota negara.
Meskipun sejauh ini, anggaran dari Jakarta yang mengucur ke bawah, tidak sebanding dengan yang dikembalikan ke daerah. Belum lagi, dihitung anggaran yang disunat dari atas sampai ke bawah, sehingga yang sampai ke daerah terlalu kecil.
*
Pada sidang bersama MPR, DPR dan DPD di Kompleks Senayan, Jakarta pada (16/8/2019). Presiden Jokowi meminta izin agar merestui pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan.
Alasannya, pemindahan tersebut untuk pemerataan dan keadilan ekonomi demi visi Indonesia Maju. Keinginan pemerintah untuk memindahkan ibu kota bukan tanpa kritikan dari DPR.
Selain dianggap sebagai pencitraan. DPR juga mengkritik soal rencana penggunaan anggaran negara yang bakal menghabiskan Rp466 triliun. Hanya membuang-buang uang.
Misalnya, kritik tersebut datang dari Fraksi Gerindra, Bambang Haryo yang menyebut pemindahan ibu kota negara hanya pemborosan anggaran dan demi mengejar kepentingan yang tidak jelas.
Fahri Hamzah pun turut mengkritik. Ibu kota dianggapnya sudah terlanjur berada di Jakarta. Belum lagi bila terealisasi, pemerintah akan membangun pelbagai fasilitas seperti gedung perkantoran, rumah sakit, sekolah hingga perumahan untuk untuk ibu kota baru.
Fahri Hamzah menilainya sebagai sesuatu yang tidak masuk akal. Sementara Watimpres era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Emil Salim mempertimbangkan dengan baik penggunaan anggaran negara yang cukup besar.
Anggaran sebesar itu disarankan agar digunakan pada sektor yang lebih dibutuhkan atau sangat mendesak seperti pemerataan kualitas pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) melalui sektor pendidikan, khususnya di wilayah Timur Indonesia.
Saya melihat kritikan tersebut sebagai alarm terhadap Jokowi, bahwa pemindahan ibu kota negara, tidak lebih penting daripada membangun kualitas SDM. Kualitas SDM yang terampil dan mumpuni akan melahirkan generasi bangsa yang mampu bersaing di pentas nasional hingga mancanegara.
*
Pemindahan ibu kota negara tersebut akan dibarengi dengan perpindahan Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebanyak 800 ribu orang. Akan terjadi urbanisasi besar-besaran masyarakat ke Pulau Kalimantan.
Urbanisasi masyarakat ini memiliki sisi positif dan negatif bagi penduduk asli Kalimantan, sebut saja suku dayak yang mendiami hutan adat selama ini.
Pembangunan akan digenjot cepat, industri akan bertumbuh lebih banyak, jalan raya dan berbagai fasilitas umum akan ramai. Secara umum, tentu Kalimantan akan menjadi kota maju dan metropolitan di tengah banyaknya masyarakat urban.
Namun di sisi lain, kehidupan dan tanah masyarakat adat akan kian terusik oleh gelombang masyarakat yang datang. Mereka akan terhimpit dan menjadi tamu di rumah sendiri, bila tak mampu menyesuaikan diri dengan kemajuan.
Di sinilah tugas pemerintah memikirkan tentang privatisasi kehidupan masyarakat adat agar tidak terganggu. Negara harus bisa melindungi sekaligus memproteksi pembangunan industri yang akan merampas tanah adat.
Sebab pengambilan paksa tanah adat oleh perusahaan-perusahaan besar kerap terjadi di Indonesia. Semoga saja hal demikian tidak terjadi.
Editor: Almaliki