Lontar.id – Perlu dilakukan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terstruktur dan sistematis mulai dari tataran keluarga hingga pemerintah.
Hal itu disampaikan oleh Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Permberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Nahar.
“Kami meyakini bicara soal anak korban tentu selalu berkaitan dengan orangtua, keluarga, sekolah, dan masyarakat, dari klasifikasi itu, kita harus melakukan upaya, seperti memberikan pemahaman yang baik terkait kekerasan terhadap perempuan dan anak, sehingga mereka tidak mudah dibujuk rayu oleh pelaku serta dapat melakukan deteksi dini,” jelasnya seperti tertulis dalam rilis Kementerian PPPA, Minggu, 2 Januari 2022.
Kedua, lanjut Nahar, perempuan dan anak harus memiliki pengetahuan yang cukup tentang kemana dia harus mendapatkan pertolongan dan layanan.
Harus dipastikan juga bahwa mereka bukan sekadar cukup tahu dan paham, tapi harus memiliki keberanian untuk melapor dan meminta pertolongan.
“Selain itu, salah satu hal yang didorong oleh pemerintah adalah terbangunnya Kabupaten/Kota Layak Anak untuk mendorong terwujudnya pemenuhan hak dan perlindungan kepada anak.” ujar Nahar.
Nahar menjelaskan, berdasarkan data Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja Tahun 2021, terjadi penurunan tren kasus kekerasan terhadap anak.
“Tahun 2018 angka kekerasan bagi anak laki atau perempuan adalah 6 dari 10. Tahun 2021 angka ini menurun, misalnya untuk anak perempuan yang pernah mengalami kekerasan dalam bentuk apapun di sepanjang hidupnya adalah 4 dari 10 dan untuk laki-laki adalah 3 dari 10,” urainya.
“Angka ini terus kami kawal karena bisa jadi penurunan ini adalah dampak dari upaya yang sudah dilakukan, baik upaya pencegahan, regulasi, dan lain sebagainya,” tutur Nahar.
Nahar menyebutkan, angka ini merupakan representasi kekerasan terhadap anak secara nasional. Menurutnya, data pelaporan yang masuk belum cukup untuk menggambarkan kasus kekerasan yang dialami oleh anak secara makro, mengingat adanya beberapa daerah yang lebih responsif dan mudah dalam mengakses pelaporan.
Di sisi lain, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Susanto mengatakan, ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan terjadinya penurunan kasus kekerasan terhadap anak.
“Pertama kesadaran publik yang semakin meningkat. Kedua, adanya partisipasi media dalam pemberitaan isu anak yang lebih baik daripada sebelumnya, ini tentu menumbuhkan awareness mengenai yang terbaik dalam proses perlindungan anak,” jelasnya.
Hal lain adalah tumbuhnya layanan masyarakat yang semakin baik, sehingga kepercayaan publik kepada lembaga layanan saat ini jauh lebih baik, ini menjadi hal yang positif.
Susanto menyebutkan, tahun 2021, KPAI telah menerima 2061 pengaduan kasus perlindungan khusus anak. Menurutnya, terdapat tiga kasus dominan, yaitu kekerasan fisik dan psikis, kejahatan seksual, serta pornografi dan cybercrime.
“Tahun baru ini harus menjadi momentum perbaikan sistem perlindungan anak ke depan agar lebih baik. Proteksi stakeholder terhadap upaya perlindungan anak harus dipastikan, apalagi ancaman kejahatan cyber, ke depan potensi kerentanannya cukup tinggi. Kejahatan terhadap anak sekarang sudah bergeser ke sana. Oleh karena itu, sistem proteksi perlindungan anak berbasis cyber harus menjadi hajat besar negara, bahkan juga jaringan dari negara,” tutup Susanto.
Dalam upaya melakukan pencegahan dan penanganan kasus cybercrime yang dialami oleh anak, Kemen PPPA tengah menyusun peta jalan perlindungan anak di ranah daring untuk mendorong terbentuknya regulasi yang lebih memerhatikan kepentingan anak.
Dalam hal ini, Kemen PPPA bekerjasama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika, KPAI, Badan Narkotika Nasional, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, serta Organisasi Pemerhati Perlindungan Anak.