Jakarta, Lontar.id – “Keahlian pelaut Makassar dalam mengarungi samudera telah tersohor sejak jaman baheula. Memakai perahu Sandeq yang imut itu, para pelaut Makassar berkeliling samudera di dunia untuk mencari teripang dan memperdagangkannya, pula termasuk hasil bumi lain dari pulau Sulawesi atau dari nusantara.”
Seorang pembuat peta bernama belakang Flinder, mencatat interaksi antara suku Aborigin dan pelaut Makassar di pantai utara benua Australia pada sekisar akhir abad ke-13.
Saat itu, pelaut Makassar bertukar hasil bumi dengan orang-orang Aborigin. Mereka tampak sangat akrab. Interaksi antarperwakilan dua suku tua ini, terjalin akrab dan bersahabat. Tidak ada seteru sebelum bahkan sesudahnya, seolah mereka memang telah lama berkawan sebelum kedatangan orang-orang kulit putih di sana.
Namun, jauh sebelum masa yang dituliskan itu, pelaut Makassar pernah bermalam di tanah Australia. Kala itu, aktivitas barter berlangsung lama, orang Aborigin akan meminta pelaut Makassar untuk menginap.
Mereka menyajikan makanan khas di sana, termasuk olahan daging Kangguru. Pelaut Makassar mengajarkan cara membuat coto Kangguru pada satu kesempatan, meski hasilnya tidak seenak coto kuda, karena rempah-rempah yang dibutuhkan tidak tersedia di alam Australia.
Mereka duduk berkumpul, mengelilingi api unggun dan bersenda gurau. Benar seorang pelaut ditawari menikah dengan penduduk setempat, tetapi dia menolaknya. Sumpah setia kepada sang istri di kampung halaman dipegang teguh para pelaut ini.
Keesokan harinya, cuaca amat cerah, namun angin sedang tidak mendukung untuk melanjutkan pelayaran. “Yang Maha Kuasa meminta kalian tinggal lebih lama lagi,” begitu kata kepala suku.
Awak kapal berkata, “Terima kasih. Tetapi kami telah berjanji untuk pulang setelah urusan selesai. Jangan khawatir, Dg. Gassing ini orang hebat. Dia bisa meminta angin bertiup kapan pun dia inginkan.” Kepala suku keheranan, “Bagaimana caranya?”
“Guruku seseorang yang memiliki kemampuan luar biasa, dia mewariskan ilmu tersebut kepadaku, agar kami dapat mengembara menebar kebaikan,” jawab Dg. Gassing.
Dg. Gassing dan awaknya pun mendayung perahu sedikit ke tengah laut. Pada posisi yang tepat, Dg. Gassing mengangkat kedua tangannya ke langit, diayun-ayunkan selayaknya hembusan angin. Layar dikembangkan, ia berseru, dan meluncurlah perahu itu dengan lancar. Kepala suku dan lainnya keheranan.
Tetapi perahu yang mereka kendarai belumlah sempurna. Perjalanan itu sebenarnya adalah percobaan pertama untuk model perahu yang baru. Di tengah laut, layar bergerak ke arah yang berlawanan, sehingga perahu itu meluncur terus ke arah Timur, hingga melintasi perairan Mikronesia dan terdampar di satu daratan luas yang asing.
Tak disangka, dari kerumunan pepohonan, muncul sekelompok suku yang mengenakan bulu-bulu burung di kepala mereka dan rambut panjang yang dikepang. Tombak-tombak terhunus, seolah Dg. Gassing dan awaknya adalah ancaman. Dg. Gassing turun dari kapal dengan sepasang tangan ke atas, dia berkata, “Pasannangi kalengta. Nia kuerang anu baji.”
Namun mereka kebingungan dan masih menghunuskan tombak. Dg. Gassing pun mengeluarkan teripang dari dalam perahu, menyalakan api, dan melemparkan teripang-teripang tersebut ke dalamnya. Aroma sedap menyeruak. Orang-orang asing itu meletakkan tombak mereka, mendekati masakan Dg. Gassing. Setelahnya, mereka bersantap teripang bersama.
Keesokan harinya, Dg. Gassing dan awaknya pamit kepada suku tersebut. Sama seperti kata kepala suku Aborigin, tidak ada hembusan angin yang cukup.
Dengan santun, Dg. Gassing meminta maaf lalu mengangkat kedua tangannya ke langit dan berseru, “ammirikko!” kepada angin. Seketika angin kencang berhembus dari daratan ke laut. Layar dikembangkan dan mereka pun meninggalkan daratan yang asing.
Kejadian barusan begitu menakjubkan bagi suku yang asing tersebut. Mereka mengulang-ulang kata “ammirikko” sembari melakukan tarian. Tak lama berselang, ada kapal besar bersandar.
Keluar dari kapal itu, orang-orang berkulit putih dengan pakaian yang indah. Kepala suku berpikir, orang asing yang berbeda ini barangkali juga datang membawa makanan yang lezat, bertanyalah dia dalam bahasa lokal, “Kalian boleh singgah kalau ada makanan,” tetapi tidak ada jawaban.
Orang-orang kulit putih itu menggeleng saja. Salah seorang mencoba berkomunikasi. “We are coming from a very far far away land, with peace. What is the name of this land?”. Kepala suku kesal dan berkata kepada anggota sukunya untuk bersama-sama mengusir orang-orang asing tersebut, meminta mereka berlayar ke tempat lain saja. “Ammirikko, ammirikko!” kata mereka kompak.
“…dan begitulah sejarah yang sebenarnya. Bukan Columbus yang menemukan benua Amerika pertama kali, tetapi pelaut Makassar,” Anwar Halim menutup kisahnya. Para mahasiswa semester satu di hadapannya terhenyak. Betapa cerita yang aneh tetapi masuk akal. Seseorang menimpali, “Berarti kata Amerika itu berasal dari bahasa Makassar ammirikko, ya, kak?”
Anwar Halim mengangguk penuh kemenangan. Ditandaskanlah kopinya yang mulai dingin, sebelum beranjak meninggalkan mereka dalam perasaan takjub. Dalam hati, dia tertawa-tawa. Toh, kisah yang sama didapatkannya juga sejak dahulu, dia sudah lupa-lupa ingat siapa yang menceritakannya.
Mereka harus mengetahui cerita ini, benar tidaknya urusan belakangan. Tidak semua dari cerita ini salah, tidak semua pula dari cerita ini benar. Yang terpenting adalah pesan di baliknya. Biarkanlah anak-anak cukka ulu itu menerka-nerkanya sendiri.
Disambungceritakan dan ditulis oleh: Rezkiyah S. Tjako
Arti kata:
Ammirik: berhembuslah!
Ammirik – ko: berhembuslah, wahai kau (angin)
Cukka ulu: kepala yang berkeringat (biasanya dipakai menyebut mahasiswa baru berkepala gundul)
Gassing: kuat, bugar
Pasannangi: tenangkanlah
Kalengta: diri anda
Nia: ada
Erang: membawa
Baji: baik